Kami berhenti berlari dengan
nafas satu-satu karena ketakutan. Dada yang berdegub kencang, kerongkongan
serasa kering tidak berair ditelan kelelahan. Di balik rumpun betung di lereng
bukit kami merunduk dan bersembunyi. Suara nafas kami naik turun bertanding
untuk reda. Keringat mengucur deras di badan setelah berlari ketakutan dari
pematang ke pematang, meloncat selokan aliran sawah, berhamburan dan terus berlari
mendaki sampai di lereng bukit.
“Anak kurang ajar, tidak punya benak
kalian,” Pak Aciak sambil mengacung-acungkan goloknya yang kami sebut “ladiang”
berlari mengejar kami.
“Lari kemana kalian heh, hah”.
Pak Aciak yang sudah tua itu terus mengejar kami dengan marah besar.
“Saya tak takut sama bapak
kalian, kemari kalian, saya cincang kalian” langkah larinya memelan setelah
beberapa petak sawah yang dia lalui, karena sudah kecapean
.
Pak Aciak yang sudah tua itu
tidak bisa mengimbangi kecepatan lari kami yang masih power full. Meski langkah
kami pendek dan kecil tetapi mempunyai daya kecepatan tinggi karena mati
ketakutan. Pak Aciak memang sudah tua umurnya tapi untuk urusan kerja ke sawah
membawa padi agak sekarung mendaki bukit masih kuat. Sudah umumnya orang desa,
kampungku seperti itu. Tua, sehat dan kuat karena dari masa muda sudah terlatih
hidup bekerja keras ke sawah dan keladang yang selalu menghirup udara kaki
pegunungan yang segar setiap hari. Jauh dari penyaikit seperti orang kota,
sakit jantung, stoke dan sebagainya. Tapi kalau soal berlari tentu dia tidak
bisa sekuat kami. Maka selamatlah kami.
Siang yang tidak terlalu terang
dan tidak terlalu gelap karena lagit berawan. Udara tidak terlalu panas untuk
bermain mengisi liburan bagi kami, anak kampung. Pinggir Batang Anai, sawah,
kali, rawa, bukit atau ke kebun, menggembala adalah tempat kami
bersenang-senang bermain sambil membantu orang tua. Kulit kaki di tulang kering
yang selalu kering, telapak kaki tanpa alas dan bergerumul dengan lumpur sudah
biasa bagi kami.
Cuaca yang bagus dengan perencanaan
kami yang bagus untuk memancing ikan kapareh, sepat, ruting, belut dan bermacam
ikan sepanjang kali di tepi bukit baruah tidak sebagus nasib kami saat itu.
Belum apa-apa, pak Aciak pemilik sawah itu mengejar kami sejadi-jadinya. Hah,…
untunglah pak Aciak tua itu orangnya emosian, masih jauh dari pinggir bukit di
bawah pohon pinang diujung sawahnya dia sudah teriak marah-marah, jadi kami
dengan mudah cepat lari langkah seribu ketakutan. Berlari ke arah Batang Anai
memutar balik lagi mendaki bukit hingga menyuruk di rumpun betung. Umpan untuk
memancing biasanya kami menggunankan cacing. Cacing kami cari di
pematang-pematang sawah. Sawah yang padinya masih muda biasanya banyak cacing,
karena sawah itu masih perlu diari, sehingga cacing akan besarang ketepi sawah
yang lembab. Cuma biasanya pemilik sawah marah, kalau pematangnya dikelupas itu
artinya merusak pematang dan bisa hancur kalau hujan tiba. Bisa-bisa
sawahnya tidak berair karena tidak
berpematang untuk menahan air. Akan butuh tenaga dan waktu untuk mempebaikinya
lagi. Biasanya yang merusak pematang sawah mencari cacing itu babi hutan yang
bisa kami sebut “Kundiak”. Jadi Pak Aciak sangat marah kerjaan kami seperti “Kundiak”
merusak pematang sawahnya.
“Apa ku bilang tadi, jangan mencari
cacing disitu” kataku dengan suara setengah pelan.
“Buktinya kalian juga penakut”
protesku, membuktikan pendapatku tadi itu sudah benar.
“Hah,..uh,..hah,..huh,..hah…huh”
tidak ada yang menjawab, semuanya terengah-engah menenangkan nafasnya
masing-masing.
“Ah, jangan takut, jangan takut,
apanya jangan takut, sekarang semuanya benar-benar penakut” ku mengulang kata-kata
si Pinto sambil mencibir ke arahnya.
Sebelum Pinto mengajakku ke
pematang sawah pak Aciak mencari cacing, aku sudah keberatan. Tapi mereka,
Nasir, dan Pinto bersikeras bilang “ngak apa-apa, ngak apa-apa, jangan takut,
jangan takut”.
“Kalian ngak percaya sih filing
ku”, aku belum puas mengeluarkan penyesalanku.
“Ah, diam lah kau,” Rusli mengomentari ocehanku, sambil menyeka keringat
dengan lengannya keningnya. Abbas mengintip-intip mengamati ke arah bawah
lereng disawah-sawah, memastikan Pak Aciak benar-benar sudah kehilangan jejak
kami.
“Untung pak Aciak sudah tua”
sahut Pinto merasa lega.
“Iya, kalau tidak sudah dibantai
kita” balas Amir
“Untung kata kau” balasku yang
masih kesal.
“Terus apa? Masak rugi?” kata
Pinto, lalu Amir dan Pinto tertawa kecil, rasa takutnya sudah hilang sambil
bercanda.
“ Syukur” jawab Abbas dengan
datar. Abbas orang tertua umurnya diantara kami, dia orangnya berpikiran
dewasa. Bila bersama denganya, dia selalu menuntun dan menasehati kami mana
yang baik dan yang tidak , tetapi mencari cacing di pematang sawah sehingga
pematang sawah orang rusak dan merugikan orang lain, kedewasaannya hilang.
Begitu belihat pematang yang rumput subur, tanahnya gembur. Hasratnya lansung
mengajak memancing ikan. Orangnya maniak sekali kalau memancing , sangat hobi.
“Syukurnya lagi Pak Aciak tidak
mengenali kita, karena jauh-jauh kita sudah lari duluan”. Abbas berkata membuat
kita tenang dan bisa mengurangi rasa ketakutan.
“Kawan, sudah aman, pak Aciak
sudah tidak kelihatan lagi” kata Nasir mengamati.
“Dia sudah kehilangan kita”
lanjut Nasir lagi yang mengintip dari balik pohon keladi liar.
Pak Aciak pergi pulang begitu
sudah keliling melihat padi dan air sawahnya. Mungkin dia merasa beruntung
karena sudah lebih dahulu mengetahui ada anak-anak mau merusak pematang
sawahnya. Pak Aciak sudah merasa aman, ketika balik pulang. Cukup lama kami
bersembunyi.
Awan yang memendungkan hari sudah
mulai berubah menjadi awan-awan tipis berserakan bergelantungan di langit biru.
Putih mengkilap kena cipratan sinar matahari. Udara agak mulai hangat begitu
keluar dari pensembunyian dirumpun betung yang rindang, redup, tertutup dan
sejuk.
“Bagaimana sekarang?” Pinto
memulai membuka pikiran kami.
“Ya, pergi memancinglah” kata Abbas
semangat.
Kami melangkah satu satu menuruni
jalan lereng bukit bertangga yang di ceruk-ceruk. Seolah-olah sudah tidak
pernah terjadi apa-apa dan sudah lupa dengan ketakutan tadi. Masing-masing
memegang dahan kayu kopi di ikat tali berujung kail peralatan tempurung kelapa
yang di pegang oleh Pinto, Amir dan aku.
“Terus umpannya bagaimana?”,
kataku
“Ya cacing lah”, jawab Pinto.
“Kamu gimana sih cacing nya mana?”,
tanya Nasir meneruskan pertanyaan di hatiku.
“Cacing dalam tanah, masak dalam
celanamu?”, jawab Amir bercanda tanpa menacari jawaban.
“Hahahaha…..” semua tertawa terus
turun dari lereng bukit. Ketakutan, jantung berdebar sudah terlupakan.
“Ya, mari kita teruskan cari cacing”
Abbas mengkomandoi.
“Tapi dimana kawan” Nasir
bertanya, kalau-kalau nanti di kejar Pak Aciak lagi.
“Ya, didalam tanah lah” Pinto
serius tapi tidak juga punya ide.
“Alah kamu kok repot amat sih”
“Yang banyak tu di pematang
sawah, ya kita teruskan cari di pematang sawah” Abbas rajanya memancing dengan
semangat takut kalau gagal memancing hari ini.
“Nanti kalau di kejar Pak Aciak
lagi gimana” Tanya Amir menciutkan.
“Ya ,jangan di sawah pak Aciaklah”
Jelas Abbas.
“Kita cari agak kehilir sawah pak
Aciak atau ke pematag sawah agak ke pinggir Batang Anai.” Abbas memberi ide.
“Ok,… tapi kita berpisah pisah ya, jagan sekalian
semua satu tempat”. Nasir menyetujui
“Dan jangan terus mencarinya
sepanjang pematang” jelas Abbas mengajari.
“Ya, kita jarakin beberapa puluh
langkah, jadi sepanjang pematang sawah orang tidak rusak” terus mengeluarkan
idenya agar aman.
“Ok, boss” sahut ku.
“Ok,Pinto kamu sama Amir. Nasir,
Rusli bersama Aku” kata Abbas mengatur.
Kurang satu jam kami sudah
mendapatkan cacing yang kami letakkan dalam tempurung kelapa berisi tanah.
Cacing itu kami bagi-bagi lalu bertebaran sepajang kali di kaki bukit pinggir
sawah rawa. Dengan damai kami sudah batasi areal sepanjang kali itu tempat
tempat kami memancing tanpa ada yang memerintah. Kalau satu orang sudah duluan
melempar pancingnya, yang lainnya berjalan mencari ke tempat yang selanjutnya. Kalau bertemu kalinya berlubuk
agak besar kami ceburkan tali pancing kami berdua atau bertiga sekali gus.
Siapa bernasib baik mata pancingnya di sambar ikan, dia beruntung. Kami tanpa
iri dan selalu kompak. Jika ikan itu menyambar, dan tersangkut di mata pancing,
kami senang dan bahagia sambil teriak dan tertawa melihat ikan malang itu
ceguk-cegukan, tergantung di kali.
Jika cacing untuk umpan dicari
bersama-sama lalu dibagi-bagi. Tapi, kalau ikan, siapa yang dapat itu yang
punya tidak bisa dibagi-bagi. Itu sudah ketentuan tanpa ada kesepakatan dan
saling mengerti tanpa ada iri dan dengki. Tawa dan senang ketika menarik ikan
yang kena mata kail hanya beberapa kali saja, awal-awal memulai memancing.
Setelah dua dan tiga ikan dapat, sudah menjadi biasa dan tidak tertawa dan
teriak lagi. Diam dan berkonsentrasi, seolah-olah ikan-ikan itu akan lari jika
kami ribut-ribut. Padahal ikan-ikan itu akan lari kalau bayang-bayang badan
kami membayang ke dalam air, atau ketika menyusuri pinggir kali, kodok-kodok
meloncat ke air ketika kaget kami datang, namun dalam hati berteriak dan puas
ketika ikan-ikan itu menyangkut di mata kail kami. Kadang – kadang yang mengesalkan
umpan habis ikan tidak tersangkut.
Tidak terasa sepanjang kali sudah
kami susuri. Ikan yang kami dapat masing-masing tidak seberapa. Yang paling
sedikit dapat ikan aku. Selalu saja setiap memancing aku selalu dapat yang
paling sedikit. Yang paling banyak Pinto.
Kata Abbas “karena kita kebanyakan
sekali pergi memancingnya jadi ikan pada takut”.
Aku setuju saja analisa Abbas itu
dengan polos, tanpa mengerti alasannya.
Di hulu aliran kali tepi tebing
itu kami berbelok ke Batang Anai. Matahari sudah condong ke barat, isyarat
waktu sudah sore. Sebelum gelap datang kami bermain lagi dengan aliran air
Batang Anai sambil membersihkan badan dan kaki berselimut lumpur. Aku mengambil
daun pakis yang ku sebut “daun paku”,
yaitu “paku ular” karena pakis itu
tidak enak untuk dimakan dan di sayur kata orang pakis itu makanan ular makanya
kusebut paku ukar yang aku jadikan untuk menggosok badang pengganti sabun.
Kami pulang dengan menenteng
ikan-ikan kali rawa hasil pancingan kami. Ikan itu kami tusuk dari insangnya
dengan batang rumput liar, ukurannya kecil-kecil seukuran tangan kami yang
kecil. Tenteganku yang paling pendek.(*)
Pengalaman anak kampung di kaki Gunung dicoret-coret jadi cerita, Mei 2012
No comments:
Post a Comment