Wednesday, October 12, 2011

UMROH DAN BERLEBARAN DI TANAH SUCI ( 2 )

Di negara ini kalau seorang expatriate, maaf tepatnya ku sebut pendatang, kalau mau pergi keluar dari negeri ini ataupun mau pulang ke negara sendiri harus dapat izin, rekomendasi dari tempat bekerja, berupa surat izin yang dikeluarkan oleh bagian imigrasi. Begitu undang undang negaranya, mungkin. Tapi ku tidak pernah tau bunyi pasal dan ayat nya, memang aku tidak mau tau itu. 

Dua hari sebelum hari keberangkatan, konfirmasi cutiku dari perusahaan belum juga keluar, padahal aku sudah mengajukan cuti seminggu sebelumnya. Kalau cuti tidak disetujui sudah jelas surat ijin keluar Negara ini yang disebut exit permit tidak akan keluar. Duh,…Bisa tidak jadi umroh aku nanti.

Dari pihak Hamlah itu sudah dua kali menelpon aku, memberitahu bahwa passport aku sudah siap. Aku tidak mengerti apa maksudnya passport sudah siap.  Rupanya, maksud dia silahkan ambil passport aku yang di tangan dia, visa umroh aku sudah jadi, sudah di keluarkan dari kedutaan Saudi. Aku heran dan bertanya ke dia “untuk apa saya ambil passport itu, bukankah saya 2 hari lagi mau berangkat umroh?”
Dia jawab dengan menjelaskan kepadaku “ itu passport untuk membuat exit permit, surat ijin keluar mu”

Wah,.. dia sok tahu ternyata, terpaksalah ku jelaskan bahwa di perusahaan tempat aku bekerja untuk mendapatkan exit permit itu syaratnya bukan adanya visa dan passport. Tapi cukup mendapatkan persetujuan cuti. Maka exit permit itu akan di keluarkan dari pihak imigrasi perusahaan. Dan surat ijin keluar itu akan berlaku selama seminggu terhitung dari hari surat itu di keluarkan. 

Setelah aku urus balik semua lagi, pastikan lagi, barulah aku dapat informasi tentang cutiku sudah disetujui dan aku dapat surat ijin keluar. Alhamdulillah, dua hari sebelum keberangkatan persyaratanku secara administratif untuk berangkat umroh sudah beres, tinggal bantu bantu istri mempersiapkan peralatan, kebutuhan selama perjalanan nanti.



PERJALANAN KE SAUDI

Klek, klek. Pintu rumahku terkuci sudah, “Bismillahi tawakaltu a’lallahi wala hawla wala kuwata illa billah, Dengan nama Allah (aku keluar) aku bertawakal pada Allah, tiada daya dan upaya kecuali karena pertolongan Allah.” dengan sedikit nafas sesak ku ucapkan doa.

Setelah sholat Zhuhur tanggal 24 Agustus 2011, 24 hari bulan puasa berjalan. Aku sampai di halaman kantor Hamlah yang diantar oleh salah seorang teman. Ternyata sudah banyak bis-bis parkir disana, banyak rupanya jemaahnya yang akan berangkat umroh, tadinya aku berpikir paling dua bis. Seperti biasa di bulan bulan musim umroh, Hamlah ini memberangkatkan jemaah hanya satu bis. Tetapi hari ini lebih sepuluh bis, aku tidak menghitungnya pasti. Kira-kiralah. Disetiap kaca depan bis-bis itu sudah di beri nomor dan juga di tempel daftar nama-nama penumpangnya. Pikiranku tertuju ke kertas yang di tempel di kaca bis-bis itu. Alhamdulillah, begitu bis yang terdekat tempatku turunkan barang dari mobil, Bis no.1, di daftarnya aku baca namaku tertulis disitu dengan tulisan abjad latin. Ada beberapa nama penumpang lain selain namakku yang bertulisan abjad latin, nama orang Indonesia. Yang bukan nama orang Indonesia, namanya bertuliskan Arab gundul. Aku lansung memukan bis yang akan aku tumpangi, aku tidak perlu mutar-mutar untuk mengecek setiap bis yang parkirnya berpencar-pencar. Tidak susah mencari namaku. Biasanya yang sudah-sudah daftar penumpang jemaah itu ditulis dengan tulisan Arab gundul. Agak sulit bagi aku untuk mencek dengan cepat bila ditulis dengan tulisan Arab seperti itu. Maklumlah memang aku tidak bisa.

Setelah semua barang aku masukan ke bagasi, aku lansung mencari tempat duduk untuk anak dan istriku sesuai nomor daftar yang tertempel di kaca bis itu. Tiga nomor bangku untuk namaku. Dua bangku bergandengan di deretan kedua di belakang sopir, itu untuk anak dan istriku. Satu nomor lagi untukku terpisah di sebelahnya. Ternyata yang sebangsa sudah disusun oleh hamlah itu duduk berdekatan. Alhamdulillah, segala ke kuwatiranku sedikit hilang, bila di Mekah nanti istriku akan sekamar dengan bangsa lain. Agak kurang nyaman rasanya. Ada dua keluarga orang Indonesia bersama dengan ku. Keluarga Bapak J, dan bapak H. Jelas nanti bila pengaturan kamarnya akan sekamar dengan keluarga yang satu bangsa. Kami besalaman dan berkenalan. Pak J, aku rasa sudah familiar dengan wajah bapak ini dan rasanya sering melihat bapak ini, tapi aku lupa dimananya. Dari perkenalan kami baru aku ingat bahwa tahun lalu kami satu rombongan saat berangkat haji bersamanya. Tetapi kami berlainan bis.
Sekitar satu setengah jam perjalanan sampai di perbatasan negara Qatar, semua penumpang menunaikan sholat Ashar. Diperbatasan Negara ini ada fasilitas toilet, mushala, kantin, minimarket dan ATM bank. Ku perisapkan air minum untuk berbuka nanti yang aku beli di minimarket itu. Perbatasan ini di bagian selatan Qatar dan berada di pinggir pantai. 

Setelah lumayan lama menunggu, akhirnya proses imigrasi untuk keluar perbatasan ini berjalan lancar. Sekitar dua jam menuggu. Bis bergerak ke gerbang perbatasan. Petugas imigrasi naik ke bis, beberapa penumpang wanita yang bercadar disuruh turun dari bis dan masuk ke sebuah ruangan untuk dipastikan wajahnya sama dengan foto yang di passport.

Lebih kurang lima menit lepas gerbang Qatar sampai di perbatasan Negara Saudi yang berjarak sekitar 10 km. Selapis awan tipis mulai memerah saga diatas permukaan laut teluk Persia menghiasi birunya langit. Mentari yang menyinari dan memanaskan suhu negeri gurun ini akan tenggelam ditelan bumi. Tugasnya selesai sudah hari ini. Azan magrib berkumandang dari telepon genggam para penumpang. Pertanda puasa hari ini sudah bisa dibatalkan. Alhamdulillah selesai 24 hari ku menjalani puasa tahun ini. "Allahumma laka shumtu wa'ala rizqika aftartu ( Ya Allah, KepadaMu aku berpuasa dan KepadaMu aku berbuka)"

Sepanjang itu waktunya digunakan untuk buka puasa dengan makan-makanan kecil yang kami bawa. Ternyata yang disebelahku penumpangnya orang Mesir, ku tahu dari cara dia mengucamkan terima kasih ketika aku tawarkan risoles made in my wife. Dia menolak tawaranku dengan mengucapkan “senkiw”. Ku ingat teman kerjaku orang Mesir, tulisan namanya Haitham, dia menyebutnya Haisam. Dia selalu mengucapkan “Thankyou” menjadi “senkiw”, “Think” menjadi “Sing”, “This” menjadi “Sis”, “There” menjadi “Ser”. Hampir kata kata bahasa Inggris yang mengandung huruf “Th” diucapkanya menjadi “S”.  Jadi ketika berkenalan denganya, dia jawab “iya” ketika aku tebak “kamu orang Mesir ya”.

Magrib belum begitu jauh pergi, beberapa menit lepas dari batas Qatar, sampailah di Gerbang Negara Saudi. Dengan perut sudah sedikit terisi, Orang orang berlarian mengambil wudhu mengejar Magrib. Subhanallah. Manusia manusia yang takut lalai pada perintah Allah, hamba hamba yang tunduk pada seruanNya. Haiyaalas sholaah……. Marilah sholat.

Di Mushala yang tidak begitu yang tidak begitu besar itu penuh oleh para pelintas negara ini. Ada beberapa bis yang lebih dulu sampai dari rombongan kami. Penumpangnya sudah selesai duluan sholat, selesai satu jamaah, masuk yang lain lalu membuat shaf dan sholat berjamaah, tanpa ada komando. Masih ada juga yang terlambat lagi, begitu selesai jamaah ini datang lagi berjamaah begitu terus sampai selesai dan berlalu.

Waktu terus beranjak, lampu lampu penerangan yang tadinya mati sekarang mulai hidup melaksanakan tugasnya dari setiap sudut menerangi kegelapan. Langit bersih sedikit menyisakan terang efek siang telah berubah gelap. Negeri gurun pasir langitnya lebih terang dengan sedikit lapisan awan. Seolah mengisyaratkan ke hatiku untuk berlaku seperti ia, bersih, terang, patuh dan pasti. Bersihkan hatimu, luruskan niatmu. Sabar dalam menghadapi rintangan dan maasalah.

Sembari menunggu proses pengecekan dan segala macam aturan imigrasi. Aku, istriku dan anakku mengisi sisa kekosongan perut setelah berbuka tadi. Menunggu dan menunggu, bis-bis antri berjejar. Penumpang, jemaah-jemaah umroh itu sabar duduk di bis berpendingin ruangan.
Tidak terasa waktu Isya sudah tiba menyambut. Sudah satu setengah jam menunggu. Bis rombonganku belum juga dapat giliran. Azan kembali berkumandang. Sekarang suara azan terdengar lansung dari Mushala dipinggir pagar disudut area pakiran. Kembali orang orang berduyun duyun ke Mushala. Di toilet antri dan butuh waktu untuk mengambil wudhu, jumlah fasilitas tempat wudhunya sudah tidak seimbang dengan jumlah orang yang antri untuk keluar gerbang perbatasan ini. Seperti suasana Magrib tadi. Allahu Akbar.

Di perbatasan Saudi ini tidak seperti perbatasan Qatar. Disini tidak ada minimarket, restoran, ATM Bank. Syukurlah nasi dan lauk sudah disiapkan istriku dari rumah. Air minum juga sudah aku beli di perbatasan Qatar tadi. Tidak maasalah tidak ada minimarket atau tidak ada restoran yang menjual makanan. Toilet dan tempat wudhunya tidak sebersih di perbatasan Qatar. Lalu ku perhatikan kondisinya seperti terminal, ternyata puluhan bis ikut mengantri di belakang bis rombonganku. Semua bertujuan Mekah. Tambah lagi kendaraan pribadi yang tak terhitung jumlahnya. Kendaraan itu berebutan masuk ke gerbang loket imigrasi, dan macet. Dari beberapa loket yang ada hanya dua loket yang buka. Subhanallah, begitu banyaknya orang pergi berumrah, seperti suasana waktu aku berangkat Haji.

Sopir bis itu memberitahukan, bagi perempuan masuk ke sebuah ruangan kantor imigrasi di belakang sana, sebuah ruang semi permanen. Di tangan sopir itu memegang setumpuk passport. Selesai pengecekan di perbatasan Qatar tadi, semua passport penumpang disimpan dan di pegang oleh sopir bis. Ku antar istriku ke ruang yang di tunjuk oleh sopir orang Sudan itu. Anak anak dan istri Pak “J” juga ikut. Aku menunggu di luar. Perempuan saja yang boleh masuk, laki-laki dilarang. Itu ruangan untuk Anissa, ruangan untuk laki laki dan perempuang terpisah. Lebih kurang lima belas menit Istriku keluar. Katanya petugas di dalam itu menanyakan passport. Astagfirullah a’l a’zzim. Tadi aku sudah Tanya ke sopir itu, kesana itu bawa passport atau tidak? Dia bilang “ruh..ruh”. Sana… sana begitu artinya. Si sopir itu tidak begitu bisa berbahasa Inggris, jadi mungkin dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan tadi. Terpaksa harus mencari dia, sehingga lebih kurang sepuluh menit kemudian baru ketemu. Barulah dia kasihkan passport istrikku, dan kembali lagi antri ke ruangan itu. Dalam ruangan itu proses pengambilan sidik jadi dan foto bagi siapa yang mau masuk negara ini. Lebih kurang satu jam baru selesai urusannya.

Setengah jam kemudian giliran penumpang laki laki yang di suruh masuk keruangan khusus laki laki pula. Sambil memegang passport masing masing. Di ruangan itu sudah banyak orang antri berbaris panjang. Orang berbagai Negara, Pakistan, India, Algeria, Sudan dan beberapa kira kira bangsa Arab yang tidakku tahu pasti. Ada sekitar delapan atau sepuluh loket meja untuk sidik jari dan berfoto, tetapi satu loket saja yang buka. Semua orang antri ke meja yang satu itu. Prosesnya lambat. Satu orang selesai, ku hitung kira kira butuh waktu lima menit untuk proses satu orang. Sekitar dua puluhan orang di depanku, antri. Kalau satu orang butuh waktu lima menit, kalau dua puluh akan butuh waktu 100 menit, baru giliranku. Hampir 2 jam aku akan berdiri disini  menunggu. Dalam menunggu antrian itu ada beberapa orang yang berpakaian gamis putih, berbahasa Arab lansung menyelinap ke petugas di depan itu, lalu dia dilayani duluan. Orang berpakain gamis putih itu di layani duluan. Tertunda lagi waktu antrian ku,.. huff,. Astagfirullah, orang macam apa itu?...... Sudah jelas kita lagi mengantri panjang tiba tiba orang itu dapat pelayanan duluan. Emangnya dia siapa? Kita yang berdirinya ini dia anggap apa? Darahku serasa mendidih. Tidak tau menumpahkan emosi ini. Tahan. Tahan. Dan tahan.

Kondisi seperti itu berlalu di depanku tidak satu atau dua orang, ada beberapa. Orang yang berpakaian gamis putih dan berbahasa arab itu. Sementara itu di mushala terdengar ayat ayat Allah dari suara Imam sedang memimpin sholat Tarwih. Mungkin sudah separoh sholat berjalan. Proses pemeriksaan rombongan kami untuk keluar dari perbatasan Negara Saudi ini belum jua selesai. Aku masih antri. Sambil melayani, si petugas itu sambil ngobrol melayani orang yang lain yang bertanya dengan bahasa Arab. Lama sekali, ku tidak mengerti. Lebih setengah jam aku berdiri dalam antrian, tiba tiba petugas itu mengatakan, “Tutup”. Loket nya di tutup. Katanya pergi ke loket di luar ruangan itu. Dekat loket mobil pribadi masuk. 

Rupanya jam tugas dia selesai, dia mau pulang. Kalau memang dia mau tutup, mengapa tidak di kasih tahu, tidak di umumkan dari tadi?. Kasih tahulah kalau jam 22.45 loketnya akan tutup. Jadi kita kan tidak capek antri, berdiri. Memang orang yang tidak ada tenggang rasanya, ya?. Hidup se enaknya saja.
Semua yang tadinya antrian tadi berlarian menuju loket yang di tunjuk petugas di dalam ruangan itu tadi. Di situ ada dua loket yang buka. Loket itu sebenarnya bukan untuk penumpang bis. Itu untuk mobil pribadi.
Yang antri tidak hanya penumpang bis dari kami saja, juga dari bis bis yang lain. Antrian nya sampai ke jalan mobil yang melintas, di luar ruangan terbuka dan malam yang udara panas. Beberapa dari orang-orang itu ada yang tidak mau mengalah untuk berdiri antri. Semuanya rebutan ingin duluan dan di depan. Semuanya tertuju ke loket yang satu. Kulihat loket sebelahnya tidak ada yang antri. Disitu ada beberapa orang yang berpakaian gamis putih lagi. Dan daripada aku mengantri panjang, aku pindah berdiri ke loket itu, ku ambil posisi di belakang orang yang berpakaian gamis putih itu.

Kemudian beberapa orang menyusul di belakangku dan membentuk baris antrian baru. Lama ku menunggu beberapa orang di depanku untuk cepat selesai. Petugas di dalam itu belum juga melayani. Lima belas menit berlalu. Ada lima orang berpakaian gamis putih di depanku. Ku amanti, orang itu antri bukan untuk pengecekan passport, ambik sidik jari, bukan, juga bukan untuk berfoto. Sabar, tenang, ku menunggu dalam antrian. Tiga orang selesai tanpa foto. Tiba tiba dua orang berpakaian gamis lagi datang lansung menyerobot, memotong antrianku. Mereka datang membawa selembar kertas, kartu identitas, membayar, kertasnya di stempel petugas, lalu selesai dan pergi. Apa Ini?

Orang di depanku menyapaku, melihat kebingunganku mengamati satu persatu orang yang sudah berlalu di depanku tadi. Dia mengatakan ini bukan loket untuk pengecekan passport, sidik jari dan foto. Aku diam saja, tadi petugas dari dalam ruangan sana menunjukan pergi kesini kok, kok dia yang sok tau? Pikirku. Untuk apa loket ini di lengkapi kameranya? Dan juga ada mesin, seperti printer kecil yang ada kacanya, itu kan mesin untuk fingers print, mesin untuk sidik jari. Lama sekali,…. ku letih berdiri, duduk mana bisa? Udara panas juga, di tambah dekat dinding dekat aku berdiri ada blower dari mesin pendingin udara jendela alias AC window yang mengipaskan hangat ke arah ku. Tak sabar rasanya.

Akhirnya aku pindah ke antrian sebelahnya yang sudah panjang, mungkin juga kata orang didepanku itu, itu loket bukan untuk pemeriksaan passport pikirku. Kusambung barisan yang sudah panjang itu. Orang orang yang tadinya di belakang ku bingung dan bertanya mengapa? Dengan bahasa isyarat tubuh sambil mengangkat bahu, dan mengambangkan kedua lengannya ke arahku. Beberapa orang diantaranya juga mengikuti aku. Baris antrian itu tambah panjang ke belakang. Tanpa ada pemberitahuan, tanpa ada informasi, lisan atau tulisan apa pun di kaca loket itu. Orang yang di dalamnya, petugas itu pun sibuk mengobrol dan berbicara dengan suara keras. Itu sudah biasa, petugas itu mengobrol seperti berantam, kalau orang yang tidak paham akan mengira orang itu berantam. Tiba tiba dari dalam petugas itu menutup kaca loketnya dengan keras dengan menggesernya. Entah kenapa. Suara orang orang antrian itu gaduh, sebagian ku tidak mengerti apa kata mereka. Rupanya katanya, loketnya tutup tidak melayani lagi. Ku tidak mengerti, terus bagaimana ini? Lalu mana loket untuk memproses kita untuk keluar perbatasan ini? Imigrasi ini? Aku bingung, ah tunggu saja lah. 

Waktu terus berputar gelapnya malam tidak terasa dengan terangnya lampu-lampu berwatt besar. Badanku capek, udara panas terus menerpa keadaan. Ya Hatiku, janganlah engkau ikut panas menghadapi keaadaan ini, janganlah ganggu diriku, ini mungkin bagian dari ritual ibadah ini. Semoga kesabaran ini bisa diganti dengan pahala olehNya. Orang orang dalam antrian itu terus berciracau dan bergumam. Tetap dalam antrian, menunggu. Dari beberapa orang di belakangku mencari sopir orang Sudan itu. Meminta sopir itu membantu berbicara ke petugas itu. Mereka berbahasa Arab, sepertinya ku tangkap mereka lagi pertukaran shift. Yang bertugas sekarang ini shift siang, akan digantikan petugas shift malam. Sudah lewat jam sebelas smalam. Mereka tutup dulu. Berapa lama?, entahlah.

Ya Allah permudahlah urusanku, mengapa orang petugas itu tidak mengerti kami sudah capek antri, berdiri, panas. Bagaimana system kerja instansi ini? Mungkinkah karena kebetulan saja seperti ini?, Tapi kalau memang begitu aku ingat kembali maasalah yang ku alami serombongan saat aku berangkat haji tahun lalu, hampir atau lebih sedikit satu hari, lebih 24 jam kami tertahan disini.

Ya Allah berilah aku pertolongan, berilah aku kesabaran, aku ingin ke rumahMu segera.
Si Sopir orang Sudan itu mengobrol, mungkin bernegosiasi dengan petugas loket itu, suara percakapannya seperti orang berantam adu mulut, sesekali tangannya mengayun ayun sedikit, kebelakang, telapak tangannya dibolak balik dikeleparin, jari jarinya lerbuka. Tidak lama setelah itu, akhirnya loket di sebelahnya, orang terdepan dalam antrian member passort, begitu cepat si petugas mengembalikannya. Satu, dua, tiga, begitu cepat pemeriksaannya, antrian orang bergerak kedepan beinsut-insut. Di tempat antrianku tidak ada pergerakan sama sekali, lalu aku pindah lagi ke antrian yang bergerak sebelah itu. Dan ternyata petugas itu hanya membubuhkan stempel saja di buku passport, tanpa sidik jari dan tanpa difoto. Stempel  itu tanda bukti sudah diambil sidik jari dan foto.

Lima orang lagi didepanku, tiba-tiba seorang anak muda tinggi memotong antrian didepanku, berdiri di depanku, dari raut wajahnya dia orang bangsa Arab juga, tapi tidak tahulah negaranya, emosiku memuncak, ku tidak sabar, lalu aku tepuk pundaknya,sambil mataku membelalak dan suaraku keluar keras, “Antri….queue..queue…line..line…back..go back”
Orang orang di belakangku melirik ke pemuda itu, beberapa orang mengangkat tangannya dan menunjuk ke anak muda itu, isyarat menyuruh antri ke belakang. Bukannya dia minta maaf, malah mengoceh sendiri yang aku tidak mengerti dan belalu ke barisan paling belakang.

Pak J yang berdiri di belakangku juga ikutan menepuk punggung pemuda itu tapi tidak berkata kata papa, lalu dia menyadarkanku dan berkata “Sabar pak, sabar, ini ujian pak jangan kurangi jatah pahala pak, kondisi ini ladang bagian dari ladang amal”

Ku beristigfar, “terimakasih pak” jawabku.

Akhirnya selesai juga pengecekan, semua penumpang sudah naik bis. Pagar kawat pembatas negara itu di buka, bis merinsut pelan. Sampai di balik sana, pagarnya di tutup kembali. Sopir mengisyaratkan semua penumpang turun. Tas tentengan juga dibawa turun, bis dikosongkan. Di bawah, pembantu petugas imigrasi itu sudah membuka bagasi bis dan mengeluarkan koper-koper, tas dan semua barang yang ada. Barang barang yang sudah di keluarkan dan disusun di tempat yang sudah tersedia. Biasanya barang barang bawaan penumpang itu di periksa dengan menggunakan anjing pelacak oleh polisi. Termasuk ke dalam kabin bis dan bangku bangku, semua dicek, kalau-kalau ada barang bawaan penumpang yang terlarang menurut peraturan negara.

Tidak lama menuggu, polisi imigrasi itu datang dengan membawa selembar kertas lalu diserahkan ke sopir. Polisi itu tidak membawa anjing seperti biasanya. Kemudian sopir itu meminta penumpang naik kembali, dan barang barang disusun kembali oleh pembantu petugas ke dalam bagasi bis. Ternyata tidak ada pengecekan apa apa. Setelah dipastikan semuanya beres oleh sopir, bis beringsut lagi ke gerbang imigrasi yang terakhir. Semua penumpang memegang passport sendiri-sendiri, lalu seorang petugas naik mencek passort.

Sebuah besi bebentuk balok lebih kurang 1 meter tingginya bergerak turun terbenam ke dalam aspal jalan dengan menggunakan sistim hidrolik, pintu gerbang terakhir ini terbuka. Jalan bis terbuka. Akhirnya sampailah bis kami di dalam negara Saudi. Alhamdulillah.

Di langit bertaburan kelap kelip cahaya bintang, perhiasan alam ciptaan Allah SWT. Ramadhan malam ke 25, sudah masuk di pertiga malam. Di waktu manusia manusia yang beriman kepada pemilik semesta ini sedang bejamaah jamaah mendirikan Qiyamulail di setiap mesjid. Ya hanya manusia yang berhati pilihan yang mampu menegakkannya. Dan desir angin serta gerisik pasir dan debu menyetuh perut bis yang melaju membelah malam. Aku capek, letih, ku sandarkan punggung dan kepala ini ke bangku bis. Istri dan anakku juga tidur. Ya,.. Allah berilah aku kekuatan dan kemudahan menuju rumahMu. Ampuni aku. Malam ini aku tidak bisa ber Qiyamulail. Ku ingin bis ini cepat sampai di tanah suci. Besok malam Inshallah. Lama terasa.


Dari tengah malam, lepas gerbang perbatasan Saudi lebih kurang 200-an km melalui kota Hofuf, 300-an km kemudian sampai di Riyad. Aku sudah tidak sadar lagi dalam tidurku. Mungkin beberapa km dari kota Riyad, aku tidak tahu pasti aku terbangun, bis berhenti, bersahur dan sampai sholat Subuh disitu. Siangnya sebahagian besar perjalanan disugguhi pemandangan gurun dan padang pasir kecoklat coklatan luas tak bertepi. Berpuasa hari ke-25 dalam perjalanan tidak terasa. Duduk, tidur di bis, sesekali ku buka dan kubaca buku doa-doa untuk umroh dan haji. Jalan raya yang lebar satu arah tiga jalur lurus seperti tak berujung bebas hambatan membuat sipengendara kendaraan yang melalui jalan ini bernafsu menginjak gasnya sampai habis. Lebih kurang 800 an km dari Riyad menuju ke Ta’if.