Monday, May 7, 2012

MINDER (2)

Di kelas satu guruku sebenarnya dua orang. Dua hari pertama guruku yaitu ibu guru kelas yang biasanya mengajar di kelas tiga. Hari senin dan hari selasa, ibu itu mengajarkan pelajaran matematika. Hampir semua murid tidak senang belajar sama ibu itu. Ibu itu termasuk sudah tua, badannya besar dan gemuk. Ibu itu sangat menakutkan cara mengajarnya, yang jelas siapa yang ribut atau berbicara selama dia menerangkan akan kena tempeleng kepalanya atau di pukul pakai penggaris kayu. Jadi tidak ada yang berani rIbut kalau ada ibu itu. Kemudian kalau tidak mengerti, akan dimarahinya dengan suaranya yang keras, kadang-kadang pipi atau kepala akan kena pukul meski pelan. Tapi sakit rasanya karena ketakutan. Jadi setiap murid berusaha sekuat-kuatnya biar mengerti apa yang diajarkannya. Hukuman lain kalau tidak bisa matematik waktu mengerjakan soal-soal yang di kasih ibu itu, pipi kiri dan kanan akan kena gores tinta pena ibu itu.

“Bodoh ang, hengak ang atau andie ang” sambil mencoret dengan penanya kedua pipi muridnya.
Pernah aku di bentak-bentak, lalu sedikit ditempeleng pelan oleh ibu itu sambil berkata “bodohnya kamu”. 
Ketika itu waktu pelajaran menghitung tambah-tambahan dengan menggunakan alat peraga, kelereng dan kertas kecil yang bertuliskan angka ukuran dua centimeter kali dua centimeter. Alat peaga itu awal mulanya aku tidak bisa untuk cepat mengerti apa yang diajarkan ibu itu. Alat peraga itu dijual lansung oleh ibu itu, yaitu sekantong kelereng dan kertas-kertas bertulisan angka-angka, tanda-tanda tambah, kurang dan sama dengan ditulis tangan pakai spidol. Karena awal-awalnya aku dibolehkan meminjam alat peraga itu ke teman sebelahku, karena amakku belum punya uang untuk membelinya seharga dua ratus lima puluh rupiah. 

Pikirianku kalau sudah belajar dengan ibu itu tidak konsentrasi karena hanya bertanya-tanya kapan orang tuaku punya uang untuk beli alat pelajaran matematik yang di jual ibu itu. Setiap aku minta di rumah orang tuaku selalu bilang tidak ada uang atau belum ada uang. Alasan lainnya aku tidak bisa cepat mengerti yang diajarkan ibu itu karena meminjam ke teman sebelahku yang perempuan si kaciak, aku kan malu sama anak perempuan. Berbicara atau menyapa saja aku tidak pernah, aku dipaksa belajar meminjam milik orang lain. Maka jadilah aku bodoh dan di bentak-bentak ibu itu. Aku sedih dan malu, akhirnya aku boleh memiliki alat peraga itu dengan dihutangi oleh ibu itu, lalu di bayar mencicil. Amakku memberi uang untuk mencicilnya. Setiap belajar alat itu jadi beban bagi otakku untuk menangkap pelajaran, karena pikiranku terbagi memikirkan bahwa kau masih hutang sama ibuk itu, amakku belum punya uang untuk melunasi. Alat peraga itu tidak lama terpakai karena aku memilikinya sudah setengah pelajaran berjalan.

Aku menjadi anak yang minder dan pengecut karena pernak di bentak-bentak. Aku sudah minder, menyadari betul sebagai anak orang miskin tidak mempunyai uang untuk kelengkapan sekolah. Padahal aku tahu, tidak hanya aku anak orang yang tidak mampu, anak orang miskin dikelasku, ada beberapa teman-temanku yang lainnya, seperti temanku yang pakai kaki ayam dan yang bawa kantong asoy sebagai tasnya. Tetapi aku merasa lebih tidak mampu lagi dari mereka itu. "perasaanku".


No comments:

Post a Comment