Friday, May 4, 2012

MEMANCING UMPAN CACING


Kami berhenti berlari dengan nafas satu-satu karena ketakutan. Dada yang berdegub kencang, kerongkongan serasa kering tidak berair ditelan kelelahan. Di balik rumpun betung di lereng bukit kami merunduk dan bersembunyi. Suara nafas kami naik turun bertanding untuk reda. Keringat mengucur deras di badan setelah berlari ketakutan dari pematang ke pematang, meloncat selokan aliran sawah, berhamburan dan terus berlari mendaki sampai di lereng bukit.

“Anak kurang ajar, tidak punya benak kalian,” Pak Aciak sambil mengacung-acungkan goloknya yang kami sebut “ladiang” berlari mengejar kami.

“Lari kemana kalian heh, hah”. Pak Aciak yang sudah tua itu terus mengejar kami dengan marah besar.
“Saya tak takut sama bapak kalian, kemari kalian, saya cincang kalian” langkah larinya memelan setelah beberapa petak sawah yang dia lalui, karena sudah kecapean
.
Pak Aciak yang sudah tua itu tidak bisa mengimbangi kecepatan lari kami yang masih power full. Meski langkah kami pendek dan kecil tetapi mempunyai daya kecepatan tinggi karena mati ketakutan. Pak Aciak memang sudah tua umurnya tapi untuk urusan kerja ke sawah membawa padi agak sekarung mendaki bukit masih kuat. Sudah umumnya orang desa, kampungku seperti itu. Tua, sehat dan kuat karena dari masa muda sudah terlatih hidup bekerja keras ke sawah dan keladang yang selalu menghirup udara kaki pegunungan yang segar setiap hari. Jauh dari penyaikit seperti orang kota, sakit jantung, stoke dan sebagainya. Tapi kalau soal berlari tentu dia tidak bisa sekuat kami. Maka selamatlah kami.

Siang yang tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap karena lagit berawan. Udara tidak terlalu panas untuk bermain mengisi liburan bagi kami, anak kampung. Pinggir Batang Anai, sawah, kali, rawa, bukit atau ke kebun, menggembala adalah tempat kami bersenang-senang bermain sambil membantu orang tua. Kulit kaki di tulang kering yang selalu kering, telapak kaki tanpa alas dan bergerumul dengan lumpur sudah biasa bagi kami.

Cuaca yang bagus dengan perencanaan kami yang bagus untuk memancing ikan kapareh, sepat, ruting, belut dan bermacam ikan sepanjang kali di tepi bukit baruah tidak sebagus nasib kami saat itu. Belum apa-apa, pak Aciak pemilik sawah itu mengejar kami sejadi-jadinya. Hah,… untunglah pak Aciak tua itu orangnya emosian, masih jauh dari pinggir bukit di bawah pohon pinang diujung sawahnya dia sudah teriak marah-marah, jadi kami dengan mudah cepat lari langkah seribu ketakutan. Berlari ke arah Batang Anai memutar balik lagi mendaki bukit hingga menyuruk di rumpun betung. Umpan untuk memancing biasanya kami menggunankan cacing. Cacing kami cari di pematang-pematang sawah. Sawah yang padinya masih muda biasanya banyak cacing, karena sawah itu masih perlu diari, sehingga cacing akan besarang ketepi sawah yang lembab. Cuma biasanya pemilik sawah marah, kalau pematangnya dikelupas itu artinya merusak pematang dan bisa hancur kalau hujan tiba. Bisa-bisa sawahnya  tidak berair karena tidak berpematang untuk menahan air. Akan butuh tenaga dan waktu untuk mempebaikinya lagi. Biasanya yang merusak pematang sawah mencari cacing itu babi hutan yang bisa kami sebut “Kundiak”. Jadi Pak Aciak sangat marah kerjaan kami seperti “Kundiak” merusak pematang sawahnya.

“Apa ku bilang tadi, jangan mencari cacing disitu” kataku dengan suara setengah pelan.
“Buktinya kalian juga penakut” protesku, membuktikan pendapatku tadi itu sudah benar.
“Hah,..uh,..hah,..huh,..hah…huh” tidak ada yang menjawab, semuanya terengah-engah menenangkan nafasnya masing-masing.
“Ah, jangan takut, jangan takut, apanya jangan takut, sekarang semuanya benar-benar penakut” ku mengulang kata-kata si Pinto sambil mencibir ke arahnya.

Sebelum Pinto mengajakku ke pematang sawah pak Aciak mencari cacing, aku sudah keberatan. Tapi mereka, Nasir, dan Pinto bersikeras bilang “ngak apa-apa, ngak apa-apa, jangan takut, jangan takut”.

“Kalian ngak percaya sih filing ku”, aku belum puas mengeluarkan penyesalanku.

“Ah, diam lah kau,” Rusli mengomentari ocehanku, sambil menyeka keringat dengan lengannya keningnya. Abbas mengintip-intip mengamati ke arah bawah lereng disawah-sawah, memastikan Pak Aciak benar-benar sudah kehilangan jejak kami.

“Untung pak Aciak sudah tua” sahut Pinto merasa lega.
“Iya, kalau tidak sudah dibantai kita”  balas Amir
“Untung kata kau” balasku yang masih kesal.

“Terus apa? Masak rugi?” kata Pinto, lalu Amir dan Pinto tertawa kecil, rasa takutnya sudah hilang sambil bercanda.

“ Syukur” jawab Abbas dengan datar. Abbas orang tertua umurnya diantara kami, dia orangnya berpikiran dewasa. Bila bersama denganya, dia selalu menuntun dan menasehati kami mana yang baik dan yang tidak , tetapi mencari cacing di pematang sawah sehingga pematang sawah orang rusak dan merugikan orang lain, kedewasaannya hilang. Begitu belihat pematang yang rumput subur, tanahnya gembur. Hasratnya lansung mengajak memancing ikan. Orangnya maniak sekali kalau memancing , sangat hobi. 

 “Syukurnya lagi Pak Aciak tidak mengenali kita, karena jauh-jauh kita sudah lari duluan”. Abbas berkata membuat kita tenang dan bisa mengurangi rasa ketakutan.

“Kawan, sudah aman, pak Aciak sudah tidak kelihatan lagi” kata Nasir mengamati.

“Dia sudah kehilangan kita” lanjut Nasir lagi yang mengintip dari balik pohon keladi liar.

Pak Aciak pergi pulang begitu sudah keliling melihat padi dan air sawahnya. Mungkin dia merasa beruntung karena sudah lebih dahulu mengetahui ada anak-anak mau merusak pematang sawahnya. Pak Aciak sudah merasa aman, ketika balik pulang. Cukup lama kami bersembunyi.

Awan yang memendungkan hari sudah mulai berubah menjadi awan-awan tipis berserakan bergelantungan di langit biru. Putih mengkilap kena cipratan sinar matahari. Udara agak mulai hangat begitu keluar dari pensembunyian dirumpun betung yang rindang, redup, tertutup dan sejuk.

“Bagaimana sekarang?” Pinto memulai membuka pikiran kami.
“Ya, pergi memancinglah” kata Abbas semangat.

Kami melangkah satu satu menuruni jalan lereng bukit bertangga yang di ceruk-ceruk. Seolah-olah sudah tidak pernah terjadi apa-apa dan sudah lupa dengan ketakutan tadi. Masing-masing memegang dahan kayu kopi di ikat tali berujung kail peralatan tempurung kelapa yang di pegang oleh Pinto, Amir dan aku.

“Terus umpannya bagaimana?”, kataku
“Ya cacing lah”, jawab Pinto.
“Kamu gimana sih cacing nya mana?”, tanya Nasir meneruskan pertanyaan di hatiku.
“Cacing dalam tanah, masak dalam celanamu?”, jawab Amir bercanda tanpa menacari jawaban.
“Hahahaha…..” semua tertawa terus turun dari lereng bukit. Ketakutan, jantung berdebar sudah terlupakan.
“Ya, mari kita teruskan cari cacing” Abbas mengkomandoi.
“Tapi dimana kawan” Nasir bertanya, kalau-kalau nanti di kejar Pak Aciak lagi.
“Ya, didalam tanah lah” Pinto serius tapi tidak juga punya ide.
“Alah kamu kok repot amat sih”
“Yang banyak tu di pematang sawah, ya kita teruskan cari di pematang sawah” Abbas rajanya memancing dengan semangat takut kalau gagal memancing hari ini.
“Nanti kalau di kejar Pak Aciak lagi gimana” Tanya Amir menciutkan.
“Ya ,jangan di sawah pak Aciaklah” Jelas Abbas.
“Kita cari agak kehilir sawah pak Aciak atau ke pematag sawah agak ke pinggir Batang Anai.” Abbas memberi ide.
“Ok,…  tapi kita berpisah pisah ya, jagan sekalian semua satu tempat”. Nasir menyetujui
“Dan jangan terus mencarinya sepanjang pematang” jelas Abbas mengajari.
“Ya, kita jarakin beberapa puluh langkah, jadi sepanjang pematang sawah orang tidak rusak” terus mengeluarkan idenya agar aman.
“Ok, boss” sahut ku.
“Ok,Pinto kamu sama Amir. Nasir, Rusli bersama Aku” kata Abbas mengatur.

Kurang satu jam kami sudah mendapatkan cacing yang kami letakkan dalam tempurung kelapa berisi tanah. Cacing itu kami bagi-bagi lalu bertebaran sepajang kali di kaki bukit pinggir sawah rawa. Dengan damai kami sudah batasi areal sepanjang kali itu tempat tempat kami memancing tanpa ada yang memerintah. Kalau satu orang sudah duluan melempar pancingnya, yang lainnya berjalan mencari ke tempat yang  selanjutnya. Kalau bertemu kalinya berlubuk agak besar kami ceburkan tali pancing kami berdua atau bertiga sekali gus. Siapa bernasib baik mata pancingnya di sambar ikan, dia beruntung. Kami tanpa iri dan selalu kompak. Jika ikan itu menyambar, dan tersangkut di mata pancing, kami senang dan bahagia sambil teriak dan tertawa melihat ikan malang itu ceguk-cegukan, tergantung di kali. 

Jika cacing untuk umpan dicari bersama-sama lalu dibagi-bagi. Tapi, kalau ikan, siapa yang dapat itu yang punya tidak bisa dibagi-bagi. Itu sudah ketentuan tanpa ada kesepakatan dan saling mengerti tanpa ada iri dan dengki. Tawa dan senang ketika menarik ikan yang kena mata kail hanya beberapa kali saja, awal-awal memulai memancing. Setelah dua dan tiga ikan dapat, sudah menjadi biasa dan tidak tertawa dan teriak lagi. Diam dan berkonsentrasi, seolah-olah ikan-ikan itu akan lari jika kami ribut-ribut. Padahal ikan-ikan itu akan lari kalau bayang-bayang badan kami membayang ke dalam air, atau ketika menyusuri pinggir kali, kodok-kodok meloncat ke air ketika kaget kami datang, namun dalam hati berteriak dan puas ketika ikan-ikan itu menyangkut di mata kail kami. Kadang – kadang yang mengesalkan umpan habis ikan tidak tersangkut.

Tidak terasa sepanjang kali sudah kami susuri. Ikan yang kami dapat masing-masing tidak seberapa. Yang paling sedikit dapat ikan aku. Selalu saja setiap memancing aku selalu dapat yang paling sedikit. Yang paling banyak Pinto.

Kata Abbas “karena kita kebanyakan sekali pergi memancingnya jadi ikan pada takut”.
Aku setuju saja analisa Abbas itu dengan polos, tanpa mengerti alasannya.
Di hulu aliran kali tepi tebing itu kami berbelok ke Batang Anai. Matahari sudah condong ke barat, isyarat waktu sudah sore. Sebelum gelap datang kami bermain lagi dengan aliran air Batang Anai sambil membersihkan badan dan kaki berselimut lumpur. Aku mengambil daun pakis yang ku sebut “daun paku”, yaitu “paku ular” karena pakis itu tidak enak untuk dimakan dan di sayur kata orang pakis itu makanan ular makanya kusebut paku ukar yang aku jadikan untuk menggosok badang pengganti sabun. 

Kami pulang dengan menenteng ikan-ikan kali rawa hasil pancingan kami. Ikan itu kami tusuk dari insangnya dengan batang rumput liar, ukurannya kecil-kecil seukuran tangan kami yang kecil. Tenteganku yang paling pendek.(*)


Pengalaman anak kampung di kaki Gunung dicoret-coret jadi cerita, Mei 2012






No comments:

Post a Comment