Wednesday, October 12, 2011

UMROH DAN BERLEBARAN DI TANAH SUCI ( 2 )

Di negara ini kalau seorang expatriate, maaf tepatnya ku sebut pendatang, kalau mau pergi keluar dari negeri ini ataupun mau pulang ke negara sendiri harus dapat izin, rekomendasi dari tempat bekerja, berupa surat izin yang dikeluarkan oleh bagian imigrasi. Begitu undang undang negaranya, mungkin. Tapi ku tidak pernah tau bunyi pasal dan ayat nya, memang aku tidak mau tau itu. 

Dua hari sebelum hari keberangkatan, konfirmasi cutiku dari perusahaan belum juga keluar, padahal aku sudah mengajukan cuti seminggu sebelumnya. Kalau cuti tidak disetujui sudah jelas surat ijin keluar Negara ini yang disebut exit permit tidak akan keluar. Duh,…Bisa tidak jadi umroh aku nanti.

Dari pihak Hamlah itu sudah dua kali menelpon aku, memberitahu bahwa passport aku sudah siap. Aku tidak mengerti apa maksudnya passport sudah siap.  Rupanya, maksud dia silahkan ambil passport aku yang di tangan dia, visa umroh aku sudah jadi, sudah di keluarkan dari kedutaan Saudi. Aku heran dan bertanya ke dia “untuk apa saya ambil passport itu, bukankah saya 2 hari lagi mau berangkat umroh?”
Dia jawab dengan menjelaskan kepadaku “ itu passport untuk membuat exit permit, surat ijin keluar mu”

Wah,.. dia sok tahu ternyata, terpaksalah ku jelaskan bahwa di perusahaan tempat aku bekerja untuk mendapatkan exit permit itu syaratnya bukan adanya visa dan passport. Tapi cukup mendapatkan persetujuan cuti. Maka exit permit itu akan di keluarkan dari pihak imigrasi perusahaan. Dan surat ijin keluar itu akan berlaku selama seminggu terhitung dari hari surat itu di keluarkan. 

Setelah aku urus balik semua lagi, pastikan lagi, barulah aku dapat informasi tentang cutiku sudah disetujui dan aku dapat surat ijin keluar. Alhamdulillah, dua hari sebelum keberangkatan persyaratanku secara administratif untuk berangkat umroh sudah beres, tinggal bantu bantu istri mempersiapkan peralatan, kebutuhan selama perjalanan nanti.



PERJALANAN KE SAUDI

Klek, klek. Pintu rumahku terkuci sudah, “Bismillahi tawakaltu a’lallahi wala hawla wala kuwata illa billah, Dengan nama Allah (aku keluar) aku bertawakal pada Allah, tiada daya dan upaya kecuali karena pertolongan Allah.” dengan sedikit nafas sesak ku ucapkan doa.

Setelah sholat Zhuhur tanggal 24 Agustus 2011, 24 hari bulan puasa berjalan. Aku sampai di halaman kantor Hamlah yang diantar oleh salah seorang teman. Ternyata sudah banyak bis-bis parkir disana, banyak rupanya jemaahnya yang akan berangkat umroh, tadinya aku berpikir paling dua bis. Seperti biasa di bulan bulan musim umroh, Hamlah ini memberangkatkan jemaah hanya satu bis. Tetapi hari ini lebih sepuluh bis, aku tidak menghitungnya pasti. Kira-kiralah. Disetiap kaca depan bis-bis itu sudah di beri nomor dan juga di tempel daftar nama-nama penumpangnya. Pikiranku tertuju ke kertas yang di tempel di kaca bis-bis itu. Alhamdulillah, begitu bis yang terdekat tempatku turunkan barang dari mobil, Bis no.1, di daftarnya aku baca namaku tertulis disitu dengan tulisan abjad latin. Ada beberapa nama penumpang lain selain namakku yang bertulisan abjad latin, nama orang Indonesia. Yang bukan nama orang Indonesia, namanya bertuliskan Arab gundul. Aku lansung memukan bis yang akan aku tumpangi, aku tidak perlu mutar-mutar untuk mengecek setiap bis yang parkirnya berpencar-pencar. Tidak susah mencari namaku. Biasanya yang sudah-sudah daftar penumpang jemaah itu ditulis dengan tulisan Arab gundul. Agak sulit bagi aku untuk mencek dengan cepat bila ditulis dengan tulisan Arab seperti itu. Maklumlah memang aku tidak bisa.

Setelah semua barang aku masukan ke bagasi, aku lansung mencari tempat duduk untuk anak dan istriku sesuai nomor daftar yang tertempel di kaca bis itu. Tiga nomor bangku untuk namaku. Dua bangku bergandengan di deretan kedua di belakang sopir, itu untuk anak dan istriku. Satu nomor lagi untukku terpisah di sebelahnya. Ternyata yang sebangsa sudah disusun oleh hamlah itu duduk berdekatan. Alhamdulillah, segala ke kuwatiranku sedikit hilang, bila di Mekah nanti istriku akan sekamar dengan bangsa lain. Agak kurang nyaman rasanya. Ada dua keluarga orang Indonesia bersama dengan ku. Keluarga Bapak J, dan bapak H. Jelas nanti bila pengaturan kamarnya akan sekamar dengan keluarga yang satu bangsa. Kami besalaman dan berkenalan. Pak J, aku rasa sudah familiar dengan wajah bapak ini dan rasanya sering melihat bapak ini, tapi aku lupa dimananya. Dari perkenalan kami baru aku ingat bahwa tahun lalu kami satu rombongan saat berangkat haji bersamanya. Tetapi kami berlainan bis.
Sekitar satu setengah jam perjalanan sampai di perbatasan negara Qatar, semua penumpang menunaikan sholat Ashar. Diperbatasan Negara ini ada fasilitas toilet, mushala, kantin, minimarket dan ATM bank. Ku perisapkan air minum untuk berbuka nanti yang aku beli di minimarket itu. Perbatasan ini di bagian selatan Qatar dan berada di pinggir pantai. 

Setelah lumayan lama menunggu, akhirnya proses imigrasi untuk keluar perbatasan ini berjalan lancar. Sekitar dua jam menuggu. Bis bergerak ke gerbang perbatasan. Petugas imigrasi naik ke bis, beberapa penumpang wanita yang bercadar disuruh turun dari bis dan masuk ke sebuah ruangan untuk dipastikan wajahnya sama dengan foto yang di passport.

Lebih kurang lima menit lepas gerbang Qatar sampai di perbatasan Negara Saudi yang berjarak sekitar 10 km. Selapis awan tipis mulai memerah saga diatas permukaan laut teluk Persia menghiasi birunya langit. Mentari yang menyinari dan memanaskan suhu negeri gurun ini akan tenggelam ditelan bumi. Tugasnya selesai sudah hari ini. Azan magrib berkumandang dari telepon genggam para penumpang. Pertanda puasa hari ini sudah bisa dibatalkan. Alhamdulillah selesai 24 hari ku menjalani puasa tahun ini. "Allahumma laka shumtu wa'ala rizqika aftartu ( Ya Allah, KepadaMu aku berpuasa dan KepadaMu aku berbuka)"

Sepanjang itu waktunya digunakan untuk buka puasa dengan makan-makanan kecil yang kami bawa. Ternyata yang disebelahku penumpangnya orang Mesir, ku tahu dari cara dia mengucamkan terima kasih ketika aku tawarkan risoles made in my wife. Dia menolak tawaranku dengan mengucapkan “senkiw”. Ku ingat teman kerjaku orang Mesir, tulisan namanya Haitham, dia menyebutnya Haisam. Dia selalu mengucapkan “Thankyou” menjadi “senkiw”, “Think” menjadi “Sing”, “This” menjadi “Sis”, “There” menjadi “Ser”. Hampir kata kata bahasa Inggris yang mengandung huruf “Th” diucapkanya menjadi “S”.  Jadi ketika berkenalan denganya, dia jawab “iya” ketika aku tebak “kamu orang Mesir ya”.

Magrib belum begitu jauh pergi, beberapa menit lepas dari batas Qatar, sampailah di Gerbang Negara Saudi. Dengan perut sudah sedikit terisi, Orang orang berlarian mengambil wudhu mengejar Magrib. Subhanallah. Manusia manusia yang takut lalai pada perintah Allah, hamba hamba yang tunduk pada seruanNya. Haiyaalas sholaah……. Marilah sholat.

Di Mushala yang tidak begitu yang tidak begitu besar itu penuh oleh para pelintas negara ini. Ada beberapa bis yang lebih dulu sampai dari rombongan kami. Penumpangnya sudah selesai duluan sholat, selesai satu jamaah, masuk yang lain lalu membuat shaf dan sholat berjamaah, tanpa ada komando. Masih ada juga yang terlambat lagi, begitu selesai jamaah ini datang lagi berjamaah begitu terus sampai selesai dan berlalu.

Waktu terus beranjak, lampu lampu penerangan yang tadinya mati sekarang mulai hidup melaksanakan tugasnya dari setiap sudut menerangi kegelapan. Langit bersih sedikit menyisakan terang efek siang telah berubah gelap. Negeri gurun pasir langitnya lebih terang dengan sedikit lapisan awan. Seolah mengisyaratkan ke hatiku untuk berlaku seperti ia, bersih, terang, patuh dan pasti. Bersihkan hatimu, luruskan niatmu. Sabar dalam menghadapi rintangan dan maasalah.

Sembari menunggu proses pengecekan dan segala macam aturan imigrasi. Aku, istriku dan anakku mengisi sisa kekosongan perut setelah berbuka tadi. Menunggu dan menunggu, bis-bis antri berjejar. Penumpang, jemaah-jemaah umroh itu sabar duduk di bis berpendingin ruangan.
Tidak terasa waktu Isya sudah tiba menyambut. Sudah satu setengah jam menunggu. Bis rombonganku belum juga dapat giliran. Azan kembali berkumandang. Sekarang suara azan terdengar lansung dari Mushala dipinggir pagar disudut area pakiran. Kembali orang orang berduyun duyun ke Mushala. Di toilet antri dan butuh waktu untuk mengambil wudhu, jumlah fasilitas tempat wudhunya sudah tidak seimbang dengan jumlah orang yang antri untuk keluar gerbang perbatasan ini. Seperti suasana Magrib tadi. Allahu Akbar.

Di perbatasan Saudi ini tidak seperti perbatasan Qatar. Disini tidak ada minimarket, restoran, ATM Bank. Syukurlah nasi dan lauk sudah disiapkan istriku dari rumah. Air minum juga sudah aku beli di perbatasan Qatar tadi. Tidak maasalah tidak ada minimarket atau tidak ada restoran yang menjual makanan. Toilet dan tempat wudhunya tidak sebersih di perbatasan Qatar. Lalu ku perhatikan kondisinya seperti terminal, ternyata puluhan bis ikut mengantri di belakang bis rombonganku. Semua bertujuan Mekah. Tambah lagi kendaraan pribadi yang tak terhitung jumlahnya. Kendaraan itu berebutan masuk ke gerbang loket imigrasi, dan macet. Dari beberapa loket yang ada hanya dua loket yang buka. Subhanallah, begitu banyaknya orang pergi berumrah, seperti suasana waktu aku berangkat Haji.

Sopir bis itu memberitahukan, bagi perempuan masuk ke sebuah ruangan kantor imigrasi di belakang sana, sebuah ruang semi permanen. Di tangan sopir itu memegang setumpuk passport. Selesai pengecekan di perbatasan Qatar tadi, semua passport penumpang disimpan dan di pegang oleh sopir bis. Ku antar istriku ke ruang yang di tunjuk oleh sopir orang Sudan itu. Anak anak dan istri Pak “J” juga ikut. Aku menunggu di luar. Perempuan saja yang boleh masuk, laki-laki dilarang. Itu ruangan untuk Anissa, ruangan untuk laki laki dan perempuang terpisah. Lebih kurang lima belas menit Istriku keluar. Katanya petugas di dalam itu menanyakan passport. Astagfirullah a’l a’zzim. Tadi aku sudah Tanya ke sopir itu, kesana itu bawa passport atau tidak? Dia bilang “ruh..ruh”. Sana… sana begitu artinya. Si sopir itu tidak begitu bisa berbahasa Inggris, jadi mungkin dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan tadi. Terpaksa harus mencari dia, sehingga lebih kurang sepuluh menit kemudian baru ketemu. Barulah dia kasihkan passport istrikku, dan kembali lagi antri ke ruangan itu. Dalam ruangan itu proses pengambilan sidik jadi dan foto bagi siapa yang mau masuk negara ini. Lebih kurang satu jam baru selesai urusannya.

Setengah jam kemudian giliran penumpang laki laki yang di suruh masuk keruangan khusus laki laki pula. Sambil memegang passport masing masing. Di ruangan itu sudah banyak orang antri berbaris panjang. Orang berbagai Negara, Pakistan, India, Algeria, Sudan dan beberapa kira kira bangsa Arab yang tidakku tahu pasti. Ada sekitar delapan atau sepuluh loket meja untuk sidik jari dan berfoto, tetapi satu loket saja yang buka. Semua orang antri ke meja yang satu itu. Prosesnya lambat. Satu orang selesai, ku hitung kira kira butuh waktu lima menit untuk proses satu orang. Sekitar dua puluhan orang di depanku, antri. Kalau satu orang butuh waktu lima menit, kalau dua puluh akan butuh waktu 100 menit, baru giliranku. Hampir 2 jam aku akan berdiri disini  menunggu. Dalam menunggu antrian itu ada beberapa orang yang berpakaian gamis putih, berbahasa Arab lansung menyelinap ke petugas di depan itu, lalu dia dilayani duluan. Orang berpakain gamis putih itu di layani duluan. Tertunda lagi waktu antrian ku,.. huff,. Astagfirullah, orang macam apa itu?...... Sudah jelas kita lagi mengantri panjang tiba tiba orang itu dapat pelayanan duluan. Emangnya dia siapa? Kita yang berdirinya ini dia anggap apa? Darahku serasa mendidih. Tidak tau menumpahkan emosi ini. Tahan. Tahan. Dan tahan.

Kondisi seperti itu berlalu di depanku tidak satu atau dua orang, ada beberapa. Orang yang berpakaian gamis putih dan berbahasa arab itu. Sementara itu di mushala terdengar ayat ayat Allah dari suara Imam sedang memimpin sholat Tarwih. Mungkin sudah separoh sholat berjalan. Proses pemeriksaan rombongan kami untuk keluar dari perbatasan Negara Saudi ini belum jua selesai. Aku masih antri. Sambil melayani, si petugas itu sambil ngobrol melayani orang yang lain yang bertanya dengan bahasa Arab. Lama sekali, ku tidak mengerti. Lebih setengah jam aku berdiri dalam antrian, tiba tiba petugas itu mengatakan, “Tutup”. Loket nya di tutup. Katanya pergi ke loket di luar ruangan itu. Dekat loket mobil pribadi masuk. 

Rupanya jam tugas dia selesai, dia mau pulang. Kalau memang dia mau tutup, mengapa tidak di kasih tahu, tidak di umumkan dari tadi?. Kasih tahulah kalau jam 22.45 loketnya akan tutup. Jadi kita kan tidak capek antri, berdiri. Memang orang yang tidak ada tenggang rasanya, ya?. Hidup se enaknya saja.
Semua yang tadinya antrian tadi berlarian menuju loket yang di tunjuk petugas di dalam ruangan itu tadi. Di situ ada dua loket yang buka. Loket itu sebenarnya bukan untuk penumpang bis. Itu untuk mobil pribadi.
Yang antri tidak hanya penumpang bis dari kami saja, juga dari bis bis yang lain. Antrian nya sampai ke jalan mobil yang melintas, di luar ruangan terbuka dan malam yang udara panas. Beberapa dari orang-orang itu ada yang tidak mau mengalah untuk berdiri antri. Semuanya rebutan ingin duluan dan di depan. Semuanya tertuju ke loket yang satu. Kulihat loket sebelahnya tidak ada yang antri. Disitu ada beberapa orang yang berpakaian gamis putih lagi. Dan daripada aku mengantri panjang, aku pindah berdiri ke loket itu, ku ambil posisi di belakang orang yang berpakaian gamis putih itu.

Kemudian beberapa orang menyusul di belakangku dan membentuk baris antrian baru. Lama ku menunggu beberapa orang di depanku untuk cepat selesai. Petugas di dalam itu belum juga melayani. Lima belas menit berlalu. Ada lima orang berpakaian gamis putih di depanku. Ku amanti, orang itu antri bukan untuk pengecekan passport, ambik sidik jari, bukan, juga bukan untuk berfoto. Sabar, tenang, ku menunggu dalam antrian. Tiga orang selesai tanpa foto. Tiba tiba dua orang berpakaian gamis lagi datang lansung menyerobot, memotong antrianku. Mereka datang membawa selembar kertas, kartu identitas, membayar, kertasnya di stempel petugas, lalu selesai dan pergi. Apa Ini?

Orang di depanku menyapaku, melihat kebingunganku mengamati satu persatu orang yang sudah berlalu di depanku tadi. Dia mengatakan ini bukan loket untuk pengecekan passport, sidik jari dan foto. Aku diam saja, tadi petugas dari dalam ruangan sana menunjukan pergi kesini kok, kok dia yang sok tau? Pikirku. Untuk apa loket ini di lengkapi kameranya? Dan juga ada mesin, seperti printer kecil yang ada kacanya, itu kan mesin untuk fingers print, mesin untuk sidik jari. Lama sekali,…. ku letih berdiri, duduk mana bisa? Udara panas juga, di tambah dekat dinding dekat aku berdiri ada blower dari mesin pendingin udara jendela alias AC window yang mengipaskan hangat ke arah ku. Tak sabar rasanya.

Akhirnya aku pindah ke antrian sebelahnya yang sudah panjang, mungkin juga kata orang didepanku itu, itu loket bukan untuk pemeriksaan passport pikirku. Kusambung barisan yang sudah panjang itu. Orang orang yang tadinya di belakang ku bingung dan bertanya mengapa? Dengan bahasa isyarat tubuh sambil mengangkat bahu, dan mengambangkan kedua lengannya ke arahku. Beberapa orang diantaranya juga mengikuti aku. Baris antrian itu tambah panjang ke belakang. Tanpa ada pemberitahuan, tanpa ada informasi, lisan atau tulisan apa pun di kaca loket itu. Orang yang di dalamnya, petugas itu pun sibuk mengobrol dan berbicara dengan suara keras. Itu sudah biasa, petugas itu mengobrol seperti berantam, kalau orang yang tidak paham akan mengira orang itu berantam. Tiba tiba dari dalam petugas itu menutup kaca loketnya dengan keras dengan menggesernya. Entah kenapa. Suara orang orang antrian itu gaduh, sebagian ku tidak mengerti apa kata mereka. Rupanya katanya, loketnya tutup tidak melayani lagi. Ku tidak mengerti, terus bagaimana ini? Lalu mana loket untuk memproses kita untuk keluar perbatasan ini? Imigrasi ini? Aku bingung, ah tunggu saja lah. 

Waktu terus berputar gelapnya malam tidak terasa dengan terangnya lampu-lampu berwatt besar. Badanku capek, udara panas terus menerpa keadaan. Ya Hatiku, janganlah engkau ikut panas menghadapi keaadaan ini, janganlah ganggu diriku, ini mungkin bagian dari ritual ibadah ini. Semoga kesabaran ini bisa diganti dengan pahala olehNya. Orang orang dalam antrian itu terus berciracau dan bergumam. Tetap dalam antrian, menunggu. Dari beberapa orang di belakangku mencari sopir orang Sudan itu. Meminta sopir itu membantu berbicara ke petugas itu. Mereka berbahasa Arab, sepertinya ku tangkap mereka lagi pertukaran shift. Yang bertugas sekarang ini shift siang, akan digantikan petugas shift malam. Sudah lewat jam sebelas smalam. Mereka tutup dulu. Berapa lama?, entahlah.

Ya Allah permudahlah urusanku, mengapa orang petugas itu tidak mengerti kami sudah capek antri, berdiri, panas. Bagaimana system kerja instansi ini? Mungkinkah karena kebetulan saja seperti ini?, Tapi kalau memang begitu aku ingat kembali maasalah yang ku alami serombongan saat aku berangkat haji tahun lalu, hampir atau lebih sedikit satu hari, lebih 24 jam kami tertahan disini.

Ya Allah berilah aku pertolongan, berilah aku kesabaran, aku ingin ke rumahMu segera.
Si Sopir orang Sudan itu mengobrol, mungkin bernegosiasi dengan petugas loket itu, suara percakapannya seperti orang berantam adu mulut, sesekali tangannya mengayun ayun sedikit, kebelakang, telapak tangannya dibolak balik dikeleparin, jari jarinya lerbuka. Tidak lama setelah itu, akhirnya loket di sebelahnya, orang terdepan dalam antrian member passort, begitu cepat si petugas mengembalikannya. Satu, dua, tiga, begitu cepat pemeriksaannya, antrian orang bergerak kedepan beinsut-insut. Di tempat antrianku tidak ada pergerakan sama sekali, lalu aku pindah lagi ke antrian yang bergerak sebelah itu. Dan ternyata petugas itu hanya membubuhkan stempel saja di buku passport, tanpa sidik jari dan tanpa difoto. Stempel  itu tanda bukti sudah diambil sidik jari dan foto.

Lima orang lagi didepanku, tiba-tiba seorang anak muda tinggi memotong antrian didepanku, berdiri di depanku, dari raut wajahnya dia orang bangsa Arab juga, tapi tidak tahulah negaranya, emosiku memuncak, ku tidak sabar, lalu aku tepuk pundaknya,sambil mataku membelalak dan suaraku keluar keras, “Antri….queue..queue…line..line…back..go back”
Orang orang di belakangku melirik ke pemuda itu, beberapa orang mengangkat tangannya dan menunjuk ke anak muda itu, isyarat menyuruh antri ke belakang. Bukannya dia minta maaf, malah mengoceh sendiri yang aku tidak mengerti dan belalu ke barisan paling belakang.

Pak J yang berdiri di belakangku juga ikutan menepuk punggung pemuda itu tapi tidak berkata kata papa, lalu dia menyadarkanku dan berkata “Sabar pak, sabar, ini ujian pak jangan kurangi jatah pahala pak, kondisi ini ladang bagian dari ladang amal”

Ku beristigfar, “terimakasih pak” jawabku.

Akhirnya selesai juga pengecekan, semua penumpang sudah naik bis. Pagar kawat pembatas negara itu di buka, bis merinsut pelan. Sampai di balik sana, pagarnya di tutup kembali. Sopir mengisyaratkan semua penumpang turun. Tas tentengan juga dibawa turun, bis dikosongkan. Di bawah, pembantu petugas imigrasi itu sudah membuka bagasi bis dan mengeluarkan koper-koper, tas dan semua barang yang ada. Barang barang yang sudah di keluarkan dan disusun di tempat yang sudah tersedia. Biasanya barang barang bawaan penumpang itu di periksa dengan menggunakan anjing pelacak oleh polisi. Termasuk ke dalam kabin bis dan bangku bangku, semua dicek, kalau-kalau ada barang bawaan penumpang yang terlarang menurut peraturan negara.

Tidak lama menuggu, polisi imigrasi itu datang dengan membawa selembar kertas lalu diserahkan ke sopir. Polisi itu tidak membawa anjing seperti biasanya. Kemudian sopir itu meminta penumpang naik kembali, dan barang barang disusun kembali oleh pembantu petugas ke dalam bagasi bis. Ternyata tidak ada pengecekan apa apa. Setelah dipastikan semuanya beres oleh sopir, bis beringsut lagi ke gerbang imigrasi yang terakhir. Semua penumpang memegang passport sendiri-sendiri, lalu seorang petugas naik mencek passort.

Sebuah besi bebentuk balok lebih kurang 1 meter tingginya bergerak turun terbenam ke dalam aspal jalan dengan menggunakan sistim hidrolik, pintu gerbang terakhir ini terbuka. Jalan bis terbuka. Akhirnya sampailah bis kami di dalam negara Saudi. Alhamdulillah.

Di langit bertaburan kelap kelip cahaya bintang, perhiasan alam ciptaan Allah SWT. Ramadhan malam ke 25, sudah masuk di pertiga malam. Di waktu manusia manusia yang beriman kepada pemilik semesta ini sedang bejamaah jamaah mendirikan Qiyamulail di setiap mesjid. Ya hanya manusia yang berhati pilihan yang mampu menegakkannya. Dan desir angin serta gerisik pasir dan debu menyetuh perut bis yang melaju membelah malam. Aku capek, letih, ku sandarkan punggung dan kepala ini ke bangku bis. Istri dan anakku juga tidur. Ya,.. Allah berilah aku kekuatan dan kemudahan menuju rumahMu. Ampuni aku. Malam ini aku tidak bisa ber Qiyamulail. Ku ingin bis ini cepat sampai di tanah suci. Besok malam Inshallah. Lama terasa.


Dari tengah malam, lepas gerbang perbatasan Saudi lebih kurang 200-an km melalui kota Hofuf, 300-an km kemudian sampai di Riyad. Aku sudah tidak sadar lagi dalam tidurku. Mungkin beberapa km dari kota Riyad, aku tidak tahu pasti aku terbangun, bis berhenti, bersahur dan sampai sholat Subuh disitu. Siangnya sebahagian besar perjalanan disugguhi pemandangan gurun dan padang pasir kecoklat coklatan luas tak bertepi. Berpuasa hari ke-25 dalam perjalanan tidak terasa. Duduk, tidur di bis, sesekali ku buka dan kubaca buku doa-doa untuk umroh dan haji. Jalan raya yang lebar satu arah tiga jalur lurus seperti tak berujung bebas hambatan membuat sipengendara kendaraan yang melalui jalan ini bernafsu menginjak gasnya sampai habis. Lebih kurang 800 an km dari Riyad menuju ke Ta’if.


Wednesday, September 7, 2011

UMROH DAN BERLEBARAN DI TANAH SUCI ( 1 )

PRAKATA

Sebenarnya aku ingin dan akan menulis atau mengoreskan catatan apa saja yang masih bisa ku ingat dari perjalanan hidupku, di blog ini berurut mulai dari masa kecilku sampai masa saat keadaanku seperti sekarang ini. Jadi catatan yang aku tulis sekarang ini, seharusnya ku letakkan di blog ini apabila catatan masa laluku sudah selesai ku tuliskan. Tapi kurasa ku letakkan saja sekarang sajalah.


SEBUAH KEJUTAN DAN AWAL PERSIAPAN

Sudah beberapa kali liburan di musim panas ini aku jarang berolahraga. Padahal dua minggu lagi bulan Ramadhan tahun 1432 H akan tiba. Kalau sudah di bulan Ramadhan tentu akan susah berolahraga di luar rumah apalagi di musim panas. Maka pada suatu hari liburan kerja ku putuskan untuk mengajak anak dan istriku pergi lari pagi ke Corniche di Doha. Terlalu jauh sebenarnya, kalau mau cuma lari pagi tidak harus ke sana, tetapi maksudku sambil jalan jalan karena sudah lama juga tidak membawa anakku main main ke pinggir pantai di tepi kota Doha. Sering kesana paling lewat saja. 

                                      
Sebetulnya malamnya aku sudah sampaikan rencanaku ke istri, “hari libur besok, kita pergi olah raga pagi di Cornice Doha, selesai lari lari pagi, dan mengajak anak main main, kemudian kita pergi me injek cadridage printer di Q-tel.” Sebuah pasar computer dan aksesoris di kota Doha, kalau di Jakarta sama dengan Roxi atau Glodok,  “terus ke supermarket untuk keperluan dapur. Sebelum Zuhur masuk kita sudah sampai lagi di rumah.” 

Selesai sholat subuh, sewaktu istriku sibuk mempersiapkan makanan, minuman, pakaian ganti anakku. Juga tidak lupa membawa mainan anakku, bola kaki, diam diam tanpa sepengetahuan istriku, aku mempersiapkan foto kopi passport aku, istri dan anakku, serta foto ber latar belakang warna putih, sebagai syarat untuk membuat visa umroh. 

Waktu subuh di musim panas seperti biasa masuk jam 03 pagi. Pas sekitar jam 05 pagi cahaya matahari yang sudah cukup terang, tetapi belum terlalu panas untuk musim panas, ku gendong saja anakku yang masih tidur ke mobil. Jalanan raya yang masih sepi membelah padang pasir sekitar 30 menit perjalanan, aku tancap gas mobilku ke selatan kota Al Khor di Doha.

Di Corniche dari pagi sekali sudah banyak pengunjung  melakukan aktifitasnya, sendiri, berombongan dengan teman dan keluarga. Sekedar berjalan jalan, jogging, ada juga yang besepeda meski tempat in terlarang bersepeda. Karena anakku masih tidur ku jogging saja sendiri, dan istri menuggu anakku yang tidur di dalam mobil.

Seperti rencanaku semula, selesai ku berlari lari pagi anakku sudah bangun, aku ajak dia bermain sebentar dan sarapan di pinggir taman pantai ini, kemudian ku pergi ke pasar computer. 

Begitu mau jalan pulangnya istriku bertanya,”kenapa jalannya tidak me arah pulang?”
“Jalanya macet, kita lewat jalan lain” jawabku. Tetapi aku mengarah ke sebuah agen travel perjalan haji dan umroh, atau lebih di kenal dengan sebutan “Hamlah”. 

Sesampainya di depan kantor Hamlah itu, istriku bertanya “da ngapain ke sini?”
“Aku mau daftar untuk kita pergi Umroh” jawabku singkat
“Kenapa ngak bilang bilang?”
“Kapan mau Umrohnya?”
“Cutinya sudah diajukan? Cutinya di approve ngak nanti?”
“Uangnya sudah disiapkan belum,?” istri ku kaget dengan jawabanku
Dan ku jawab dengan senyuman saja.
“Hei cerita dong!” desak istriku.

“Nanti saja”, aku mau ke Hamlah itu dulu sambil meninggalkan istriku di dalam mobil di parkiran dan membawa kertas amplop yang beriti foto kopian dokumen.
Di dalam kantor Hamlah itu pegawainya laki laki semua, jadi membawa wanita ke dalam kantor itu sesuatu yang aneh, mungkin aib dan tidak lazim budaya disini, karena yang punya keperluan laki laki. Dan di ruang tunggu hamlah itu tidak ada ruang untuk perempuan, jadi istriku dan anak menunggu saja dalam mobil. 

“Assalamualaikum” kataku masuk ke kantor agen itu sambil buka pintunya dan lansung ke meja petugas yang ada di dalamnya.

“Alaikum salam’, jawab petugas lelaki orang Pakistan itu.
Dia sambil bebicara dengan seorang tamu lain pakai bahasa hindi, dan tidak mehiraukan kedatanganku. Sitamu itu berbicara sambil berdiri. Mereka bebicara tidak putus putus nafasnya karena bicara cepat, sampai ku menungu mereka beberapa menit, sehingga ku tidak punya celah memotong percakapan mereka aku harus menunggu untuk berbicara dengan pegawai hamlah itu. Begitu dia selesai berbicara si pegawai itu pun tidak menoleh kepada aku. 

“I want to umroh InshAllah, can you show to me your umroh schedule on Ramadan time?” Aku lansung saja menyapaikan maksudku, tanpa basa basi. (den nio umroh, bisa ang caliak ka aden jadwal umroh ang di bulan puaso nati ) Memang begitu adatnya disini, tidak perlu basa basi sebab dia juga begitu, begitu menjawab salamku dia tidak bertanya seperti reseptionis hotel kalau ada tamu datang dia akan bertanya “What can I do for you?”. (nio apo ang?) Setelah menjawab sapaan kita sebagai tamu.

Dia menunjukan jadwal keberangkatan umroh bulan puasa di sebuah kertas kepadaku “This is it, and when do you want to go?” Tanya nya. (ko ha…. Nio bilo ang pai)

Setelah ku perhatikan dan cek, dan ku cocokkan rencana cutiku yang telah ku schedulekan, cocok sekali, sekitar 6 hari sebelum lebaran dan lebaran ke tiga sudah balik lagi ke Qatar.

“Ok, I will go on 24 Agust” sambil ku tunjukan itu table jadwal yang terakhir di kertas dia. (adih lah, den ambiak tangaal 24 agus)

“How much fee?” aku bertanya biayanya, sebab biaya Umroh di bulan biasa dengan di bulan puasa berbeda.  (bara ongkoih nye?)

“QR 1600 per person” katanya. (1600 surang), kiro kiro wukatu tu Rp, 3.7 jt an seorang.
“I have one child 4,5 year old, does he pay some with adult? “ tanyaku. (den punyo anak ketek umue 4.5 taun, bayienyo samo lo jo urang gadang ndak?)

“No, child QR1200” jawabnya. (indak, anak ketek kanainyo QR 1200), kira kira Rp, 2,8 jt an.
“I am with one family, how about the hotel room for me? Do you will be give me one room one family?” tanyaku lagi. ( den sakeluarga, baa kalau kamar hotel untuk den, lai ang agiah den sakamar jo keluraga den?)

“No, umroh on ramadhan occasion, wife and husband will separate room” jelasnya. (Indak, kalau umroh musim puasoko nan laki bini kamarnyo tapisah)

Ok, aku juga sudah tau aturan main seperti itu dari pengalaman teman teman ku yang sudah umroh di bulan puasa tahun lalu, sebab katanya kalau bulan puasa hotel hotel di Mekah penuh dan harga sewanya juga sangat tinggi jadi sistemnya dibuat seperti musim haji, yang bekeluarga akan di pisah kamarnya antara suami istri untuk mendapatkan untung buat travel itu, kalau tidak dia tidak bisa menutupi tarif hotel yang tinggi dengan yang biasa dia berikan untuk konsumennya. Kalau bulan musim umroh di luar bulan puasa biasa ongkos umroh itu biasanya paling seribuan qatar riyal, tidak semahal itu.

“How about a bed for my child, does he get it separate with me or his mother?” tanyaku lagi. (baa kalau tampek tidue untuak anak den, lai dapek tampek tidue surany nyo?)
“Yes, he will get it separate” jelasnya. (yo, anak ang dapek tampek tidue surang)

“Ok, I will pay down payment for booking and this is for your requremets” sambil ku kasih uang 1000 dan pas foto beserta foto kopi passport dan foto kopi ID ku sebagai syarat untuk dia mengajukan visa Umroh ke pemerintahan Negara Saudi. (adih lah ko den bayie uang muko nyo sajo dulu jo syaraik syaraik domumen nan ang paraluan)
Dia mencatat nama alamat dan no Hand Phoneku di list pendaftarannya dan menuliskan kwitansi tanda pembayaranku.


Biasanya untuk mengajukan Visa itu cukup foto kopi saja, nanti kalau visanya sudah di setujui baru dikasihkan passport yang asli untuk di temple visa umrohnya di passport. Passport asli masih ku simpan di tangan ku, karena masih sebulan lagi, masih lama. Kalu nanti tiba tiba aku harus pulang keluar dari negara ini secara tiba tiba atau emergency, dan passport tidak  ada di tanganku kan reapot sekali. Untuk minta paspor ke agen itu kan tidak gampang, itu alasan ku.

Selesai urusan dengan hamlah itu ku balik ke mobil dan baru ceritakan ke istriku semua rencanaku detil nya nanti di akhir bulan puasa tahun ini dan lebaran tahun ini kita ke umroh.

Dalam perjalanan balik ke Alkhor, istriku diam entah apa yang dipikirkannya, setelah ku sampaikan rencanaku untuk berlebaran tahun ini di Masjidil Haram. Mungkin pikirannya jauh terbang melayang bagai debu pasir ditiup angin gurun pasir yang gersang di tepi jalan raya yang ku lalui, di bawah terik matahari panas musim kemarau, yang panasnya menyengat sekitar 40 an derajat celsius dan humid, lembab. Debu itu turun jatuh ke gundukan gundukan pasir lagi dengan pasti dan bahagia. Mungkin dia juga bahagia. Kebahagian nanti dan membayangkan tarwih di sepuluh malam terakhir disana lalu berlebaran disana.  Aku sudah terbayang nikmatnya sholat tarwih disana apalagi di imami oleh Sheikh Dr. Abdul Rahman Al-Sudais yang suaranya serak serak membuat hati kita bergetar mendengar suara bacaannya. Setiap orang pastilah merindukan ke Baitullah meski sudah berkali kali ke sana. Tapi kali ini aku akan disana di bulan puasa, dan berlebaran, rindu yang tidak tidak pernah terpuaskan. 

“Ya Allah, berilah lah aku kesempatan dan kelancaran segala urusanku untuk bisa ke Baitullah dan Madinah di bulan puasa ini ya Allah”…….. 

Bagaimana tidak, karena Rasulullah telah menjelaskan ke kita seperti bunyi hadistnya;
Dari  Jabir Radhiallahu Anh bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda "Satu sembahyang di masjidku lebih afdhal daripada 1000 sembahyang di masjid-masjid yang lain kecuali Masjidil Haram di Mekah dan satu sembahyang di Masjidil Haram pula lebih afdhal daripada 100.000 sembahyang di masjid-masjid yang lain."

"Sungguh Allah menurunkan pada setiap hari dan malam 120 rahmat di Baitullah. 60 rahmat untuk orang yang melakukan tawaf.40 rahmat bagi orang yang mendirikan shalat.20 rahmat bagi orang yang memandang ke arah Ka'bah."
(HR.Thabrani).

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu Rasulullah Sallallu 'alaihi Wasallam telah bersabda "Melakukan sekali sembahyang di dalam masjidku ( Masjidil nabawi di Madinah ) ini adalah lebih baik daripada 1000 kali sembahyang dalam masjid yang lain melainkan Masjidil Haram."


Tuesday, August 23, 2011

TANAH KELAHIRANKU (2)

Setiap orang tua tentulah bercita cita yang terbaik untuk anaknya. Tidak ada orang tua yang  tidak menginginkan anak nya hidup lebih baik dari dirinya. Misalnya orang tua yang berprofesi petani atau kuli tentu tidak akan pernah meinginkan anaknya menjadi petani  atau kuli.

Tetapi dari kecil kehidupan sebagai anak kampung dusun dan hidup dari orang tua petani, dan dari kecil sudah memepunyai tanggung jawab belajar bekerja membantu orang tua ke sawah, “apakah itu tandanya orang tua itu meinginkan anak nya jadi petani?”

Seperti rata rata di desaku dari orang tuanya sudah di beri tanggung jawab membantu orang tua mengerjakan pekerjan di sawah? Seperti diriku ini?
“Tidak”, tentu “tidak”.

Orang tua ku melakukan itu kepadaku karena keadaan. Meski usia masih anak anak bagiku tidak menjadi beban untuk melakukan itu.

Karena bila mendengar cerita masa kecil orang tuaku jauh lebih susah dari apa yang aku alami. Baik kehidupan apakku atau amakku.
 
                                             ------------

Dengan telapak kaki terlanjang tanpa sandal, kaki mungilku mengikuti langkah Apakku berjalan menelusuri jalan setapak di pingir jalan kareta api. Untuk bisa memiliki sandal jepit, “tarompa japang” namanya di saat usiaku masih kecil, belum masuk usia sekolah, adalah sesuatu sangat mahal bagi orang tuaku. Sehingga berjalan tanpa sandal sudah biasa bagiku.

Tanah pembatas antara pemilik perusahaan kareta api dengan tanah warga, di jadikan jalan setapak untuk melintas ke arah hilir menuju rumah nenekku, “andung”, orang tua apakku.  Tanah yang lebih tinggi posisinya dari jalur karata api itu, dan di kanan dan kiri jalan kareta itu mengalir air sangat jernih, begoyang goyang, berlari ke hilir mengariri sawah sawah.

“Mengapa kita berjalan saja menelusuri rel kareta itu pak?” Tanya ku ingi tahu.

“Berbahaya, nanti kalau kareta api datang tiba tiba, bisa ditabraknya kita” jelas apakku.
Mendengar kita bisa ditabrak kareta api, sangat mengerikan bagiku. Maka aku takut berjalan di rel kareta api.

Sebenarnya selain berbahaya, karean rel itu panas kena pansanya matahari dan juga banyak batu batu kerikil, jika aku berjalan di sana tentu lah akan membuat kakiku panas dan sakik kena batu karena tidak pakai sandal. Itu alasan yang tepat.

Di ujung jalan yang setapak, bertemu jalan agak lebar membentang timur dan barat. Di timurnya arah jalan raya besar, ku berjalan berbelok ke kanan ke arah barat, dan di ujung jalan lebar ini ku harus meniti sebuah jembatan.

Panjang jembatan ini mungkin lebih kurang 15 meter, menurun ke arah barat sepeti mau runtuh, tetapi tidak runtuh runtuh dan miring ke kanan, di bawahnya mengalir kecil air sungai batang kalu. Pemukaan sungai dengan jembatan ini cukup dalam jaraknya. Dengan ukuran badan di usiaku yang masih kecil sangat mengerikan dan menakutkan bagiku melintasi jembatan ini. Sebuah bahan besi tebal, yang berbentuk atap rumah seng yang ada alur alur untuk air hujan mengalir, itulah alas jembatan ini. Kalau bejalan di atas jembatan ini, telapak kaki kecilku ku ini bila diluruskan akan terjepit dan sakit antara dua lengkungan selokan  alas jembatan ini. Dadaku bergetar kencang, takut berguling dan jatuh ke dalam batang kalu. Pinggir jembatan ini juga tidak ada pembatas sebagai mengamannya, walau ada seutas kawat kecil tidak ada gunanya untuk berpegang, karena kawat itu tidak kuat, bisa bisa membuat kita jatuh.

“Miringkan telapak kaki itu ketika menginjak sengnya” jelas apakku sambil mencontohkan ke aku, sambil membimbingkku. 

Padahal hatiku ingin menagis, “merengek rengek”, ketakutan dan ngeri. Tapi aku tidak bisa mengungkapan ketakukan ku itu kepada apakku.

Meskinya anak seusia aku pantasnya digendong tapi apakku cukup memenggang tanganku dan membimbing aku. Mungkin ini bagian cara apakku mengajari aku dari kecil bahwa aku harus belajar mandiri, tidak boleh penakut dan cengeng, harus berani melewati tantangan. Dia sudah membantu aku dengan memegang tangan ku itu lebih dari cukup.

Di seberang jembatan ini di sebelah kanannya tedapat subuah surau, surau Batang Kalu namanya.  Ini adalah surau kaum suku Pisang, suku bakoku, karena apakku bersuku Pisang. Dari cerita yang ku ketahui suku Pisang ini bagiang dari suku Tanjung.

Jalan berbelok ke kiri memasuki kebun, atau “parak”. Kebun yang bersisi bermacam tanam tanaman, seperti durian, kopi, petai, dan sebagainya. Memasuku parak ini lagi lagi menakutkan juga bagiku, serasa aku memasuki hutan belantara, maklum aku masih kecil. Sepanjang parak ini terdengar sura bermacam burung bersahut sahutan menyapa. Ada beberapa jalan setapak ini melewati diantara dua buah dahan pohon yang rindang dan lebat. Jadi jalan setapak di bawah pohon buah “jambak” dan “kepundung” ini agak gelap. Dikiri kanan nya semak belukar setinggi badanku tumbuh subur, sesekali melangkah jantung ku berdebar di kejutkan oleh binatang bernama kadal (“bingkaruang” aku menyebutnya) melintas dari semak ke semak.
Menyeberangi dua jembatan dengan sebatang kayu pohon kelapa, di atas selokan sawah. Sebelum menempuh jalan mendaki diantara dua tebing yang pas untuk ukuran dua badan orang dewasa, ku di sapa percikan suara air jatuh dari atas bukit ke aliran irigasi sawah.

Jalan sempit antara dua tebing bertangga, beralasan batu batuan yang beberapa bagian sudah berlumut dan licin, harus pilih pilih untuk menginjaknya bila tidak ingin tergelincir. Diantara bebatuan itu dari atas merembes air tanah mengalir tidak pernah kering.

Dengan nafas sesak, capek mengikuti langkah apakku, dan sampai diatas dua tebing itu terus mendaki, menanjak, sampai di atas nya berbelok kekiri. Sampailah di dataran padang datar yang berumput hijau dan di tumbuhi pohon pohon kelapa di sekitarnya. Suara lenguh beberapa ekor sapi terikat di tengah padang yang datar ini menyapa kedatangan ku yang di gembalakan. 

Dari arah utara kelihatan di selatanya dari jauh satu rumah kayu tua berdinding anyamam banbu dan beratap seng. Melewati rumah tua itu agak kebelakang sedikit sebuah rumah kecil lagi, mungkin cocoknya di sebut pondok. Rumah kecil satu kamar tidur satu runag tamu yamg kecil juga dan dapur di belakangnya. Tapi apakku  menyebutnya rumah. Beratap “rumbia” atap yang terbuat dari anyaman daun sagu. Dindingnya dari anyaman bambu, dan tiang tiang nya hanya beberapa dari kayu, lainya dari bambu. Lantai rumah ini juga terbuat dari batang bambu yang sudah di pipihkan. Sehingga berjalan di atas rumah ini akan berayun ayun lantainya.

Itulah rumah andungku, rumah orang tua apakku. Aku selalu di bawa apakku ke rumah andungku ini dengan menempuh perjalanan yang penuh tantangan bagiku. Terutama sewaktu  hari Raya Idul Fitri, berpakaian baru kunjungan wajib ku pasti lah ke Padang Dateh melewati kebun kebun dan mendaki bukit.

Di bagian timur dataran ini kelihatan dataran lebih rendah di bawahnya terhampar sawah berpetak petak, dan jauh di bawah itu ada  jalan raya besar dan mobil kecil kecil hir mudik, dan juga jalan kareta api yang memanjang dari hilir ke mudik. Latar belakang dari pemandangan itu membentang bukit barisan di bagian paling timur.

Rumah atau pondok andungku dan sedikit padang rumput yang datar ini namanya Padang Diateh. Sebuah kampung peratara dusun pasar Surau dengan Padang Mantung. Kampung Padang Diateh ini memanjang utara selatan atau hilir mudik. Rumah andungku ini di Padang Diateh hilir namanya. Disinilah apakku lahir dan dibesarkan bersama tiga orang adiknya oleh orang tuanya. Dan di pondok itu.

Umumnya orang menyebutnya Padang Dateh. Singkatan Padang Diateh. Sudah lazim orang di kampungku ini kalau mengucapkan yang memungkinkan untuk dipersingkat akan dipersingkat. Sama seperti mereka manyebut “Padang Panjang”. Kebanyakan orang mengucapkannya menjadi  “Pamanjang”, kalau "Bukit Tinggi" menjadi "Kiktinggi", kalau "Pariaman" menjadi "Piaman", kalau "pai kama"(pergi kemana) menjadi "pi kama", kalau "sabanta ko" (sebentar ini)" menjadi "santa ko", kalau "Padang Lapai" menjadi "Suba..ang", (eh, kalau yang ini bukan disingkat tapi di ganti... hehehe...lucu ya?). Ya, begitu lah.

Padang Dateh ini bagian dari masa kecilku meski aku bukanlah lahir disini. Pak etekku, suami dari adik apakku selalu mengatakan aku ini anak orang Padang Dateh, karena katanya apakku orang Padang Dateh. Juga semua “bako” (semua saudara dari bapak atau sesuku dengan bapak) ku mengatakan aku orang Padang Dateh

Ku tidak mengerti kata pak etekku itu, “apa maksudnya”. “Amakku kan orang Cumangkung, aku ini tinggal bukan di Padang Dateh, aku tidak mau dikatakan orang Padang Dateh”. Begitu pikiranku, aku masih kecil.
Padahal maksudnya, bahwa dalam agama kita, seorang anak terlahir mengikuti garis keturunan bapak. Karena bapakku Padang Dateh maka aku dikatakanya orang Padang Dateh. “ya benar juga kalau begitu”. Aku juga bangga dikatakan orang Padang Dateh, memang disitu asal bapakku.

Sewaktu masa Sekolah Dasar, aku mengatakan “aku orang Cumangkung” ke teman teman sekolahku, sewaktu aku Sekolah Menegah di Kayu Tanam aku mengatakan “aku orang Pasar Surau Guguk” ke teman sekolah temanku. Sewaktu aku Sekolah Atas di kota Padang, aku mengatakan “aku orang Kayu Tanam” ke teman teman sekolahku. Ketika ku sudah merantau ke tanah Jawa, aku mengatakan “ aku orang Padang, orang Minang” ke teman teman kerjaku. Ketika aku ke luar dari Indonesia aku mengatakan “ aku orang Indonesia ke teman temanku yang bukan orang Indonesia”

Jadi aku ini, orang Cumangkung, Pasar Surau, Guguk, Kayu Tanam, Padang, Indonesia. Itulah tanah kelahiranku.




Wednesday, August 17, 2011

TANAH KELAHIRANKU (1)

Gunung Singgalang yang menjulang bergandengan dengan Gunung Tandikat di utara, dan bersambung ke kanan dengan deretan bukit barisan memanjang ke timur terus ke selatan.  Hamparan sawah yang berjenjang di hilir dan mudik jalan.  Di bagian timur kampung yang disebut “baruah” dataran terendah yang memanjang dari hulu ke hilir mengikuti aliran Batang Anai tersusun pula sawah di kiri dan kanannya yang berpematang batu batuan tu identik dengan lembah. Jalan utama kampung ini membujur barat dan timur berbelok ke selatan yang disebut hilir. Jalan utama kampung ini juga di sebelah rumah saya, merupakan bagian jalan lintas orang dusun seberang Batang Anai, Padang Lapai. Bagian Batang Anai aliran air nya melebar dan rata dan banyak bebatuan dan dangakal sedalam paha orang dewasa  merupakan bagian dusun ku ini. Orng menyebutnya Lubuk Talata. Tempat ini adalah lintas penyeberangan pintas bagi orang desa seberang bila mau ke pasar atau ke kota.

Sedikit di hulu bagian penyebarangan itu aliran air Batang Anai membentuk lubuk di pinggir tebing. Di lubuk ini salah satu bagian di aliran Batang Anai yang banyak ikannya. Tidak sedikit orang dari desa lain bahkan ada yang dari kota memancing ke lubuk ini. Selain tempat memancing, lubuk ini bagian dari kehidupan anak anak di dusun dan aku sendiri  yaitu tempat mandi mandi dan bersuka ria. Hampir semua anak di dusun ini, mungkin di desa ini, pandai berenang karena sering nya mandi mandi dan belajar di lubuk ini. Nama lubuk ini yaitu Cumangkung. Dari kecil sampai sekarang ku tidak mengerti apa sebenarnya arti Cumangkung itu. Yang jelas Cumangkung ini juga nama dusunku. Keselatan jalan kampung ini di sebut dusun Cumangkung hilir, anak muda nya menyebut “Cimahi”, dan bagian utaranya Cumangkung mudik.


Aku ingat suatu hari pak pos yang masih pakai sepeda yang sepedanya  bunyi “kring… kring.. .kring..” mengantar kan surat ke rumah untuk Amakku dari Mamakku di rantau, pak pos  itu panggil orang “Uda Man” sambil membacakan  alamat surat yang di tuju di depanku, : “Kepada Kakanda, Cumangkung Indah, Pasa Surau Guguk, Kayutanam”

Waktu itu awal tercatat dalam kepalaku, bahwa lengkapnya nama dusunku adalah Cumangkung Indah. Aku juga tidak tahu siapa awalnya menambahkan kata Indah di belakang nama dusunku  ini. Hampir setiap pemuda yang sudah merantau meninggalkn dusunku, kalau menulis surat ke sanak saudara atau orang tua sebagai tanda bangga dan haru, rindu ke kampung halaman pasti di tulis kata Indah” di belakang nama dusun ini. Atau mungkin pemuda pemudi dusun saya ini adalah para pembakat penulis, pengarang atau penyair?. Mereka adalah generasi paman pamanku, mak adang, mak angah, mak uncu, Om Yul, Om Mus, Om Syaf,  Mak etek Syaiful juga etek etek bagi ku dan masih banyak lagi.
Tapi tidak salah para generasi masa mamak mamakku dahulu menamakan dusun Cumangkung Indah ada juga menamaknnya Cumangkung nan Indah di amplop amplop suratnya. Aku amati betul memang indah kampungku.

Pemandangan, alam yang telah Allah ciptakan dengan sangat sempurna. Seperti khyalan, imjinasi pelukis yang mengambarkan pemandangan alam di kanvas lukisanya, pastilah akan ada gunung, sawah, sungai, bukit, jalan, dan dihiasi pohon pohonan. Materi, objek yang pada umumnya ada pada lukisan tangan dari seorang pelukis tersebut ada di dusunku ini. Begitulah indahnya.


Sungai Batang Anai airnya yang mengalir jernih, sawah yang bertangga di baruah dan di ateh, di timur membentang bukit barisan dan di utara dua Gunung Singgalang dan Tandikat kokoh tegak berdiri. Tanahnya subur, air melimpah, dari  sumber aliran Batang Anai yang berhulu dari pertemuan Air terjun lembah Anai dan aliran Batang Anai dari Gunung Singgalang dari daerah Tanah Datar. Sepanjang aliran air Batang Anai ini menjadi sumber kehidupan bagi penduduk kampung yang dilaluinya, terutama dusunku, sebagai sumber air untuk mengairi persawahan. Dusun Cumangkung, yaitu di Lubuk Cumangkung menjadi hulu aliran irigasi untuk persawahan di daerah baruahnya bagian nagari Kayu Tanam. Air Batang Anai dari lubuk Cumangkung ini sedikit di bendung dengan bebatun sebagai tanggul untuk mearahkan aliran Batang Anai ke irigasi persawahan sampai ke nagari Kayu Tanam. Irigasi ini dikenal dengan nama “banda Kayu Tanam”. Setiap musim penghujan, bila Air Batang Anai banjir yang di sebut “Aie Gadang”, maka tanggul di lubuk Cumangkung ini kadang kadang runtuh, dan aliran irigsi ke banda Kayu Tanam akan kurang atau bahkan kering tidak berair. Maka beramai ramailah penduduk desa dari nagari Kayutanam, seperti  desa Pasar Gelombang, desa Pasar Tengah, dusun kampung Dalam desa Pasar Usang bergotong royong ke Lubuk Cumangkung untuk memperbaiki tanggul yang runtuh.


Ku bangga terlahir jadi orang dusun ini. Sejak dari terlahirnya manusia di alam kampung dusun saya ini, menandakan Allah langsung menunjukan kebesaranNya, dan memberi petunjuk dan pelajaran ke manusia seieisnya ini. Allah telah memberikan RahmatNya yang tak terhingga, meski secara ekonomi aku dari turunan nenek dan kakek kakekku terdahulu anak keluarga miskin bagai “batang tarandam” yang sudah lama tertimbum dalam lumpur kemiskinan. Tetapi sebenar benarnya ini tetap namanya Rahmat Allah. Aku bersyukur.

Tidak hanya kondisi alam dusunku saja yang indah seperti yang aku ceritakan ini, secara keseluruhan nagariku ini, yang namanya Guguk, Kayutanam, kecematan perwakilan 2 x 11 enam lingkung, baik nagari Anduring sampai Kepalala Hilalang. Pemandangan alam dan keindahannya sama saja, hanya dari sudut pandang nya, “object view” nya saja yang berbeda dari setiap dusun.

Di masa kecilku belum ada kepemerintahan Nagari, yang ada "Desa". Desaku bernama Pasar Surau, Kecematan perwakilan 2 x 11 Enam Lingkung, Kabuputen Padang Pariaman, propinsi Sumatera Barat. Meski dalam keperintahan tidak ada sistem kenagarian  tetapi nama nama desa akan terdengar aneh kalau tidak di sebut nama nagari. Pasar Surau nagari Guguk. Di plang plang atau papan kantor desa, sekolah sekolah biasanya di tulis nagarinya.

Tapi bagiku tidak penting untuk tahu mengapa, kenapa, demikian, aku adalah anak kecil, ku hanya tau apa yang diajarkan orang tua atau guru.
Misalnya di Sekolah Dasarku tidak di tulis sekolah negeri Pasar Surau, tetapi di tulis “Sekolah Dasar negeri no.2 – Guguk”. Di papan depan kantor Desa misalnya di tulis “Desa Pasar Surau – Guguk – Kecematan perwakilan 2 x 11 Enam Lingkung”, “Sekolah Dasar negeri no.1 – Guguk” yang terletak di desa Pasar Kerambie, “Sekolah Dasar negeri no.3 – Guguk” yang terletak di desa Kandang Ampek, “Sekolah Dasar negeri no.4 – Guguk” yang terletak di desa Padang Lapai.

Sejarah pernah mencatat dahulu sebelum ada keperintahan sistem desa, sistem kepemerintahan di Minang ada namanya Nagari, tetapi sewaktu jaman Orde baru sistem kenagarian di hapuskan, aku sendiri kurang memahami sejarah tentang ini. Yang ku tahu setelah bersekolah di Sekolah Dasar, di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, bu guru menerangkan nama Negara kita Indonesia, terdiri 27 propinsi, propinsi kita Sumatera Barat, terdiri beberapa kota Madya dan 8 Kabupaten, Kabupaten dusun ku dalam wilayah kbupaten Padang Pariaman, di bawah Kabupaten  terdiri dari beberapa kecematan, di bawah kecematan tediri dari desa desa. Aku ingat waktu itu siswa wajib hafal, dan sering berulang ulang pertanyan di ujian.

Jalan Raya utama, jalan raya propinsi, dilintasan ini lah desaku. Karena desaku terletak memanjang di jalur jalan Raya Propinsi Padang - Bukit Tinggi, bunyi suara kendaran hilir mudik sudah menjadi nyanyian suara desa saya.  Sejak lahir setiap anak di Desa ini sudah biasa di sambut suara kendaraan di jalan Raya dan suara kareta api uap yang waktunya teratur melintasi desa Pasar Surau. Nyanyian suara kendaraan itu akan berhenti dan istirahat sejalan datang nya waktu istirahat malam tiba. Maka gambaran sebuah desa yang biasa di lukiskan kebanyakan orang orang, penulis atu penyair  akan benar nyata hanya di malam hari saja. Tetapi itu suara alam saat malam, tidak saat siang. Suara jengkrik, air yang mengalir, kodok di sawak atau selokan sawah.

Gambaran seperti ini tidak hanya desa Pasar surau saja, juga dua desa lain, seperti Pasar Kerambil, Kandang Ampek dilintasi jalan raya propinsi. Kecuali desa Padang Lapai. Karena letaknya di timur di balik Batang anai dekat di kaki bukit Barisan. Padang Lapai jauh dari kebisingan.

Dari rumahku terdengar gemuruh suara truk, kloson mobil hilir mudik di jalan raya besar Padang - Bukit Tinggi, di balik jalan raya itu ada jalur Kareta Api, suara nya pun sampai ke rumah bila si mak itam itu sudah melewati jalur nya membentang sejajar dengan jalan Raya. Kareta api masih bermesin uap, selain mengeluarkan suara yang kencang  juga asap nya mengebul kadang kadang itam gelap atau coklat terbang ke awan .

Desa Pasar Surau, Desa yang terdiri dari empat dusun, dusun saya , Cumangkung salah satunya di bagian timur, dusun Pasa Juha di hilir, dusun Padang Mantung di bagian Barat dan dusun Pasar Surau di tengah tengah sepanjang jalur jalan Raya.

Pasar Surau, sama juga dengan apa yang aku ketahui tentang Cumangkung Indah, ku taunya itu adalah sebuah nama. Kenapa dan mengapa namanya demikian, aku tidak tahu. Belum ada sejarah, bukti berbentuk dokumen atau prasasti misal nya, (hehehe…….,), bahkan siapa pertama kali memberi nama ini. Atau mungkin saja ada, tetapi ku tidak mengetahuinya, semoga suatu saat ada generasi kampungku yang bisa mengungkap sejarahnya. Lalu mendokumentasikannya agar dijadikan bahan untuk di ceritakan dari generasi ke generasi nantinya.

Kalau mendengar kata “Surau” yang arti harfiahnya adalah tempat sholat, semua orang tentu sudah tahu. Di kenagarian Guguk yang tediri dari empat Desa, Desa Pasar Surau, Desa Pasar Karambie, Desa Padang Lapai, Desa Kandang Ampek, setiap suku memiliki surau surau kaumnya. Sehingga jumlah surau sama dengan banyaknya suku.


Lalu apakah karena banyak surau dinamakan pasar Surau? Tetapi di desa lain juga sama pula banyak nya surau. Jadi alasan ini tidaklah tepat desa saya disebut Pasar Surau.


Nagariku Guguk, orang menyebutnya Guguak”. Nagari Guguk ini mempunyai satu Mesjid Besar yang namanya Mesjid Raya Guguk. Mesjid Raya Guguk ini terletak di desaku ini. Dari dahulu yang aku tahu Mesjid ini dibuka sekali dalam seminggu, hanya untuk sholat Jumat saja. Dilain waktu dibuka saat peringatan hari hari besar Islam. Seperti Israk Mikraj, Maulid Nabi .

Di kanan dan kiri Mesjid ini ada dua buah surau, sebelah kanan Mesjid, namanya  surau Kanso dan sebelah kirinya surau Batu. Surau surau ini hampir sama fungsinya dengan surau kaum, yang digunakan sekali setahun di saat bulan puasa melaksanakan sholat Tarawih.  Sedikit bebeda kalau surau kanso atau surau Batu ini klu ada angkunya yaitu“Guru mengajar mengaji” maka surau ini di gunakan untuk kegitan belajar mengaji anak anak desa. Dan saya sendiri juga demikian belajar mengaji disurau ini. Juga di gunakan untuk sholat berjamaah lima waktu

 Setiap anak yang pernah menimba ilmu di surau ini tentulah punya banyak cerita dan kenangan yang indah untuk di kenang.


Gemercik air yang jernih mengalir di depan dan di belakag mesjid menjadi suara alam yang tak pernah henti, yaitu aliran (“Banda”) irigasi dan juga sebagai sumber air persawahan di hilirnya. Air ini berasal dari Air Batang kalu, sungai berair jernih mengalir melewati belakang mesjid. Di dalamnya juga banyak berbagai ikan. Batang Kalu air nya tidak sederas Batang anai, dan jarang banjir atau “aie gadang” seperti Batang Anai. Aliran air di depan mesjid di alirkan ke tempat wudhu dan dibuang ke Batang kalu di belakangnya.


Matahari muncul dari balik bukit bukit barisan dengn senyum cerah menyapa pagi. Air tersara air es bagi orang kota untuk mandi di Batang Anai. Dedaunan, rumput rumput berselimut embun setiap pagi datang. Dinginya pagi belumlah seberapa bila dibandingakan dengan dinginya daerah pegunungan seperti Bukit Tinggi atau Padang  Panjang, tetapi bagi aku dan seluruh penduduk nagari ini itu akan terasa sejuk, karena sudah terbiasa.


Olahraga pagi, bagi penduduk kampung bejalan menghirup segarnya udara ke pematang pematang sawah atau ke landang, menurun tebing ke “baruh” atau mendaki, sebelum sarapan sekedar melihat air sawah atau “menggaro burung” = (menghalau burung burung yang makan buah padi) bila musim padi berbuah.


Namanya dusun atau desa, kehidupan penduduknya tentulah sebagai petani. Sudah kodratnya, kalaulah bernama desa yang terbayang sawah, petani, kebun atau pertenak. Sebenarnya ada juga yang sebagai pegawai negeri, pegawai perusahan PJKA (Perusahaan Jawatan Kareta Api) atau guru, tetapi sebagai orang desa mereka tetap juga bertani dan punya sawah dan ladang.


Di masa usia anak anak, dimana masa masa kehidupannya bermain main, tetapi bagi anak anak usia aku, hidup di kampung dan desa ini haruslah sedikit melawan kodrat itu. 


“Dedy jago pagi bisuak caliak aie sawah di baruah sambie mandi yo” ( Dedy, besok bagun tidur lihat kondisi perairan sawah di baruh = lembah sambil mandi)” kata orang tuaku suatu malam sebelum beranjak tidur.

Atau 

“besok pagi bangun tidur manggaro dulu ya sebelum sekolah” begitu contoh kata kata perintah orang tua masa kecilku.


Kata kata perintah orang tua itu mungkin saja ada pada anak anak usia aku yang lain. Kata kata itu keluar dari orang tua karena keadaan, kondisi kehidupan dan alam. Hidup sebagai petani mengerjakan sawah sendiri tidak lah cukup untuk biaya hidup, orang tuaku harus bekerja yang lain lagi ke sawah orang atau berkuli bangunan atau berdagang. Sehingga aku sebagai anak sesuai usiaku sedikit sudah  menggantikan tanggung jawab pekerjaan orang tua, kerja ringan seperti melihat air sawah atau manggro. Kalau usia tambah lagi akan terus tanggung jawabnya bertambah lagi.


Menjaga air sawah, menggaro itu di lakukan sambil bermain, berolahraga pagi sebelum mandi, dan sebelum matahari beranjak di persembunyian di balik bukit barisan.


Saturday, April 30, 2011

LONTONG TEK SAM

Burung burung bertebangan, bekeliaran keluar dari sarangnya di atas pohon pohon asam. Pergi terbang menyambut pagi mencari rezki. Ayam jantan berkokok bersahutan dari dalam kandangnya sudah selesai menjalankan tugasnya membangunkan orang orang sekampung. Matahari telah mengeluarkan sinarnya dengan senyuman yang cerah dari balik bukit yang tidak pernah bubar berbaris di timur.

Semua orang bersiap siap melanjutkan aktivitasnya susuai dengan tugasnya masing-masing. Anak sekolah dengan bangga berpakaian rapi dengan senangnya berangkat ke sekolah. Berseragam merah putih ke Sekolah Dasar negri di balik jalan raya yang ada di tepi jalan kareta api. Mereka berangkat berkelompok kelompok, berombong rombongan supaya lebih aman saat menyeberang jalan raya menuju sekolah atau yang menyisiri jalan raya dari arah hilir. Begitu juga yang dari mudik, dari Padang Dateh atau Padang Mantung.

Setiap anak bermacam macam perilakunya saat berangkat sekolah. Setelah pamit kepada orang tua, tidak lupa menuntut haknya, yaitu uang belanja sekolah alias uang jajan. Ada diantaranya tidak mau berangkat sekolah bila tidak ada uang jajan.
Uang belanja untuk sekolah sangat wajib dan syarat untuk mau berangkat ke sekolah.

Membeli jajanan di sekolahan adalah suatu kesenangan bagi anak anal sekolah, terutama anak anak masih Sekolah Dasar. Mereka masih kurang, kemampuan untuk mengontrol diri dalam membelanjakan uang nya. Rasa keinginan membeli, jajanan, makanan amat lah besar. Kenyang sedikit, kalau masih ada uang disaku, nalurinya tetap mau berbelanja. Sehingga tidak heran di sekolah banyak yang menjual berbagai macam makanan.

Ada beberapa lapau (warung) tempat jajanan anak anak sekolah. Lapau Tek Buih, lapau Anduang Sarabi di selatan sekolah, lapau Maktuo Siar di sudut surau Angku Marajo, lapau Tek Da di depan surau angku Marajo dan lapau Tek Sam di belakang sekolah bagian timur. Ada lapau Anduang Sarabi yang special menjual bermacam macam bubur.

Setiap anak sekolah mempunyai lapau favoritnya masing masing.
Dari semua lapau yang ada di sekitar sekolah itu hampir semuanya menjual Lontong. Lontong adalah makanan sarapan pagi yang banyak diminati. Alasan nya karena lontong mengenyangkan. Harga sepiring lontong setiap lapau itu sama, porsinya hampir sama semua, begitu juga rasanya hampir sama enaknya.

Sepertinya tidak ada persaingan diantara penjualnya. Ramai atau tidaknya tergantung rezeki penjualnya. Karena setiap anak sekolah sudah mempunyai lapau kesukaannya dan langganannya masing masing.

Setiap pagi sebelum lonceng kelas di pukul bu guru jam 07.30, lapau lapau di sekitar sekolah ditepi jalan kareta api itu ramai di penuhi pembeli anak anak sekolah. Berebutan, siapa cepat itu yang duluan mendapatkan pesanan lontongnya.

Banyak anak anak berebutan di lapau lapau kesukaan mereka masing masing, karena mereka sengaja tidak sarapan di rumahnya. Ketika suasana seperti itu di lapau, beberapa sekelompok anak anak tidak peduli dengan teman temanya yang ramai di lapau lapau. Karena mereka anak anak yang tidak sempat pamit kepada orang tuanya, apa lagi menuntut haknya untuk dapat uang jajan. Selain memang tidak ada uang jajan dari orang tuanya. Karena selesai subuh orang tuanya sudah berangkat ke sawah orang, seperti burung dari atas pohon yang sudah terbang mangais reseki.
Cukup makan nasi dingin sisa tadi malam dan makan dengan lauk apa adanya atau dengan sambal lado kukai yang disiram minyak jilantah. (minyak sisa gorengan)

Ada dua lapau yang hampir tidak pernah tutup, yaitu lapau tek da dan lapau tek sam. Yang lainya kadang kadang tutup kadang kadang buka, entah alasan apa.
Lapau tek Da kebanyakan konsumenya anak anak sekolah saja. Lain dengan lapau tek Sam, selain ramai dengan anak anak sekolah, banyak juga gaek gaek, anduang anduang, apalagi anduang andung lagi sholat ampat puluh namanya di surau.
Ada juga pembelinya apak apak yang sebelum ke sawah, ke ladang, sarapan dulu di lapau tek Sam. Ibu ibu, etek etek, tidak jarang juga ibu ibu guru SD yang di tepi jalan kareta api itu.

Bunyi roda kareta api berdentang dentang berjalan di atas relnya dari arah hilir sudah lewat. Satu diesel mendorong lima gerbong kosong hitam ke arah darek. Dan, lonceng berbunyi di pukul bu guru berkali kali. Anak anak sekolah berbaris di halaman sekolah, yang di lapau berhamburan ke halaman sekolah mengikuti baris dari teman temannya yang telah duluan. Senam pagi dimulai sebelum masuk kelas.

Lapau tek Sam sudah kosong dengan anak anak sekolah. Sekarang giliran gaek gaek, anduang anduang konsumennya yang datang satu persatu. Apalagi yang mereka pesan kalau bukan Lontong buatan tek Sam. Tidak ketinggalan juga bapak bapak tentunya. Mereka sudah paham kalau sebelum lonceng sekolah berbunyi tidak cukup tempat duduk untuk mereka. Karena, itu adalah waktu untuk konsumen anak anak sekolah. Jadilah lapau tek Sam jarang sepi.

Sudah biasa tiap hari gulai Lontong tek Sam ganti ganti. Gulai cubadak/nangka, gulau buncis di tauco, atau kacang panjang, gulai rebung, atau gulai paku (pakis). Spesial gulau paku buatan tek Sam sangat mantap. Kalau lontong gulai pakunya tek Sam itu, rasa pedas cabe rawit/lado padi ijau, rasa asinnya garam, dan asam kandis nya sangat pas sekali. Sepiring lontong pakai mie kuning dan kerupuk merah di atas nya.

Selama enam tahun setiap anakyang bersekolah di SD di tei jalan kareta api itu, paling tidak pernah berbelanja dan makan lontong tek Sam agak sekali, meskipun ada yang jarang dapat uang jajan dari orang tuanya.

Bagi yang sudah kecanduan makan lontong tek Sam tentu sudah berkali kali. Bahkan ada yang sudah melanjutkan sekolah ke SMP atau SLTA, sekali sekali menyempatkan diri juga datang ke lapau tek Sam untuk makan Lontong.

Semenjak tahun 1983, sudah 28 tahun sampai sekarang. Seandainya setiap tahun rata rata 25 orang yang lulus dari SD di tepi jalan kareta api itu, berarti ada sekitar 700 orang telah merasakan Lontogn tek Sam. Entah sejak tahun berapa tek Sam mulai berdagang Lontong, mungkin sebelum tahun 1983. Artinya orang sekampung dan yang pernah sekolah di SD di tepi jalan kareta api itu, pasti kenal dengan tek Sam dengan masakan Lontongnya.

Bagi yang tinggal di kampung dan tidak merantau, lontong tek Sam tentu akan biasa saja. Sebab banyak lapau lapau di kampong yang menjual lontong juga. Tetapi bagi yang merantau, maka Lontong tek Sam mempunyai suatu ke dahsyatan. Mereka selalu ingat dengan rasa Lontong buatan tek Sam. Bahkan rindu dan teringat kampung salah satu penyebabnya karena ingin makan Lontong buatan tek Sam. Begitu hebat nya “Lontong made in tek Sam”.

Sehingga yang sudah merantau, kalau pulang menyempatkan diri untuk merasakan kembali Lontong tek Sam. Sambil mengenang masa di SD di tepi jalan kareta api dulu. Karena rasa Lontong yang sama dengan buatan tek Sam tidak di ditemui di negri orang. Berawal dari menjual lontong, tek Sam akan menunaikan ibadah Haji.



Cerita ini ku persembahkan buat
Alumni SD Negri 2 Guguk atau SD Negri no. 26 Pasar Surau dimana pun berada.
Melukis kembali memory masa lalu jadi coretan oleh: Dedy H

Thursday, April 21, 2011

MARATON

Andung andung, gaek gaek bakaja bajalan ka arah surau batungkek jo ba lampu togok. Pai ka surau mangaja wukatu sumbayang subuah. Meski alah ado lampu listrik, tapi jalan jalan ka surau indak ado lampu penerangan di tiang tiang listrik. Kok ado ciek ciek bolanyo lah putuih indak ado nan ka mangganti. Tungkeknyo pacik di tangan suok, lampu togok di tangan kida, takah anduang Sapi, anduang Jalisah, anduang Insyah bakodek jo batikuluak tilakuang.

Suaro azan basahutan dari satiok tiok Surau pakai pangareh suaro. Bunyi gudencak anak anak kampuang jolong gadang nan lalok di surau alah jago maramian pulo suaro azan. Hari masih kalam. Cahayo jutaan bintang babintiak babintiak batebaran di langik indak cukuik untuak manarangi kalamnyo wukatu subuah.
Di tampek tampek wuluak surau, bakuncalacak lacak bunyi aie urang urang ma ambiak wuluak. Heboh bunyinyo di tambah nan gadang suaro mamakak.

Nan lalok di rumah Gadang indak ketinggalan pulo buncah cando samuik ka lua sarang pai ka surau. Bakaja kaja pacu capek. Nio capek sumbayang subuah, nio capek, sacapek nyo imam manyalasaian sumbayang subuah ba jama'ah.

Nan indak saba, sumbayang surang sajo di langkan musajik nan kalam. Balari pulang dulu atau lansuang pakai sipatu balari ka labuah. Ciek duo ado nan indak peduli urang rami ka surau ka sumbayang subuah, tapi nyo lah lari duluan ka labuah.

Di baliak bukik barisan alun tampak cahayo matohari ka macogok. Nan sumbayang subuah bajamaah tingga anduang anduang jo gaek gaek nan khusuak bazikie sampai iman salasai ba do'a.
Anak anak nan rami tadi ma ikui sumbayang, alah malipek kain saruang nyo surang surang, saruantunyo ondokan di suduik suduik surau, lansuang balarian pulo ka labuah. Alah indak saba sajak jago lalok tadi.

Hari alun tarang bana, masih agak kalam juo. Suaro azan subuah tadi alah di gantikan jo suaro ayam jantan bakukuak. Ambun ambun masih lakek mambasahi bamacam macam daun daunan. Di labuah lah rami anak anak mudo jolong gadang, laki laki padusi, barombong rombongan ka arah mudiak labuah. Karano hari libur sikola, hari Minggu.

Pado hal banyak nan bajalan kaki, balari sabanta sabanta, sudah tu bajalan pulo, sudah tu balarian pulo baliak sabara talok. Itulah namonyo maraton. Subanayo bukan maraton, mungkin istilah sajo. Karano indak ado kato kato nan cocok ka di sabuik an untuak kegiatan satiok minggu pagi tu. Mungkin cocoknyo lari pagi, tapi itu terlalu ba Indonesiakan bana Minangnyo. Antah sia pertamo kali nan manyabuiknyo mangko maraton, indak ado sejarahnyo nan mancataik.

Dari sekian banyak nan bajalan kaki, balari, bajalan, banyak juo nan sabana balari indak baranti ranti sampai ka Aie mancue. Si Satish jo kawan kawannyo misalnyo. Si Satish memang anaknyo suko balari. Kalau lah tujuah baleh Agustusan di kantue camaik, Satish acok sato batandiang maraton 10K. Inyo acok mambao namo sikola nyo lomba 10K di kecematan kecematan lain, bahkan Satish pernah sato lomba WisataTon tingkek umue nyo, karano urutan pemenangnyo sampai no 5 sajo, Satish indak masuak pemenang doh, karano Satish dapek urutan no 7.

Tujuan maraton tu kalau ditanyo ka dalam diri anak anak mudo tu adolah wukatu dan tampek untuak malapeh maso peralihan fase kehidupan dari ketek ka mudo, mudo ka dewasa, sambie balari pagi. Maso puber istilah urang phisikolog.

Capek capek nio balari ka labuah, balari sasudah sumbayang subuah, nio pai katampek nan maisi wukatu maso peralihan hidup sebagai manusia.

Sapanjang jalan labuah dari kampuang bagian ilie sampai kampuang paliang mudiak, nan jumlah rombongannyo banyak ado nan bapenca manjadi rombongan ketek ketek tigo sampai 5 urang. Icak icak latiah. Pado hal di mukonyo ado sakolompok nan padusi salah satunyo pujaan hati.

Oto lalu dari balakang manarangi jalan, basamo samo manapi saketek dakek ka tapi. Oto ketek nan lalu, larinyo kancang. Lalu pulo oto parah jo lampunyo nan tarang pulo, sanang hati. Oto parah lambek jalannyo, tarang lampunyo labiah lamo, labiah lamo pulo bisa mancaliak pujaan hati dari balakang. Itu lah bagi nan panakuik.
Nan bagak, basingajo mairiangi rombongan padusi dari sampiang. Balari basamo samo, baranti basamo samo. Tapi indak barani bairing baduo duo, barani dek basamo samo. alah bagak namonyo. Takuik, malu, dicaliak urang kalau maraton balari baduo duo. Kalau barombongan indak ketahuan bana. Cuma hati nan tau.

Wukatu subuah lah pai, kilau cahayo matohari saketek sangaik alah mancogok di puhun sekedar tarang sajo baru. Balari ma ayun langkah mandaki di jalan labuah. Badan saketek basah jo paluah. Jalan mandaki babelok di Bukik Tambun tulang. Malewati jalan labuah tapi bukik cagar alam subalah kida, jurang ba Batang anai di bawahnyo subalah suok. Udaro pagi taraso tawa dialam kaki gunuang Singgalang. Oto bus jo oto parah ciek ciek nan lalu. Indak saketek pulo rombongan anak laki laki nan subana balari maraton sampai ka Aie mancue.

Satish sampai balari di Aie mancue. Basuah muko, kumue kumue jo aie nan taraso es jatuah dari ateh bukik. Aie tajun jatuah ka lubuak nan babatu ma ambuihan angin mambao tampieh ka badan, manambah tawanyo pagi.

Satish jo kawan kawannyo babaliak ka bawah balari lari ketek. Ado nan sampai di Aie mancue ado nan indak. Sampai pakelokan bukik Tambun tulang, baliak liak ka ilie, nan sampai di simpang Malibou sajo ado juo.

Bajalan barami rami, bakelompok kelompok ka bawah baliak. Iko lah wukatunyo nan raso sanang di hati, nan mambahagiakan. Hari lah tarang, jaleh nan di caliak. Mancaliak dari balakang pujaan hati. Beda jo ka pai tadi, hari masih kalam, tarang kalau ado oto lalu.

Lah tibo di rombongan nan banyak rombongan Satis jo kawan kawan nyo, baranti balari. Bajalan pulo basamo samo. Satish urangnyo panakuik jo indak percaya diri ka kawan padusi. Pado hal inyo anak tamasuak pandai disikola. Jadi ketua kelas. Barani tampil di sikola untuak baprestasi, tapi indak barani dakek jo padusi. Kok padusi kawan biaso sajo lai indak takuik doh tapi padusi nan suko dihati manjadi lain bawaan nyo.
Di muko nyo sarombongan padusi bajalan ka ilie, ado si Putri di antaronyo. Satish mairiangi dari balakang. Jan kan ka ma ota sambie bajalan bairiang iriang, manyapo sajo lah manggaretek lutuangnyo.

"Dari pado manggaretek, beko indak bisa bajalan pulang, bialah iriangi sajo dari balakang, takah ko kan lah sanang juo hati" Baitu hati Satish bakato.

Sambie ma ota jo kawan samo gadang, hati di dalam sanang, ma ayun langkah ma ilie i labuah. Dari ateh si Idrus jo si Hendri balari, tibo dimuko rombongan Satish jo kawan kawan, inyo baranti. Bajalan, bagabuang bairiang jo rombongan si Putri.
Sia nan indak kasuko samo si Putri, urangnyo rancak, tinggi, rambuik panjang hiduang mancuang, kulik putiah. Pakai baju kaos langan panjang putiah, sarawa training panjang biru, sipatu olahraga putiah, rambuik panjangnyo bakabek takah ikue kudo bakaluakan di balakang panjapik topi di kapalonyo.

Hati Satish lansuang barubah, jantuang badabuak kancang mamompa darah ka kapalo. Paneh hati ko, angek sarupo aie di abuih sampai manggalagak. Matohari nan tampak tarang bacahayo seolah olah jadi kalam. Antah kalam hari ka hujan atau kalam karano masih malam. Antahlah. Saraso patuih manggalagak di langik nan tarang.
Ruponyo bungo nan dicaliak rancak, ado kumbang lain nan ka inggok, indak ciek kumbang di taman.

Badan lah latiah balari dari tadi subuah, batambah lenyoi mancaliak si Idrus jo si Hendri bajalan basamo si Putri. Padahal baru mancaliak caliak, alun pernah mangecekan kato hati ka si Putri. Apo dayo, indak bisa apo nan kadi pabuek.

Garah kawan mambao galak, di paso dari dalam hati. Ma ayun langkah pulang ka rumah. Di tapi labuah di pakeloan sabalun jambatan pasa Tembok di subalah suok, tampak palak tabu nan batangnyo alah patah patah jo nan tacabuik i. Sapanjang labuah bakalabuik an pulo sarok putiah putiah nan ruponyo sarabuik tabu ju kulik rambutan. Ado sakolompok anak laki laki basingajo wukatu hari masih kalam tadi baranti sabanta, balari singgah ka palak tabu urang tu jo batang rambutan urang.

Satish badannyo panek indak cuma karano balari, tapi mancaliak nan di caliak di iriangi kawan. Hari batambah tarang juo, nan masih jauah rumah nyo di ilie baliak naiak oto pulang. Oto ciek ciek nan lalu dari subuah, kini alah mulai banyak mangalasau. Bus bus antar propinsi alah masuak bajalan ka ilie. Satish bajalan maayun langkah nan taraso gontai takah mambao barang barek labiah barek dari oto dasun bainsuik insuik mandaki ka darek mambao barang ka galeh amak amak. atau oto parah nan maogok ogok mandaki Silaiang.

Ambun nan mambasahi rumpuik jo daun padi di tapi labuah alah kariang. Matohari bacahayo tarang bahagia manapakan badanyo, tapi Satish manyimpan hati nan sadiah marenungi kekurangannyo. Anak anak nan lalok di surau singgah dulu ma ambiah salimuik saruang nan ba ondokan disuduik suduik dalam surau. Tarang mato hari siap ka mangariangi baju sikola nan dibasuah hari minggu ko untuak ka di pakai bisuak pagi. Kalau Minggu pagi pakan ciek lai, kok lai rancak juo hari, Maraton pulo baliak.

Carito kenangan Oleh Dedy H