Thursday, May 3, 2012

SALAHKAH AKU

Badanku gemetar, dadaku berdebar, jantungku belum berhenti memompa kencang darah ke kepala. Syukur saja, tidak membuat aku pusing. Kuayun langkah kaki yang serasa berat digerakan setengah berlari pulang ke rumah. Aku belum puas rasanya melampiaskan amarah ini, tapi aku malu kalau aku terus berada disana. Kalau aku masih disana, mulutku ini tidak akan bisa ditahan mengeluarkan kata-kata umpatan yang tidak pantas didengar. Alhamdulillah otakku masih bisa mengontrol emosi ini. Makanya aku cepat dan cepat ingin sampai di rumah. Jalanan kerumah ku sebelum menempuh gang melewati stasiun kareta api, melangkahi beberapa rel besi, menginjak kerikil-kerikil yang ditebar diatas bantalan jalan kareta api seakan tidak menjadi penghalang besar buatku melintasinya dengan kondisi badanku yang tengah hamil berjalan cepat. Aku ingin cepat melaporkan ke suamiku. Aku ingin mencurahakan perasaan emosi ini padanya. Dengan harapan, kepada orang yang selalu melindungiku, membela aku. Ya suami, orang yang memberi perhatian, melindungi, tempat mencurahkan segala masalah. Aku sudah berapa tahun hidup di rantau dengan dua anak perempuanku dalam gelombang kehidupan ibu kota Jakarta.

Dari sejak kecil aku sudah yatim mamaku sudah menghadap Yang Kuasa saat melahirkan aku. Pengganti mamaku, yang aku panggil Ibu adalah kakak ibuku. Dialah yang mengasuh dan membesarkan aku. Dulu dari kecil sampai aku berkeluarga pun biasanya aku sering mengadu, bercerita, berkeluh kesah dan membagi ke ibuku kalau aku menghadapi maasalah. Ketika aku sudah berkeluarga dan jauh darinya aku kadang-kadang menelpon untuk menceritakan maasalah yang ku hadapi meski dia tidak membantu, cukup mendengar lalu memberi nasehat, lalu aku menjadi lega. Sudah beberapa tahun ini ibuku juga sudah tiada. Aku bersyukur mempunyai suami yang bisa menjadikan pengganti orang-orang yang menyayangiku dari kecil. 

Meskipun aku hidup pas-pasan, tinggal di rumah kontrakan bedengan, diantara deretan, tumpukan rumah-rumah kecil dan gang-gang sempit di tengah ibu kota, aku masih bisa menjalani kehidupan ini. Walau berat dan tertatih-tatih. Kebutuhan anak sekolah, adalah prioritas utama yang paling aku dahulukan. Aku benar-benar harus bisa memilah-milah pendapatan suamiku yang sangat terbatas menjadi cukup ada. Suamiku berdagang di pasar, penghasilan tidak menentu tergantung nasib. Sudah bertahun-tahun aku menjalani kehidupan berumah tangga dengan usaha suami seperti ini, namun keadaan belum berubah menjadi lebih baik. Aku dan suami menjalani dengan sabar, suamiku selalu menuntun mendalami makna sabar dari waktu ke waktu sampai sekarang. Syukur, aku juga sudah terbiasa dalam keterbatasan dan kerasnya hidup bersama ibuku dengan saudara-saudara sepupuku dari kecil.

“Yang penting hidup berusaha, berusaha sekuat tenaga dengan cara yang benar dan halal. Selebihnya kita serahkan ke Yang Maha Kuasa lalu menunggu dengan sabar” begitu suamiku pernah menasehatiku.
Tapi, pagi itu apa yang telah terjadi di depan guru-guru di sekolah anakku tadi, aku tidak bisa sabar. Emosiku memuncak, dadaku panas, naik ke kepala. Mungkin sabar dalam maasalah barusan ini beda dengan sabar yang diajarkan suamiku. Tapi benar, aku akhirnya melabrak orang itu.

Aku sudah berusaha mengikuti aturan sekolah dengan baik. Karena tidak ingin mengecewakan anakku. Sudah aku usahakan membayar uang untuk jalan-jalan liburan sekolah sebagaimana program sekolah. Dengan memanfaatkan uang belanja dapur yang aku kurang-kurangi selama sebulan ini agar bersisa untuk rencana jalan-jalan anakku di akhir tahun ajaran ini. Jujur sebenarnya aku tidak mampu untuk membayar dan mengikuti acara sekolah anakku itu. Dan juga aku tidak mampu berjalan jauh ke pantai di Suka Bumi dengan kondisi berbadan dua yang sudah empat bulan ini, alasan lainnya anak aku suka mabok jika berjalan jauh. Lagian, tidak mungkinlah aku tega melepas anakku yang baru berusia lima tahun pergi tamasya tanpa orang tua sejauh itu. Semua anak-anak ditemani orang tuanya. Karena sekolah sudah meanggarkan biayanya dengan menyewa bus pariwisata berdasarkan jumlah siswa, sehingga ikut atau tidak ikut harus bayar. Jadilah aku terpaksa untuk membayar dengan cara menghemat uang belanja dapur, dan ku paksakan juga nantinya untuk ikut menemani anakku. Padahal lepas tahun ajaran ini anakku ini masuk sekolah SD, butuh biaya lagi, dan kakaknya lulus SD akan butuh biaya banyak ke SMP. Darimana uang sebanyak itu akan di carikan suami nanti. Lagi pula anakku ini TK, kalau tidak ikut berlibur mengikuti sekolahnya itu, tentu tidak akan menjadi maasalah untuk masuk ke SD. Namun ku abaikan semua itu, bagaimana pun juga aku usahakan demi anakku.
Ibu-ibu guru panitia itu sudah mengatur tempat duduk di bis nanti. Begitu aku tahu pagi itu tempat dudukku jauh dibelakang terpisah dengan anakku.
Pagi itu, aku agak terlambat pergi sekolah mengantar anakku. Beberapa ibu-ibu, orang tua murid yang biasa menungguin anaknya di sekolah sudah duluan ramai berkumpul sambil ngerumpi.  Selembar kertas ditempel didinding dibelakang tempat orang tua menunggu anak-anaknya bertulisakan nomor bis dan nama-nama bangku penumpangnya anak murid dan orang tuanya. 

Setelah aku mencari lalu membaca betul-betul nama anakku Zelni dan mama Zelni di kertas skema tempat duduk bis itu, aku kaget. Aku datangilah ibu guru kelas anakku. Aku sampaikan maksudku. Ibu guru yang salah satu panitia itu tidak jauh dari tempat orang tua murid menunggu anak-anaknya.
“Bu, maaf bu, tempat duduk saya dan anak saya, tolong diatur supaya duduk berdekatan dengan anak saya.”, aku dengan baik-baik memohon ke guru kelas anakku. 

“Maaf bu, kami sudah menyusunnya, memangnya kenapa mama Zelni?” bu guru mencoba menolak permintaankku.
“Begini bu, saya sedang hamil, saya tidak bisa duduk dibelakang, dan lagian anak saya Zelni naik kendaraan suka mabok” jelasku.
“Wualaaaah,… waktu acara sekolah di mall bulan lalu naik angkot ngak mabok”, celoteh sahutan  seorang ibu, orang tua murid teman anakku juga.

Seer,…. darah ku naik ke kepala mendengar sahutan dibelakangku. 

Aku belum sempat menjawab komentar ibu itu yang lagi menunggu jawaban dari bu guru, ibu yang nyeloteh itu melanjukan isi mulutnya “kalau mau enak, sewa mobil pribadi aja buk…..” menoleh kearah ku.

“Heh, lu, jaga mulut tu ya” dengan menyebut nama binatang terusanya. 

“Jangan kurang ajar lu?, apa urusan lu sama urusan gue?”. Aku berteriak kencang menantang dia. Semua yang tadinya duduk-duduk berdiri melihat kearahku

“Kalau gue bisa punya mobil, gue kagak bakalan naik bus kayak lo”. Sambil ku mendekat kearahnya
.
“Dasar,…” lagi aku dengan menyebut nama binatang. Sambil menunjuk-nunjuk ke dia. Seorang ibu yang tidak teperhatikan olehku menghalangi aku yang mendekat ke dia.

“Yang punya anak itu, gue, bukan lu. Mana lu tau anak gue mabuk tidak nya” aku terus bicara emosi setengah teriak.

“Sudah mama Zelni, sudahlah, mungkin mama Arif bercanda” ibu yang duduk disampingnya menenangkanku.

“Bilang tu ke dia jangan ikut campur urusan orang deh” sambil aku terus menunjuk-nunjuk ke dia.
Si Ibu itu diam seribu basa, kepalanya menunduk, entah malu atau ketakutan.

“Iya mama Zelni, iya, iya, tenanglah”. Sahut ibu-ibu yang lainya, memegang pundakku dari belakang.

“Emang lu siapa? Apa maasalah lu sama gue?”

“Malu buk banyak orang dan menganggu anak-anak kita yang lagi belajar di dalam” Ibu yang memegang pundakku terus menasehati aku.

“Lu ngak senang ya melihat gue, apa salah gue sama lu?” aku terus berbicara menghardik ke ibu yang biasa dipanggil mama Arif, orangnya bebadan besar dan kuat. Sebenrnya kalau dia melawan aku, lalu beradu fisik mungkin aku bukanlah lawan tandingnya, aku akan lansung KO. Tapi kebesaran badannya menjadi ciut karena ocehanku.

“Gue ngak pernah repotin lu, ngak pernah berhutang ama lu”. Sambil langkah surut sedikit menjahui dia, karena di tarik oleh seorang ibu lainnya.

“Jangan kurang ajar ya lu ama gue, gue kagak takut ama lu”. Aku terus melampiaskan emosiku tanpa mempedulikan ibu-ibu yang menarikku.

“Kak, tolong bilangin ke ibu guru itu, aku tidak bisa duduk terpisah dari anakku” kepada seorang orang tua teman anakku, dengan menggunakan bahasa daerahku. Kakak itu berasal satu daerah denganku.

“Aku ni, lagi hamil, anakku suka mabok, untuk apa orang tua ikut kalau tidak bisa dekat dan menjaga anakku nanti?” jelasku masih pakai bahasa daerah juga, biar ibu guru disitu tidak mengerti, aku minta bantuan untuk menyampaikan kemauanku. 

Aku berlalu, meniggalkan kerumunan ibu-ibu yang merumpi sambil menunggu anak-anak mereka. Aku tidak melihat ibu guru yang tadi ku sapa entah berdiri dimana. Tadinya ikut menenangkan aku juga. Pandanganku sedikit gelap. Banyak kepala berdiri menghalangi aku, kwatir aku menampar atau memukul wajah si ibu yang membuat aku berang sekali itu. Ku melangkah cepat keluar pekarangan sekolah TK anakku. Penjual jajanan gerobak yang berderet di luar pekarangan sekolah itu matanya tertuju melihat kearah ku. Aku tidak peduli pandangan mereka. Entah apa kata-kata dalam hati mereka yang tidak tahu penyebabnya aku berteriak-teriak menghardik seorang ibu itu. 

 “Aku benar, aku tidak bersalah, aku pantas berbicara seperti itu, aku pantang diganggu” dalam hati aku terus berjalan mendekati rumah ku yang melewati gang-gang sebatas jalan motor roda dua. Apa yang terjadi tadi itu benar-benar di luar kendali aku, semuanya bergerak, mengalir dan keluar kata-kata ini begitu saja. Beberapa langkah lagi aku sampai di rumah. Ku rasa-rasakan dengan heran terhadap diriku sendiri mengapa aku bisa berani seperti itu?. Rasanya belum pernah aku berbuat, berprilaku sehingga menjadi tontonan orang banyak seperti tadi, meski ada yang memancing emosi ku seperti yang terjadi tadi. Apakah bawaan aku sedang hamil sekarang? Apakah anak yang aku kandung ini laki-laki? Dan menjadi anak yang super pemberani? Ah, ada-ada saja pikiran ku ini. Tapi,… atau apakah karena himpitan kesusahan hidup yang aku jalani ini? Ya, semuanya ku serahkan pada Yang Kuasa. Tentu Dia yang lebih tahu, kalau tadi aku sudah salah ampuni aku ya Allah.

Ku dorong pintu rumah yang tidak terkunci. Cepat ku bangunkan suamiku yang masih tidur. Sirkulasi waktunya agak terlambat dari normal aktifitas orang pada umumnya. Usaha suamiku dimulai kalau sudah siang sampai tengah malam, hampir dini hari baru di tutup. Jadi selesai subuh tiap hari dia meneruskan tidurnya. Sampai waktu Zuhur tiba.

“Bang, bangun bang, Abang, saya barusan berantam di sekolahan Zelni” aku membangunkan suamiku.
Begitu medengar kata berantam suamiku kaget dan bangun.
“Berantam bagaimana?”

“Iya, palak saya, saya sudah emosi begitu tahu tempat dudukku dengan Zelni terpisah saat jalan-jalan nanti, sudah susah-susah berusaha membayar, fisik saya begini,… mikirin biaya anak sekolah, sebentar lagi tahun ajaran baru, ada orang di sekolah Zelni tadi menambah pusing dan membuat saya emosi bang”, panjang lebar aku mengoceh, suami ku bingung tidak menemukan jawaban yang dia tanyakan.

“Emosi bagaimana?” sambil mengusap-usap matanya duduk di pinggir tempat tidur, dengan bertambah bingung.

“Coba ceritakan, apa yang terjadi sama kau?” suamiku bertanya dengan tenang.

“Iya, sekarang saya tanya ya, sama abang”, aku malah dengan nada tinggi seperti marah ke dia. Begitulah caraku mengadu, melampiaskan emosiku yang tersisa.

“ Anggap saya ini bukan siap-siapa abang, anggap saya orang lain disini bertanya”
“Salah kah saya……?” kemudian ku ceritakan dari awal kejadian yang membuat aku emosi, marah-marah dan berantam.

Suami aku tidak memberikan jawaban bahwa aku benar atau tidaknya.
“Aku, mengapa kamu berubah sekarang? Jadi pembrani, mudah tersinggung begitu? Kamu itu kan orangnya penakut”, suamiku malah bertanya heran. 

“Jaganlah terlalu emosi dan cepat naik darah begitu. Ingat, kamu lagi hamil. Takutnya kesehatan anak kita baik secara fisik atau phiskologis jadi terganggu,” suamiku sok phiskiater saja, dia malah menasehati aku. Padahal aku menanti jawabannya, apakah aku salah?

“Bang, saya tidak mau ke sekolah Zelni menjemputnya. Abanglah yang jemput nanti”, dengan cemberutku minta dia mengantikan tugas aku.

“Iya”, suamiku melanjukan tidurnya lagi, lalu berkata “nanti bangunkan aku untuk menjemput Zelni”.
Aku mengiyakan kata suamiku, dalam hati masih membela diri, merenungkan apa yang telah terjadi, bukan salahku.(*)

mencoba mengubah sebuah khayalanku menjadi corat-coretan cerpen, Mei 2012


1 comment: