Wednesday, May 2, 2012

KENANGAN HARI PERTAMAKU MASUK SD

Aku tidak tahu harus berapa lama menunggu waktu untuk masuk sekolah setelah mendaftar. Bulan depan kata amakku.  Entah apa artinya itu. Aku tidak peduli lagi tentang sekolah dan tidak merasa menunggu waktu. Karena tidak ada uda-uda, uni-uni disekeliling rumahku pergi sekolah. Tiap hari anak-anak dikampung sekeliling rumah, banyak bermain-main dan bermain. Aku lupa sudah ajakan si Ing tentang sekolah, toh dia juga tiap hari dari pagi, siang sampai sore banyak bermain-main di halaman depan rumah si Jum. Halaman rumah si Jum tempat berkumpul anak-anak bermain di lingkungan sekitar rumah di kampungku, selalu ramai tanpa ada yang mengkomandoi. Halaman rumahnya bagus untuk bermain. Tidak ada rumput, tanahnya bersih, kering, tidak berbatuan, datar dan terlindungi dari sinar matahari. Pohon-pohon besar disekelilingnya. Pohon durian, jambu, nangka. Halaman rumah itu dikelilingi kebun yang dipenuhi juga tanam-tanaman muda, seperti kopi, talas, pisang, ubi kayu dan sebagainya. Kalau bermain petak umpet sangat bagus untuk tempat bersembunyi.

Masa-masa yang hanya senang bermain-main. Pagi-pagi sekali, amak menyuruhku bangun pagi, membawaku mandi ke pancoran di baruah. Rupanya aku baru mengerti, setelah amak memakaikan baju. Aku ingat sewaktu pergi bersama amak, katanya mendaftar sekolah. Baju kaus coklat belang-belang, dan celana pendek coklat bekas pemberian orang. Aku sangat senang sekali. Hari ini waktu masuk sekolah sudah tiba. Aku sudah lupa kalau sekolah pakai seragam putih merah yang pernah dikatakan si Ing, dan aku lupa janji amak akan membelikan aku baju seragam baru. Aku lupa dalam kesenangan. Hari ini aku akan pergi ke sekolah, bisa bermain dengan banyak teman dan bisa pakai sepatu. Untuk beli seragam sekolah, amakku belum juga punya uang. Meski aku anak pertama yang akan baru sekolah. Ketidak mampuan, keterbatasan dan keadaan amak dan apak, aku memakai apa adanya. Toh, mungkin orang tuaku itu sudah berusaha keras, kenyataannya hasil usahanya sekedar dapat memenuhi isi perut siang dan petang untuk aku, si Al dan si Wel, adik-adikku. Hasilnya sekedar pembeli beras untuk satu hari makan, garam dan cabe untuk sambal sebagai lauknya..

Pagi itu langit diselimuti awan tipis, udara dingin dan segar seperti biasa menemani pagi di kampungku daerah kaki gunung. Pancaran cahaya matahari menyebar tertutup warna kelabu. Cukup menghangatkan dingin serta menguapkan embun yang melembabkan tanah, daun-daun rumput di pematang sawah dan rumput-rumput liar di tepi jalan kampung. Dua adikku ditinggal bersama mak gaekku dirumah. Apakku sudah berangkat setelah minum segelas kopi mencari nafkah. Aku yang ditemani amakku berangkat ke sekolah. Antara rumahku ke sekolah melewati satu jalur yang berbahaya. Yaitu jalan raya besar, jalan raya Padang - Bukit Tinggi. Orang tua sangat was-was sekali kalau melepas anaknya kesekolah sendiri, apalagi aku yang pertama kali ke sekolah. Selain itu, peraturan sekolah di hari pertama sekolah diharapkan orang tua murid agar bisa datang untuk  serah terima anaknya kepihak sekolah untuk menyerahkan tanggung jawabnya ke guru selama jam pelajaran sekolah.

Dalam pelajaran geografi, Negara Indonesia terletak di jalur strategis, yaitu di antara dua benua Asia dan Australia, dua samudra Hindia dan Fasifik. Kalau geografis sekolahku juga terletak diantara dua jalur. Sama-sama dua jalur, tapi sekolah ku terletak diantara dua jalur berbahaya, yaitu antara jalan raya utama propinsi dan jalur Kareta Api. Sekolahku hanya berbatasan selokan dengan jalur kareta api. Tanggung jawab guru cukup berat saat jam istirahat, tapi karena sudah naluri dalam kondisi berbahaya tiap hari dan sudah biasa, kondisi menyatu dengan jiwa, insting anak-anak sekolah cukup tajam kalau ada bahaya kendaraan atau kareta api akan tiba. Sehingga Alhamdulillah, selalu aman dan belum pernah anak-anak yang ditabrak kareta api.

“Nah, ini baru sekolah, ramai banyak uda-uda, uni-uni bermain-main” bathinku berkata begitu sampai dihalaman sekolah. Sebagian anak-anak seusiaku sudah memakai baju warna putih dan merah. Ada yang lengkap ada juga yang tidak. Belang, baju putih, celana atau rok warna lain, atau sebaliknya. Masih banyak juga yang belum pakai seragam seperti aku. Masih lumayan ada yang berpakai seragam meski kelihatan bekasnya, biasanya seragam hibahan dari kakaknya.

Di halaman sekolah didepan ruangan kelas satu, anak-anak murid baru dikumpulkan.  Seorang ibu guru kemudian menyuruh berbaris. Anak-anak baru jadi tontonan kakak-kakak kelas dan para orang tua yang mengantarkan anaknya. Bu guru kewalahan mengatur calon muridnya itu berbaris, diatur didepan di belakang kacau, diatur di belakang di depan berantakan. Tidak lama kemudian semua disuruh masuk ruangan kelas satu persatu dan disuruh memilih bangku tempat duduk yang disukai. 
Begitu giliranku masuk ke ruangan, aku memilih bangku paling depan. Kebanyakan anak-anak memilih dibagian tengah dan belakang. Setelah semuanya masuk, cahaya ruangan kelas menjadi redup, ternyata di luar jendela kelas para penonton ketika berbaris tadi, bekelompok-kelompok berdiri menonton, mengintip ke ruangan. Sehingga menutupi cahaya masuk.
Aku heran, mengapa kakak-kakak kelas diluar itu tidak masuk ruangan kelasnya?. Ibu guru membiarkan keadaan seperti itu. Perhatiannya tertuju kepada anak murid baru kelas satu. Lalu ibu itu menunjuk satu-satu dan disuruh pindah tempat duduk sesuai keinginan ibu guru itu. Bagaikan orang main catur yang memindah-mindahkan anak catur dengan menggunakan telunjuk. Yang duduk dibelakang dipindah kedepan, di depan ketengah atau ke belakang, ke samping, ke  kiri dan kanan. Beberapa murid tidak kena tunjuk dan tidak pindah termasuk aku. Aku tetap duduk di meja pilihanku didepan.

Di luar jendela ruangan kelas terdengar cekikan dan tertawa kecil kakak kelas dan orang tua seperti menonton pertunjukan yang lucu melihat murid-murid baru duduk setelah diatur. Setelah selesai ibu guru mengatur, aku perhatikan yang badannya kecil-kecil seperti aku duduk dibagian depan, yang menegah di tengah dan yang besar dan tinggi di belakang. Setiap meja yang dilengkapi bangku panjang di tempati tiga orang, kalau anaknya berbadan besar. Empat anak sebangku bagi yang berbadan kecil. Kemudian setiap meja ditengahnya anak perempuan. Kalau di mejanya ada empat orang, jadi ada dua anak perempuan di tengah-tengahnya.
Aku berbadan kecil dan kurus, jadi di mejaku ibu guru menempatkan empat orang. Aku duduk dipinggir sebelah kiri, dua orang anak perempuan di tengah dan paling kanan laki-laki. Jadi di mejaku kami ada dua pasang.

Rupanya karena kondisi itulah kakak-kakak diluar jendela dan orang tua murid baru menjadi cekikikan dan tertawa. Melihat anak-anak kecil ingusan dalam ruangan kelas duduk bersanding-sanding antara laki-laki dan perempuan. Ini adalah aturan sekolahku. Kata bu guru tujuannya biar kelas jadi tenang dan tidak ribut selama jam belajar. Aturan duduk ini berlaku untuk anak kelas satu sampai kelas empat.
Namun dibalik tujuan guru itu, bagi kakak kelas, kami dibilangin pacaran. Di hari pertama sekolah, sepertinya hari kami dijodoh-jodohkan. Di usia tujuh tahun itu jadinya aku sudah mengenal kata “pacaran” dari kakak kelas. Menurutku artinya laki-laki dan perempuan duduk berdekat-dekatan. Aku merasa malu, benci, tidak suka dan menggerutu.
Akhirnya aku tidak berani menyapa teman perempuan, termasuk yang duduk disampingku. Tidak bertegur sapa, aku jadi penakut sama anak perempuan. Pada hal aku kenal dengan dia yang duduk disampingku itu. Kata amakku, dia adalah bako ku. Ibunya masih ada hubungan keluarga dengan apakku. Dianya sekolah hanya beberapa bulan saja. Karena rumahnya di desa Subarang, jaraknya jauh dengan sekolah. Berjalan kaki beberapa kilometer. Kalau ke sekolah harus menyebrang sungai, jika hari hujan atau sungainya meluap dia tidak berangkat ke sekolah.
Di tengah sebelah kanannya lagi anak perempuan berbadan kecil, rambutnya lurus-lurus pakai bado. Menurutku dia gadis kecil yang cantik, rambutnya wangi. Harumnya sampai ke hidung. Apalagi ketika aku deg-degan dan bernafas dalam-dalam. Dia digelari teman-temanku si kaciak, artinya si kecil.
Setelah beberapa bulan sekolah berjalan kemudian aku digelari oleh kakak kelas pacaran dengan si kacik, pada hal temanku laki-laki sebelahnya tidak digelari. Aku tidak suka digelari pacar-pacaran, jadi aku tidak pernah menyapa atau berbicara saja sama dia. Si Kaciak.

Kembali ke awal hari pertama masuk sekolah.

“ Anak-anak, tolong diam” ibu guru menenangkan suara ribut dari anak-anak yang di bangku belakang.
“Tangan dilipat, letakan di atas meja, seperti ini,” bu guru memerintah dan mengasih contoh cara melipat tagan diatas meja.

Semuanya mengikuti dengan patuh, diam dan tenang memperhatikan bu guru.
Ibu guru membacakan satu persatu nama-nama murid barunya. Siapa namanya yang di sebut tunjuk tangan. Aku bangga sekali ketika giliran namaku dibaca bu guru, dengan semangat dan sangat cepat aku angkat tangan dan berteriak “ saya buuuk”.

Setelah selesai bu guru membacakan nama-nama muridnya, lalu bu guru bertanya “anak-anak, tadi pagi sudah mandi semua beluuuum?”

“Sudah buuu…….k”, jawab murid serempak, aku terlambat mengikuti kor kalimat itu, aku malu.

“Bagus” jawab bu guru membanggakan.

“Anak-anak, besok duduk di bangku kalian seperti ini lagi. Tidak boleh pindah-pindah, tempat duduknya harus seperti ini, mengerti………..?” suara bu guru lantang dan menggema kan ruangan kelas.
“Mengerti buu…k” jawab anak-anak serempak lagi.
“Kalian sekarang sudah sekolah, jadi…….. pagi-pagi harus selalu cepat bangun pagi, mandi, gosok gigi, biar jadi anak pin,…..” bu guru mengantung lanjutan kata-katanya, sambil badanya di bungkukan sedikit.
“taaaar” ibu guru meneruskan lanjutan kalimatnya yang memberi tahu dan mengigatkan murid-muridnya. Sambil terus berjalan ke kiri dan ke kanan modar mandir.
Dalam hati aku bangga mendengar kata-kata bu guru itu, “sudah sekolah”. Berarti aku sudah besar.

“Siapa yang mau mandi pagi dan gosok gigi……?” Tanya bu guru lagi.
“Saya buu…k,” saya sudah berani mengeluarkan suara serempak dengan teman-teman yang lain. Setiap kali mengucapkan “saya buk” tangannya diangkat keatas tinggi-tinggi dan jari telunjuk mengacung.

Semuanya semangat, semuanya balapan angkat tangan. Hatiku senang, aku sudah tidak malu-malu, dan tidak ragu lagi. Berteriak “saya buk”, terus angkat tangan sambil telunjuk mengacung.  Aku sudah tersihir pagi itu dengan semangat, sepertinya pertama kali menjalani kehidupan baru dalam hidupku. Tanya apa saja bu guru, pokoknya angkat tangan secepatnya. Aku menjadi yang paling cepat angkat tangan. Bu guru belun selesai bertanya, tanganku sudah naik duluan dari teman-teman yang lain. Pada hal tidak semuanya ku paham apa yang ditanyakan. Teman perempuan di sebelahku tidak membuat aku jadi pemalu lagi, tapi malu menyapanya, takut untuk berbicara padanya.

Ibuu guru bertanya lagi“siapa yang mau jadi ketua kelaa…s?”.  Aku paling cepat menunjuk “Saya buuu…k”
Padahal aku tidak mengerti apa itu ketua kelas. Ibu guru menunjukku ketua kelas karena aku paling cepat menunjuk, angkat tangan.
“Ya,…. ini yang cepat angkat tanganya” kata bu guru menunjuk ke aku.

Lalu aku diajari ibu guru tugas ketua kelas setiap pagi untuk menyiapkan kelas ketika bu guru sudah duduk di mejanya. Yang lain mengikuti aba-aba yang berikan ketua kelas.

“Siap grak, hormat grak” aku mengikuti ucapan bu guru. Ketika hormat grak, semua kepala serentak menunduk ke meja dengan posisi tangan dilipat dimeja. Di tahan beberapa detik, lalu “tegak grak” kata bu guru, aku mengikutinya. Semua kepala berdiri lagi.
“berdoa, mulai” lanjutnya.

Aku dan semua murid baru diajari membaca doa yang bunyi nya, “bismillahirahmanirrahim, Rabbitubillahi rabba wabil islaamadina, wabil muhammadin nabiyau warasullah, rabbiziqni ilman wazuqni fahman…..amiin”

Jika pelajaran berakhir, mau pulang sekolah, ketua mensiapkan lagi. Tetapi bedanya membaca doanya dengan membaca Al Fatihah saja.

Lebih kurang dua jam sudah berlalu. Pagi bertambah terang. Ibu guru mengakhiri pembukaan tahun ajaran baru tahun 1983 untuk murid baru kelas satu SD Negeri 2 Guguk, Kayu Tanam. Aku disuruh menyiapkan kelas untuk pulang dengan membeo mengikuti kata-kata bu guru karena belum bisa. Aku dan semuanya keluar ruangan kelas seperti anak itik keluar kandang. Orang tua menyambut anak-anaknya dihalaman. Kakak kelas yang mengintip di jendela sudah bubar masuk ke kelas baru mereka masing-masing. Yang tahun lalu kelas tiga hari itu masuk ruangan kelas empat, dulu belajar di ruangn kelas empat masuk ke kelas lima, tahun lalu kelas lima masuk ke kelas enam. Kelas dua menunggu anak kelas satu baru keluar. Kelas satu dan kelas dua mengunakan ruangan yang sama. Aku pulang bersama amak. Amak membimbingku melintas jalan raya. Beriring bersama si Ing, si Rudi, si Jum dan teman-teman yang searah ke kampung.  

Setelah beberapa hari sekolah aku mengerti sekolah tidak untuk bermain. Bermain-main, ya, di rumah sepulang sekolah. Tiap pagi lonceng berbunyi dipukul bu guru, semuanya membuat barisan, kemudian olahraga senam jasmani, langkah-langkah senam anak kelas satu acak-acakan, banyak salah, masih mengikuti gerakan-gerakan kakak kelasnya. Baris sudah diatur dari kelas paling tua, kelas enam dan yang dibelakang sekali kelas satu. Satu orang kakak kelas enam bertindak sebagai komando. Siapa barisan yang rapi duluan masuk kelas. Yang duluan masuk kelas merasa senang seolah-olah menang.(*)


kepada teman-temanku, SD N 02 Guguk, semoga ceritaku ini bisa mengingatkan kembali sewaktu hari pertama di kels satu Juli 1983.



No comments:

Post a Comment