Aku dapat uang jajan sekolah dari apakku lima puluh rupiah.
Itu sudah bisa untuk beli lontong sepiring atau bubur, atau gorengan yang harga
rata-rata dua puluh lima rupiah satunya. Di warung-warung sekeliling sekolahku
menjual lontong dengan cara dipiring-piringin oleh penjualnya satu piring-satu piring yang
berisi lontong nasi saja tanpa kuah. Jadi kalau ada pembeli tinggal dituangi
kuah gulainya. Etek penjual itu bisa dengan cepat melayani antrian pembelinya.
Satu piring itu harganya lima puluh rupiah. Beberapa hari di awal sekolah,
berbelanja sebelum masuk kelas sangat menyenangkan. Anak-anak kecil yang baru
bisa bertransaksi menggunakan uang, dan menjadi mengerti artinya uang.
Pelajaran yang tidak bagus untuk perkembangan jiwa anak-anak. Termasuk aku.
Dalam hati, aku bangga karena aku merasa sudah besar, dan bangga karena sudah
bisa jajan sendiri. Pertamanya aku gugup dan takut belanja masuk warung
sekolah. Teman-temanku yang mempunyai kakak bisa pergi belanja bersama
kakaknya, jadi dia tidak ada rasa takut seperti aku. Aku ikut-ikutan dengan teman-teman
yang ada kakaknya. Sebelum aku belanja, mengambil makanan, aku lihat dulu
temanku. Kalau dia minta lontong, aku juga ikutan. Maksudnya biar membayarnya
nanti, sama-sama membayarnya dengan harga yang sama. Untung temanku membeli
makanan seukuran uang jajanku, kalau aku mengikuti harga makanan melebihi uang
jajanku, bisa malu aku dan tentu aku akan berhutang.
Berikutnya aku tidak dapat uang jajan tiap hari lagi, hanya
sesekali saja. Kadang-kadang uang jajanku dikurangi menjadi dua puluh lima
rupiah. Beberapa minggu kemudian aku sangat jarang dapat uang jajan ke sekolah.
Dan akhirnya tidak perlu ada uang jajan lagi. Apakku mengajarkanku pagi-pagi ke
sekolah makan nasi dulu di rumah, meski itu nasi dingin atau kerak nasi, harus
makan dulu. Amakku melebihkan masak nasinya waktu sore. Jadi pagi-pagi pasti
ada sisa nasi semalam agak sepiring dalam periuk di dapur.
“Tidak ada jajan-jajan lagi ya, biar otaknya pintar dan kuat”
kata apakku.
Aku anak yang menurut dan tidak bisa banyak menuntut. Padahal
mana mungkin menambah otak pintar kalau tiap pagi makan nasi pakai sambal saja
dan kadang-kadang pakai garam kasih minyak?. Yang jelas, alasan yang paling tepatnya
bahwa apak dan amakku tidak punya uang, dan tidak mampu memberiku uang jajan.
Ibu guru mengajarkan kesederhanaan kepada muridnya, “Yang
penting kalian mau sekolah harus tekun dan rajin, buku pelajaran harus dirawat,
dijaga kerapian dan kebersihan buku tulis itu. Untuk merawatnya agar tidak
hancur dan sobek kalian harus pakai tas, tas tidak mesti tas dari kain, kulit atau
yang bagus, kantong asoy pun jadi.”
Kata bu guruku.
Kantong Asoy yaitu
kantong plastik yang biasa digunakan untuk bungkus-bungkus belanjaan dari
pasar. Pada hal kalaupun sudah pakai tas yang bagus sekalipun buku tulis yang
aku miliki akan hancur cepat dengan sendirinya begitu digunakan. Begitu juga
buku-buku yang dimiliki kebanyakan teman-temanku. Pakai buku tulis tipis isi 18
lembar, kalau dituliskan maka lembaran belakang, baliknya akan tembus dan membekas kasar.
Apa lagi kalau salah menulis, lalu menghapus tulisanya, maka buku itu akan
bolong. Buku itu sudah cukup mahal bagiku yang harganya sekitar dua puluh lima
rupiah. Kalau buku yang bagus harganya lebih mahal lagi, mereknya sinar dunia
isi 50 lembar, kertasnya tebal tidak tembus kebelakang bila di tuliskan. Yang
dimiliki oleh beberapa orang saja dalam kelasku.
“Kemudian, buku harus ada bungkusnya, apalagi kulit bukunya
bergambar artis tidak boleh telanjang, buku yang berwarna warni harus ditutup”,
bu guru member tahu. Ibu guru sangat marah mempunyai buku yang isi luarnya
gambar artis dan tidak dibungkus dengan kertas pembungkus. Padahal buku semacam
itu sudah mahal harganya dari buku isi 18 lembar.
Baju seragam sekolah, aku dapat memakainya setelah seminggu
sekolah. Peraturan sekolah pun tidak mewajibkan secepatnya setiap murid memakai
seragam sekolah. Begitu juga dengan sepatu, bahkan ada temanku ke sekolah tidak
pakai sepatu.
Dari bu guru aku tahu istilahnya, waktu bu guru
bertanya,”mengapa kamu ke sekolah pakai kaki ayam?”
Aku melihat kaki temanku yang ditanya oleh bu guru, aku pikir
dia bawa kaki ayam kesekolah. Begitu aku melihat kekakinya, ternyata dia tidak
pakai sepatu atau sandal. Aku bersyukur masih pakai sepatu, walau bekas dan
riwayat akhir sepatu yang aku pakai, jempolku sudah keluar dari ujung sepatu,
telapaknya sudah lepas yang sudah beberapa kali dijahit ulang dan tidak bisa
dijahit lagi barulah sepatuku diganti. Metode memakai sepatu ala aku itu sangat
tahan beberapa tahun.
“Belum ada sepatu bu” begitu jawab temanku itu. Alasannya
juga pasti samalah dengan aku. Karena orang tuanya tidak mampu. Ada juga beberapa temanku yang kehidupan orang tuanya
tergolong keluarga tidak mampu dan kekurangan sepertiku.
Teman-teman sekolahku ada yang rumahnya jauh dari sekolah,
meski mereka dari desa yang sama. Karena desaku terdiri beberapa dusun, dusun
yang agak jauh dari sekolah adalah dusun Padang Mantung dan Pasar Juha. Mereka
yang dari dusun tersebut sudah tentu cukup jauh berjalan ke sekolah di
bandingkan aku, salah satu temanku yang jauh itulah belum punya sepatu. Sejauh
itu berjalan ke sekolah dengan kaki ayam. Ada juga beberapa orang dari desa
seberang seperti bakoku yang duduk disebelahku yang pernah aku ceritakan.
Setelah beberapa hari sekolah, aku baru tahu nama bu guru
kelasku. Aku tahu panggilan ibu itu, ibu Insyah. Setelah menerima rapor di
kemudian hari, baru aku tahu nama lengkap ibu guruku itu, ibu Anisah. Aku tahu
nama ibu Insah dari amakku karena kata amakku, ibu itu juga ibu gurunya.
Ketika amakku jadi murid ibu Insyah, ibu itu masih gadis. Jadi aku murid
generasi keduanya.
Bersambung ...............ke Ceritaku Berikutnya
Klik ini (sambungan ) ke Ceritaku Berikunya: MINDER (2)
Klik ini ke Ceritaku Sebelumnya : KENANGANKU HARI PERTAMA MASUK SD
Klik ini (sambungan ) ke Ceritaku Berikunya: MINDER (2)
Klik ini ke Ceritaku Sebelumnya : KENANGANKU HARI PERTAMA MASUK SD
No comments:
Post a Comment