Sunday, May 6, 2012

MINDER (1)

Aku dapat uang jajan sekolah dari apakku lima puluh rupiah. Itu sudah bisa untuk beli lontong sepiring atau bubur, atau gorengan yang harga rata-rata dua puluh lima rupiah satunya. Di warung-warung sekeliling sekolahku menjual lontong dengan cara dipiring-piringin oleh penjualnya satu piring-satu piring yang berisi lontong nasi saja tanpa kuah. Jadi kalau ada pembeli tinggal dituangi kuah gulainya. Etek penjual itu bisa dengan cepat melayani antrian pembelinya. Satu piring itu harganya lima puluh rupiah. Beberapa hari di awal sekolah, berbelanja sebelum masuk kelas sangat menyenangkan. Anak-anak kecil yang baru bisa bertransaksi menggunakan uang, dan menjadi mengerti artinya uang. Pelajaran yang tidak bagus untuk perkembangan jiwa anak-anak. Termasuk aku. Dalam hati, aku bangga karena aku merasa sudah besar, dan bangga karena sudah bisa jajan sendiri. Pertamanya aku gugup dan takut belanja masuk warung sekolah. Teman-temanku yang mempunyai kakak bisa pergi belanja bersama kakaknya, jadi dia tidak ada rasa takut seperti aku. Aku ikut-ikutan dengan teman-teman yang ada kakaknya. Sebelum aku belanja, mengambil makanan, aku lihat dulu temanku. Kalau dia minta lontong, aku juga ikutan. Maksudnya biar membayarnya nanti, sama-sama membayarnya dengan harga yang sama. Untung temanku membeli makanan seukuran uang jajanku, kalau aku mengikuti harga makanan melebihi uang jajanku, bisa malu aku dan tentu aku akan berhutang.

Berikutnya aku tidak dapat uang jajan tiap hari lagi, hanya sesekali saja. Kadang-kadang uang jajanku dikurangi menjadi dua puluh lima rupiah. Beberapa minggu kemudian aku sangat jarang dapat uang jajan ke sekolah. Dan akhirnya tidak perlu ada uang jajan lagi. Apakku mengajarkanku pagi-pagi ke sekolah makan nasi dulu di rumah, meski itu nasi dingin atau kerak nasi, harus makan dulu. Amakku melebihkan masak nasinya waktu sore. Jadi pagi-pagi pasti ada sisa nasi semalam agak sepiring dalam periuk di dapur. 

“Tidak ada jajan-jajan lagi ya, biar otaknya pintar dan kuat” kata apakku. 

Aku anak yang menurut dan tidak bisa banyak menuntut. Padahal mana mungkin menambah otak pintar kalau tiap pagi makan nasi pakai sambal saja dan kadang-kadang pakai garam kasih minyak?. Yang jelas, alasan yang paling tepatnya bahwa apak dan amakku tidak punya uang, dan tidak mampu memberiku uang jajan.

Ibu guru mengajarkan kesederhanaan kepada muridnya, “Yang penting kalian mau sekolah harus tekun dan rajin, buku pelajaran harus dirawat, dijaga kerapian dan kebersihan buku tulis itu. Untuk merawatnya agar tidak hancur dan sobek kalian harus pakai tas, tas tidak mesti tas dari kain, kulit atau yang bagus, kantong asoy pun jadi.” Kata bu guruku.

 Kantong Asoy yaitu kantong plastik yang biasa digunakan untuk bungkus-bungkus belanjaan dari pasar. Pada hal kalaupun sudah pakai tas yang bagus sekalipun buku tulis yang aku miliki akan hancur cepat dengan sendirinya begitu digunakan. Begitu juga buku-buku yang dimiliki kebanyakan teman-temanku. Pakai buku tulis tipis isi 18 lembar, kalau dituliskan maka lembaran belakang, baliknya akan tembus dan membekas kasar. Apa lagi kalau salah menulis, lalu menghapus tulisanya, maka buku itu akan bolong. Buku itu sudah cukup mahal bagiku yang harganya sekitar dua puluh lima rupiah. Kalau buku yang bagus harganya lebih mahal lagi, mereknya sinar dunia isi 50 lembar, kertasnya tebal tidak tembus kebelakang bila di tuliskan. Yang dimiliki oleh beberapa orang saja dalam kelasku. 

“Kemudian, buku harus ada bungkusnya, apalagi kulit bukunya bergambar artis tidak boleh telanjang, buku yang berwarna warni harus ditutup”, bu guru member tahu. Ibu guru sangat marah mempunyai buku yang isi luarnya gambar artis dan tidak dibungkus dengan kertas pembungkus. Padahal buku semacam itu sudah mahal harganya dari buku isi 18 lembar. 

Baju seragam sekolah, aku dapat memakainya setelah seminggu sekolah. Peraturan sekolah pun tidak mewajibkan secepatnya setiap murid memakai seragam sekolah. Begitu juga dengan sepatu, bahkan ada temanku ke sekolah tidak pakai sepatu. 

Dari bu guru aku tahu istilahnya, waktu bu guru bertanya,”mengapa kamu ke sekolah pakai kaki ayam?”
Aku melihat kaki temanku yang ditanya oleh bu guru, aku pikir dia bawa kaki ayam kesekolah. Begitu aku melihat kekakinya, ternyata dia tidak pakai sepatu atau sandal. Aku bersyukur masih pakai sepatu, walau bekas dan riwayat akhir sepatu yang aku pakai, jempolku sudah keluar dari ujung sepatu, telapaknya sudah lepas yang sudah beberapa kali dijahit ulang dan tidak bisa dijahit lagi barulah sepatuku diganti. Metode memakai sepatu ala aku itu sangat tahan beberapa tahun.

“Belum ada sepatu bu” begitu jawab temanku itu. Alasannya juga pasti samalah dengan aku. Karena orang tuanya tidak mampu. Ada juga beberapa temanku yang kehidupan orang tuanya tergolong keluarga tidak mampu dan kekurangan sepertiku.

Teman-teman sekolahku ada yang rumahnya jauh dari sekolah, meski mereka dari desa yang sama. Karena desaku terdiri beberapa dusun, dusun yang agak jauh dari sekolah adalah dusun Padang Mantung dan Pasar Juha. Mereka yang dari dusun tersebut sudah tentu cukup jauh berjalan ke sekolah di bandingkan aku, salah satu temanku yang jauh itulah belum punya sepatu. Sejauh itu berjalan ke sekolah dengan kaki ayam. Ada juga beberapa orang dari desa seberang seperti bakoku yang duduk disebelahku yang pernah aku ceritakan.

Setelah beberapa hari sekolah, aku baru tahu nama bu guru kelasku. Aku tahu panggilan ibu itu, ibu Insyah. Setelah menerima rapor di kemudian hari, baru aku tahu nama lengkap ibu guruku itu, ibu Anisah. Aku tahu nama ibu Insah dari amakku karena kata amakku, ibu itu juga ibu gurunya. Ketika amakku jadi murid ibu Insyah, ibu itu masih gadis. Jadi aku murid generasi keduanya.

No comments:

Post a Comment