Wednesday, June 2, 2010

ENTAH LAH

Tidak tau di mulai dari mana saya mau menggoreskan tulisan disini, karena saya memutar ulang ke masa lalu apa yang pernah terekam di benak ini. Saya tidak tau entah umur berapa saya mengerti dan tau bahwa saya mengerti kehidupan ini, mengerti apa yang di ucapkan orang orang di sekeliling saya. Paham apa-apa yang saya lihat, saya dengar dan apa-apa yang saya perbuat. Dalam keluarga yang saya tau saya punya adik satu waktu itu, yang hampir sama besar dengan saya.


Rumah yang saya tempati bersama orang tua adalah sebuah rumah panggung. Sebagaimana tradisi orang kampung saya, rumah kayu ini dinamakan rumah gadang, tapi kadang kadang kami mengatakan nya rumah puhun yang artinya rumah di timur. Masuk dari depan menaiki tangga yang terbuat dari semen, dan pintu keluar menuju dapur ada tangga lagi dari semen. Tangga depan rumah terbuat dari semen juga lantainya danseparoh dinding setinggi satu meter dari tembok semen dan berplester. Selebihnya ke bagian atas terbuat dari kayu. Berlantai papan kayu, berdinding papan kayu, dan beratap dari bahan seng. Ada tujuh ruangan bagian rumah ini. Empat kamar tidur. Dari pintu depan sampai ke pintu dapur melewati empat pintu.


Pintu masuk pertama ruangan bagian paling depan berlantai semen dan berdinding semen separonya. Bagian kiri dari ruangan ini ada sebuah kamar yang di sebut kamar sepen”, Entahlah mengapa orang orang seisi rumah mengatakanya kamar sepen. Tiga bagian lainnya, yaitu ruang Langkan, ruang Besar, dan ruang Belakang.


Pintu masuk ke dua ruang besar terletak di ruang tengah mamanjang utara dank ke selatan. Dibagian depan rumah yang bersebelahan kamar sepen namanya ruang Langkan, saya juga tidak tau, entah mengapa dinamakan Langkan.


Pintu masuk ketiga sebelah kanan kirinya dua buah kamar. Ruang kamar kanan dan kamar kiri setelah ruangan besar itu ada ruangan berbentuk lorong semacamwalk wayatau koridor. Melewati dinding kamar kanan dan dinding kamar kirinya ada ruang belakang. Dan terakhir pintu ruang menuju dapur. Sebelah kiri ruangan belakang ini ada sebuah kamar yang disebut kamar belakang. Dari pintu kedua dari depan dipasang palang/pagar pengaman setinggi dada saya, dan satunya lagi di pintu belakang pintu menuju dapur.


Pintu keluar ke arah dapur ada tangga dari tembok untuk menuju ke bagian dapur. Empat anak tangga nya. Untuk ukuran badan saya rasanya sudah tinggi bila saya berada di atas rumah melihat kea rah dapur. Bagunan dapur tebuat dari tembok dan batu air istilah nya. Maksud batu air yaitu batu dari batang sungai yang diambil dari batang anai. Tembok dapur ini tidak diplester sehingga masih kelihatan batu batu air itu bekas di pecah pecah dari ukuran besar dengan rapi di jepit oleh adukan semen semen. Lantai dapur dari tembok semen yang di plester.


Bermain berdua bertelanjang dada di pintu jalan ke dapur yang dibatasi kayu setinggi dada saya, supaya tidak jatuh melampaui pintu ke dapur. Pembatas kayu itu di pasang di pintu ke dua dari depan dan belakang menuju dapur. Dalam rumah ruang gerak saya dan adik dari ruang besar sampai ruang belakang saja. Sambil berdiri berpegangan kayu pembatas pintu saya memperhatikan Mak Gaek (Nenek), Uyang (Ibu dari Nenek), Etek(Bibi) dan Amak(Ibu) saya sibuk di dapur melaksanakan tugas mereka di pagi hari. Saat itu saya tidak ingat apakah saya sudah bisa di ajak berbicara dengan orang orang di sekitar saya. Inilah yang saya ingat rasanya awal mulanya saya hidup.


Di bagian bawah rumah di jadikan kandang ayam dan itik oleh orang orang tua saya. Kalau pagi menjelang kami selalu dibangunin nyanyian suara ternak di bawah rumah, kokok ayam, suara ayam berkotek, mencicit dan suara itik. Ada banyak ayam di bawah rumah yang tinggi ruang kandang itu satu meter dari tanah ke lantai rumah. Setiap kelompok ayam ayam itu berbeda beda tuan nya, ada ayam milik Uyang saya, ada milik Etek saya, ada milik mak gaek saya.


Di bagian depan rumah ada sedikit halaman dan juga untuk tempat lewat tetangga di mudik rumah serta dijadikan jalan pintas orang kampung mau ke sawah di baruah mudiak dari arah ujuang atau ilie.


Sebelah kanan rumah dan belakang sebidang parak yang ditanami oleh Uyang sayaadam mumu” (buah masakan rempah untuk sup) lengkuas, pisang, taleh dan tanaman tanaman muda lain nya, dan beberapa pohon kelapa.


Penghuni rumah diantaranya Uyang, mak Gaek, Etek, waktu itu etek saya belum menikah, Amak saya, Apak saya dan adik saya. Uyang saya yang punya rumah ini. Uyang saya punya anak lima. Tiga laki laki dan Dua perempuan. Mak gaek saya anak perempuan ke dua, anak perempuan pertama nya merantau ke Dumai, aku panggil anduang Bainar namanya. Anak uyang saya pertama laki laki gaek Arifin tinggal dengan anak istrinya di Kandang Ampek. Yang kedua gaek Umar tinggal dengan anak istrinya di Pasar Gelombang dan anak Uyang saya yang bungsu merantau di Dumai juga. Gek Tami namanya. Mak gaek ku satu-satu nya anaknya yang tinggal bersama Uyang saya. Mak gaek saya punya anak lima, tiga laki laki dan dua perempuan. Amak ku dan Etek ku. Anak laki laki Mak Gaek saya tidak tinggal di rumah semua nya sudah merantau.


Dari rumah terus ke jalan yang saya tahu adalah jalan ke Pincuran dan Batang Anai. Pincuran tempat mandi dan mencuci kaum perempuan serta anak-anak, sedangkan Batang Anai tempat laki laki. Saya sering didukung oleh etek saya ke pancuran pergi mandi. Menuruni antara dua tebing jalan bertangga dengan batu batuan. Mungkin hampir semua rumah di dusunku tidak ada rumah yang memiliki sumur dan WC. Mandi ke pincuran. Seperti sudah diatur oleh alam kalau sudah pagi hari, pincuran ramai seperti pasar. Selain antri mandi, mereka juga antri ketandai”. Sebuah tempat jongkok buang hajat yang dibuatkan pagar penutup dari tembok. Air dari tandai hasil buangan orang yang jongkok itu jatuh ka tabek (kolam) ikan.


Setiap ibu-ibu dan anak perempuan kalau pulang dari mandi menenteng ember berisi air atau menjunjung di atas kepala dengan menggunakan kain singgulung sebagai alas. Dengan jalan mendaki pulang ke rumah. Air dari pincuran digunakan untuk kebutuhan memasak dan cuci piring. Begitu juga etek ku sambil menggendong ku dipinggang sebelah kiri dan tangan kanan menjinjing ember berisi air. Air pincuran keluar dari lima talang pipa besi yang ditanam permanen dari tembok semen. Mata air yang mengalirkan air dari bawah bukit terkumpul ditabek (kolam).


Pinggiran tabek itu di tembok. Entah tahun berapa tabek pincuran ini dibangun. Tembok tabek itu sudah di tumbuhi lumut sehingga warnanya sudah hijau. Air yang sangat bening dan sejuk ini keluar dari mata air di bawah bukit dan di atas nya di tumbuhi pohon kayu besar dan rimbun yaitu pohon asam kandis. Kalau ada anak anak kecil pengin tau kok bisa air muncrat dari dalam tanah itu, lalu mendekat ke mata air yang tidak pernah habis habis nya itu,

anduang anduang sudah berteriak, “hei jangan kesitu, beko tasapo bekokatanya.

Di
bagian kanan tabek itu tersusun batu batu pipih yang datar ditanam di tanah seperti lantai. Tempat ini gunanya untuk sholat.


Batang Anai tempat mandi kaum laki laki. Air nya deras, bening bersih, dingin diwaktu pagi. Meski dingin seperti es tapi bagi orang laki-laki di kampung sangat suka mandi di Batang anai. Sebenarnya karena tidak ada pilihan lain mungkin karena di rumah tidak ada sumur.
Batang Anai banyak batu, banyak ikan. Diantara mamak mamak di kampuang yang masih muda muda menangkap ikan di Batang Anai. Bermacam macam ikan hidup di air Batang Anai, paling banyak ikan Gariang, dan yang langka ikan panjang namanya. Kalau sekali sekali musim hujan deras Batang Anai airnya meluap, Aie gadang namanya. Setelah air meluap biasanya banyak kayu, yang tersangkut di batu batu, banyak pasir dan banyak batu batu baru.


Kalau kaum ibu ibu pulang mandi dari pincuran membawa air, bapak bapak membawa batu sebesar kepala. Batu itu dikumpulkan saja di dalam palak di belakang rumah, atau ada juga disamping rumah. Untuk membangun rumah batu nantinya. Bagi kaum laki laki yang tidak bawa batu lagi pulang, mandi dari batang anai berarti telah punya rumah batu, tidak tinggal di rumah kayu lagi seperti amak dan apakku, yang statusnya boleh dikatakan masih menompang.


Rumah kayu yang di tempati orang tua saya beberapa meter dari jalan raya utama. Tapi saya tidak tau jalan ke jalan raya itu. Entahlah umur berapa saya waktu itu.


Kalau sudah senja tidak pernah terdengar suara azan. Dan saya juga belum tau apa itu azan. Karena belum ada listrik. Paling suara Tabuah (beduk) yang pukul dari gaek Garin di samping musajik. Yang saya ingat kalau hari sudah mulai gelap, apak saya memompa lampu sterongkeng” (lampu pertomax). Memasukan minyak tanah ke perut lampu tersebut, menyalakan nya dari api berwarna merah, pakai sipirutus, dan tidak lama cahaya lampu itu dari warna merah menjadi putih dan terang. Ketika Apak saya menyalakan lampu itu saya dan adik saya sangat senang sambil bermain main bayang bayangan wajah kami di perut lampu sterongkeng itu yang berbentuk cembung. Bayangan wajah kami kelihatan lucu sekali. Menjauah mendekat, mejauah mendekat, tangan dan wajah saya bersama adik sebagai permainan dan hiburan.

Ceroten a nan takana: Dedy H


Klik Ini ke Ceritakku Berikutnya

 

No comments:

Post a Comment