Masa-masa yang hanya senang bermain-main. Pagi-pagi sekali, amak menyuruhku bangun pagi, membawaku mandi ke pancoran di baruah. Rupanya aku baru mengerti, setelah amak memakaikan baju. Aku ingat sewaktu pergi bersama amak, katanya mendaftar sekolah. Baju kaus coklat belang-belang, dan celana pendek coklat bekas pemberian orang. Aku sangat senang sekali. Hari ini waktu masuk sekolah sudah tiba. Aku sudah lupa kalau sekolah pakai seragam putih merah yang pernah dikatakan si Ing, dan aku lupa janji amak akan membelikan aku baju seragam baru. Aku lupa dalam kesenangan. Hari ini aku akan pergi ke sekolah, bisa bermain dengan banyak teman dan bisa pakai sepatu. Untuk beli seragam sekolah, amakku belum juga punya uang. Meski aku anak pertama yang akan baru sekolah. Ketidak mampuan, keterbatasan dan keadaan amak dan apak, aku memakai apa adanya. Toh, mungkin orang tuaku itu sudah berusaha keras, kenyataannya hasil usahanya sekedar dapat memenuhi isi perut siang dan petang untuk aku, si Al dan si Wel, adik-adikku. Hasilnya sekedar pembeli beras untuk satu hari makan, garam dan cabe untuk sambal sebagai lauknya..
Pagi itu langit diselimuti awan tipis, udara dingin dan segar seperti biasa menemani pagi di kampungku daerah kaki gunung. Pancaran cahaya matahari menyebar tertutup warna kelabu. Cukup menghangatkan dingin serta menguapkan embun yang melembabkan tanah, daun-daun rumput di pematang sawah dan rumput-rumput liar di tepi jalan kampung. Dua adikku ditinggal bersama mak gaekku dirumah. Apakku sudah berangkat setelah minum segelas kopi mencari nafkah. Aku yang ditemani amakku berangkat ke sekolah. Antara rumahku ke sekolah melewati satu jalur yang berbahaya. Yaitu jalan raya besar, jalan raya Padang - Bukit Tinggi. Orang tua sangat was-was sekali kalau melepas anaknya kesekolah sendiri, apalagi aku yang pertama kali ke sekolah. Selain itu, peraturan sekolah di hari pertama sekolah diharapkan orang tua murid agar bisa datang untuk serah terima anaknya kepihak sekolah untuk menyerahkan tanggung jawabnya ke guru selama jam pelajaran sekolah.
Dalam pelajaran geografi, Negara Indonesia terletak di jalur strategis, yaitu di antara dua benua Asia dan Australia, dua samudra Hindia dan Fasifik. Kalau geografis sekolahku juga terletak diantara dua jalur. Sama-sama dua jalur, tapi sekolah ku terletak diantara dua jalur berbahaya, yaitu antara jalan raya utama propinsi dan jalur Kareta Api. Sekolahku hanya berbatasan selokan dengan jalur kareta api. Tanggung jawab guru cukup berat saat jam istirahat, tapi karena sudah naluri dalam kondisi berbahaya tiap hari dan sudah biasa, kondisi menyatu dengan jiwa, insting anak-anak sekolah cukup tajam kalau ada bahaya kendaraan atau kareta api akan tiba. Sehingga Alhamdulillah, selalu aman dan belum pernah anak-anak yang ditabrak kareta api.
“Nah, ini baru sekolah, ramai banyak
uda-uda, uni-uni bermain-main” bathinku berkata begitu sampai dihalaman
sekolah. Sebagian anak-anak seusiaku sudah memakai baju warna putih dan merah.
Ada yang lengkap ada juga yang tidak. Belang, baju putih, celana atau rok warna
lain, atau sebaliknya. Masih banyak juga yang belum pakai seragam seperti aku.
Masih lumayan ada yang berpakai seragam meski kelihatan bekasnya, biasanya
seragam hibahan dari kakaknya.
Di halaman sekolah didepan ruangan
kelas satu, anak-anak murid baru dikumpulkan.
Seorang ibu guru kemudian menyuruh berbaris. Anak-anak baru jadi
tontonan kakak-kakak kelas dan para orang tua yang mengantarkan anaknya. Bu
guru kewalahan mengatur calon muridnya itu berbaris, diatur didepan di belakang
kacau, diatur di belakang di depan berantakan. Tidak lama kemudian semua
disuruh masuk ruangan kelas satu persatu dan disuruh memilih bangku tempat
duduk yang disukai.
Begitu giliranku masuk ke ruangan,
aku memilih bangku paling depan. Kebanyakan anak-anak memilih dibagian tengah
dan belakang. Setelah semuanya masuk, cahaya ruangan kelas menjadi redup,
ternyata di luar jendela kelas para penonton ketika berbaris tadi,
bekelompok-kelompok berdiri menonton, mengintip ke ruangan. Sehingga menutupi
cahaya masuk.
Aku heran, mengapa kakak-kakak kelas
diluar itu tidak masuk ruangan kelasnya?. Ibu guru membiarkan keadaan seperti
itu. Perhatiannya tertuju kepada anak murid baru kelas satu. Lalu ibu itu
menunjuk satu-satu dan disuruh pindah tempat duduk sesuai keinginan ibu guru
itu. Bagaikan orang main catur yang memindah-mindahkan anak catur dengan
menggunakan telunjuk. Yang duduk dibelakang dipindah kedepan, di depan ketengah
atau ke belakang, ke samping, ke kiri
dan kanan. Beberapa murid tidak kena tunjuk dan tidak pindah termasuk aku. Aku tetap
duduk di meja pilihanku didepan.
Di luar jendela ruangan kelas
terdengar cekikan dan tertawa kecil kakak kelas dan orang tua seperti menonton
pertunjukan yang lucu melihat murid-murid baru duduk setelah diatur. Setelah
selesai ibu guru mengatur, aku perhatikan yang badannya kecil-kecil seperti aku
duduk dibagian depan, yang menegah di tengah dan yang besar dan tinggi di
belakang. Setiap meja yang dilengkapi bangku panjang di tempati tiga orang, kalau
anaknya berbadan besar. Empat anak sebangku bagi yang berbadan kecil. Kemudian
setiap meja ditengahnya anak perempuan. Kalau di mejanya ada empat orang, jadi
ada dua anak perempuan di tengah-tengahnya.
Aku berbadan kecil dan kurus, jadi di
mejaku ibu guru menempatkan empat orang. Aku duduk dipinggir sebelah kiri, dua
orang anak perempuan di tengah dan paling kanan laki-laki. Jadi di mejaku kami
ada dua pasang.
Rupanya karena kondisi itulah kakak-kakak
diluar jendela dan orang tua murid baru menjadi cekikikan dan tertawa. Melihat
anak-anak kecil ingusan dalam ruangan kelas duduk bersanding-sanding antara
laki-laki dan perempuan. Ini adalah aturan sekolahku. Kata bu guru tujuannya
biar kelas jadi tenang dan tidak ribut selama jam belajar. Aturan duduk ini
berlaku untuk anak kelas satu sampai kelas empat.
Namun dibalik tujuan guru itu, bagi
kakak kelas, kami dibilangin pacaran. Di hari pertama sekolah, sepertinya hari
kami dijodoh-jodohkan. Di usia tujuh tahun itu jadinya aku sudah mengenal kata “pacaran”
dari kakak kelas. Menurutku artinya laki-laki dan perempuan duduk
berdekat-dekatan. Aku merasa malu, benci, tidak suka dan menggerutu.
Akhirnya aku tidak berani menyapa
teman perempuan, termasuk yang duduk disampingku. Tidak bertegur sapa, aku jadi
penakut sama anak perempuan. Pada hal aku kenal dengan dia yang duduk
disampingku itu. Kata amakku, dia adalah bako
ku. Ibunya masih ada hubungan keluarga dengan apakku. Dianya sekolah hanya
beberapa bulan saja. Karena rumahnya di desa Subarang, jaraknya jauh dengan
sekolah. Berjalan kaki beberapa kilometer. Kalau ke sekolah harus menyebrang
sungai, jika hari hujan atau sungainya meluap dia tidak berangkat ke sekolah.
Di tengah sebelah kanannya lagi anak perempuan
berbadan kecil, rambutnya lurus-lurus pakai bado. Menurutku dia gadis kecil yang
cantik, rambutnya wangi. Harumnya sampai ke hidung. Apalagi ketika aku
deg-degan dan bernafas dalam-dalam. Dia digelari teman-temanku si kaciak,
artinya si kecil.
Setelah beberapa bulan sekolah
berjalan kemudian aku digelari oleh kakak kelas pacaran dengan si kacik, pada
hal temanku laki-laki sebelahnya tidak digelari. Aku tidak suka digelari
pacar-pacaran, jadi aku tidak pernah menyapa atau berbicara saja sama dia. Si
Kaciak.
Kembali ke awal hari pertama masuk
sekolah.
“ Anak-anak, tolong diam” ibu guru
menenangkan suara ribut dari anak-anak yang di bangku belakang.
“Tangan dilipat, letakan di atas
meja, seperti ini,” bu guru memerintah dan mengasih contoh cara melipat tagan
diatas meja.
Semuanya mengikuti dengan patuh, diam
dan tenang memperhatikan bu guru.
Ibu guru membacakan satu persatu
nama-nama murid barunya. Siapa namanya yang di sebut tunjuk tangan. Aku bangga sekali
ketika giliran namaku dibaca bu guru, dengan semangat dan sangat cepat aku
angkat tangan dan berteriak “ saya buuuk”.
Setelah selesai bu guru membacakan
nama-nama muridnya, lalu bu guru bertanya “anak-anak, tadi pagi sudah mandi
semua beluuuum?”
“Sudah buuu…….k”, jawab murid serempak,
aku terlambat mengikuti kor kalimat itu, aku malu.
“Bagus” jawab bu guru membanggakan.
“Anak-anak, besok duduk di bangku
kalian seperti ini lagi. Tidak boleh pindah-pindah, tempat duduknya harus
seperti ini, mengerti………..?” suara bu guru lantang dan menggema kan ruangan
kelas.
“Mengerti buu…k” jawab anak-anak serempak
lagi.
“Kalian sekarang sudah sekolah, jadi……..
pagi-pagi harus selalu cepat bangun pagi, mandi, gosok gigi, biar jadi anak pin,…..”
bu guru mengantung lanjutan kata-katanya, sambil badanya di bungkukan sedikit.
“taaaar” ibu guru meneruskan lanjutan
kalimatnya yang memberi tahu dan mengigatkan murid-muridnya. Sambil terus
berjalan ke kiri dan ke kanan modar mandir.
Dalam hati aku bangga mendengar kata-kata
bu guru itu, “sudah sekolah”. Berarti aku sudah besar.
“Siapa yang mau mandi pagi dan gosok
gigi……?” Tanya bu guru lagi.
“Saya buu…k,” saya sudah berani
mengeluarkan suara serempak dengan teman-teman yang lain. Setiap kali
mengucapkan “saya buk” tangannya diangkat keatas tinggi-tinggi dan jari
telunjuk mengacung.
Semuanya semangat, semuanya balapan
angkat tangan. Hatiku senang, aku sudah tidak malu-malu, dan tidak ragu lagi.
Berteriak “saya buk”, terus angkat tangan sambil telunjuk mengacung. Aku sudah tersihir pagi itu dengan semangat, sepertinya
pertama kali menjalani kehidupan baru dalam hidupku. Tanya apa saja bu guru,
pokoknya angkat tangan secepatnya. Aku menjadi yang paling cepat angkat tangan.
Bu guru belun selesai bertanya, tanganku sudah naik duluan dari teman-teman
yang lain. Pada hal tidak semuanya ku paham apa yang ditanyakan. Teman
perempuan di sebelahku tidak membuat aku jadi pemalu lagi, tapi malu menyapanya,
takut untuk berbicara padanya.
Ibuu guru bertanya lagi“siapa yang
mau jadi ketua kelaa…s?”. Aku paling
cepat menunjuk “Saya buuu…k”
Padahal aku tidak mengerti apa itu ketua
kelas. Ibu guru menunjukku ketua kelas karena aku paling cepat menunjuk, angkat
tangan.
“Ya,…. ini yang cepat angkat
tanganya” kata bu guru menunjuk ke aku.
Lalu aku diajari ibu guru tugas ketua
kelas setiap pagi untuk menyiapkan kelas ketika bu guru sudah duduk di mejanya.
Yang lain mengikuti aba-aba yang berikan ketua kelas.
“Siap grak, hormat grak” aku
mengikuti ucapan bu guru. Ketika hormat grak, semua kepala serentak menunduk ke
meja dengan posisi tangan dilipat dimeja. Di tahan beberapa detik, lalu “tegak
grak” kata bu guru, aku mengikutinya. Semua kepala berdiri lagi.
“berdoa, mulai” lanjutnya.
Aku dan semua murid baru diajari
membaca doa yang bunyi nya, “bismillahirahmanirrahim, Rabbitubillahi rabba wabil
islaamadina, wabil muhammadin nabiyau warasullah, rabbiziqni ilman wazuqni fahman…..amiin”
Jika pelajaran berakhir, mau pulang
sekolah, ketua mensiapkan lagi. Tetapi bedanya membaca doanya dengan membaca Al
Fatihah saja.
Lebih kurang dua jam sudah berlalu.
Pagi bertambah terang. Ibu guru mengakhiri pembukaan tahun ajaran baru tahun
1983 untuk murid baru kelas satu SD Negeri 2 Guguk, Kayu Tanam. Aku disuruh
menyiapkan kelas untuk pulang dengan membeo mengikuti kata-kata bu guru karena
belum bisa. Aku dan semuanya keluar ruangan kelas seperti anak itik keluar
kandang. Orang tua menyambut anak-anaknya dihalaman. Kakak kelas yang mengintip
di jendela sudah bubar masuk ke kelas baru mereka masing-masing. Yang tahun
lalu kelas tiga hari itu masuk ruangan kelas empat, dulu belajar di ruangn
kelas empat masuk ke kelas lima, tahun lalu kelas lima masuk ke kelas enam.
Kelas dua menunggu anak kelas satu baru keluar. Kelas satu dan kelas dua
mengunakan ruangan yang sama. Aku pulang bersama amak. Amak membimbingku
melintas jalan raya. Beriring bersama si Ing, si Rudi, si Jum dan teman-teman
yang searah ke kampung.
Setelah beberapa hari sekolah aku
mengerti sekolah tidak untuk bermain. Bermain-main, ya, di rumah sepulang
sekolah. Tiap pagi lonceng berbunyi dipukul bu guru, semuanya membuat barisan, kemudian
olahraga senam jasmani, langkah-langkah senam anak kelas satu acak-acakan,
banyak salah, masih mengikuti gerakan-gerakan kakak kelasnya. Baris sudah
diatur dari kelas paling tua, kelas enam dan yang dibelakang sekali kelas satu.
Satu orang kakak kelas enam bertindak sebagai komando. Siapa barisan yang rapi
duluan masuk kelas. Yang duluan masuk kelas merasa senang seolah-olah menang.(*)
bersambung ke ceritaku Berikutnya
Klik ini ke Ceritaku Berikutnya : AKU BODOH NILAI BAGUS (1)
Klik ini ke Ceritaku Sebelumnya: MENDAFTAR MASUK SEKOLAH
No comments:
Post a Comment