Tuesday, August 23, 2011

TANAH KELAHIRANKU (2)

Setiap orang tua tentulah bercita cita yang terbaik untuk anaknya. Tidak ada orang tua yang  tidak menginginkan anak nya hidup lebih baik dari dirinya. Misalnya orang tua yang berprofesi petani atau kuli tentu tidak akan pernah meinginkan anaknya menjadi petani  atau kuli.

Tetapi dari kecil kehidupan sebagai anak kampung dusun dan hidup dari orang tua petani, dan dari kecil sudah memepunyai tanggung jawab belajar bekerja membantu orang tua ke sawah, “apakah itu tandanya orang tua itu meinginkan anak nya jadi petani?”

Seperti rata rata di desaku dari orang tuanya sudah di beri tanggung jawab membantu orang tua mengerjakan pekerjan di sawah? Seperti diriku ini?
“Tidak”, tentu “tidak”.

Orang tua ku melakukan itu kepadaku karena keadaan. Meski usia masih anak anak bagiku tidak menjadi beban untuk melakukan itu.

Karena bila mendengar cerita masa kecil orang tuaku jauh lebih susah dari apa yang aku alami. Baik kehidupan apakku atau amakku.
 
                                             ------------

Dengan telapak kaki terlanjang tanpa sandal, kaki mungilku mengikuti langkah Apakku berjalan menelusuri jalan setapak di pingir jalan kareta api. Untuk bisa memiliki sandal jepit, “tarompa japang” namanya di saat usiaku masih kecil, belum masuk usia sekolah, adalah sesuatu sangat mahal bagi orang tuaku. Sehingga berjalan tanpa sandal sudah biasa bagiku.

Tanah pembatas antara pemilik perusahaan kareta api dengan tanah warga, di jadikan jalan setapak untuk melintas ke arah hilir menuju rumah nenekku, “andung”, orang tua apakku.  Tanah yang lebih tinggi posisinya dari jalur karata api itu, dan di kanan dan kiri jalan kareta itu mengalir air sangat jernih, begoyang goyang, berlari ke hilir mengariri sawah sawah.

“Mengapa kita berjalan saja menelusuri rel kareta itu pak?” Tanya ku ingi tahu.

“Berbahaya, nanti kalau kareta api datang tiba tiba, bisa ditabraknya kita” jelas apakku.
Mendengar kita bisa ditabrak kareta api, sangat mengerikan bagiku. Maka aku takut berjalan di rel kareta api.

Sebenarnya selain berbahaya, karean rel itu panas kena pansanya matahari dan juga banyak batu batu kerikil, jika aku berjalan di sana tentu lah akan membuat kakiku panas dan sakik kena batu karena tidak pakai sandal. Itu alasan yang tepat.

Di ujung jalan yang setapak, bertemu jalan agak lebar membentang timur dan barat. Di timurnya arah jalan raya besar, ku berjalan berbelok ke kanan ke arah barat, dan di ujung jalan lebar ini ku harus meniti sebuah jembatan.

Panjang jembatan ini mungkin lebih kurang 15 meter, menurun ke arah barat sepeti mau runtuh, tetapi tidak runtuh runtuh dan miring ke kanan, di bawahnya mengalir kecil air sungai batang kalu. Pemukaan sungai dengan jembatan ini cukup dalam jaraknya. Dengan ukuran badan di usiaku yang masih kecil sangat mengerikan dan menakutkan bagiku melintasi jembatan ini. Sebuah bahan besi tebal, yang berbentuk atap rumah seng yang ada alur alur untuk air hujan mengalir, itulah alas jembatan ini. Kalau bejalan di atas jembatan ini, telapak kaki kecilku ku ini bila diluruskan akan terjepit dan sakit antara dua lengkungan selokan  alas jembatan ini. Dadaku bergetar kencang, takut berguling dan jatuh ke dalam batang kalu. Pinggir jembatan ini juga tidak ada pembatas sebagai mengamannya, walau ada seutas kawat kecil tidak ada gunanya untuk berpegang, karena kawat itu tidak kuat, bisa bisa membuat kita jatuh.

“Miringkan telapak kaki itu ketika menginjak sengnya” jelas apakku sambil mencontohkan ke aku, sambil membimbingkku. 

Padahal hatiku ingin menagis, “merengek rengek”, ketakutan dan ngeri. Tapi aku tidak bisa mengungkapan ketakukan ku itu kepada apakku.

Meskinya anak seusia aku pantasnya digendong tapi apakku cukup memenggang tanganku dan membimbing aku. Mungkin ini bagian cara apakku mengajari aku dari kecil bahwa aku harus belajar mandiri, tidak boleh penakut dan cengeng, harus berani melewati tantangan. Dia sudah membantu aku dengan memegang tangan ku itu lebih dari cukup.

Di seberang jembatan ini di sebelah kanannya tedapat subuah surau, surau Batang Kalu namanya.  Ini adalah surau kaum suku Pisang, suku bakoku, karena apakku bersuku Pisang. Dari cerita yang ku ketahui suku Pisang ini bagiang dari suku Tanjung.

Jalan berbelok ke kiri memasuki kebun, atau “parak”. Kebun yang bersisi bermacam tanam tanaman, seperti durian, kopi, petai, dan sebagainya. Memasuku parak ini lagi lagi menakutkan juga bagiku, serasa aku memasuki hutan belantara, maklum aku masih kecil. Sepanjang parak ini terdengar sura bermacam burung bersahut sahutan menyapa. Ada beberapa jalan setapak ini melewati diantara dua buah dahan pohon yang rindang dan lebat. Jadi jalan setapak di bawah pohon buah “jambak” dan “kepundung” ini agak gelap. Dikiri kanan nya semak belukar setinggi badanku tumbuh subur, sesekali melangkah jantung ku berdebar di kejutkan oleh binatang bernama kadal (“bingkaruang” aku menyebutnya) melintas dari semak ke semak.
Menyeberangi dua jembatan dengan sebatang kayu pohon kelapa, di atas selokan sawah. Sebelum menempuh jalan mendaki diantara dua tebing yang pas untuk ukuran dua badan orang dewasa, ku di sapa percikan suara air jatuh dari atas bukit ke aliran irigasi sawah.

Jalan sempit antara dua tebing bertangga, beralasan batu batuan yang beberapa bagian sudah berlumut dan licin, harus pilih pilih untuk menginjaknya bila tidak ingin tergelincir. Diantara bebatuan itu dari atas merembes air tanah mengalir tidak pernah kering.

Dengan nafas sesak, capek mengikuti langkah apakku, dan sampai diatas dua tebing itu terus mendaki, menanjak, sampai di atas nya berbelok kekiri. Sampailah di dataran padang datar yang berumput hijau dan di tumbuhi pohon pohon kelapa di sekitarnya. Suara lenguh beberapa ekor sapi terikat di tengah padang yang datar ini menyapa kedatangan ku yang di gembalakan. 

Dari arah utara kelihatan di selatanya dari jauh satu rumah kayu tua berdinding anyamam banbu dan beratap seng. Melewati rumah tua itu agak kebelakang sedikit sebuah rumah kecil lagi, mungkin cocoknya di sebut pondok. Rumah kecil satu kamar tidur satu runag tamu yamg kecil juga dan dapur di belakangnya. Tapi apakku  menyebutnya rumah. Beratap “rumbia” atap yang terbuat dari anyaman daun sagu. Dindingnya dari anyaman bambu, dan tiang tiang nya hanya beberapa dari kayu, lainya dari bambu. Lantai rumah ini juga terbuat dari batang bambu yang sudah di pipihkan. Sehingga berjalan di atas rumah ini akan berayun ayun lantainya.

Itulah rumah andungku, rumah orang tua apakku. Aku selalu di bawa apakku ke rumah andungku ini dengan menempuh perjalanan yang penuh tantangan bagiku. Terutama sewaktu  hari Raya Idul Fitri, berpakaian baru kunjungan wajib ku pasti lah ke Padang Dateh melewati kebun kebun dan mendaki bukit.

Di bagian timur dataran ini kelihatan dataran lebih rendah di bawahnya terhampar sawah berpetak petak, dan jauh di bawah itu ada  jalan raya besar dan mobil kecil kecil hir mudik, dan juga jalan kareta api yang memanjang dari hilir ke mudik. Latar belakang dari pemandangan itu membentang bukit barisan di bagian paling timur.

Rumah atau pondok andungku dan sedikit padang rumput yang datar ini namanya Padang Diateh. Sebuah kampung peratara dusun pasar Surau dengan Padang Mantung. Kampung Padang Diateh ini memanjang utara selatan atau hilir mudik. Rumah andungku ini di Padang Diateh hilir namanya. Disinilah apakku lahir dan dibesarkan bersama tiga orang adiknya oleh orang tuanya. Dan di pondok itu.

Umumnya orang menyebutnya Padang Dateh. Singkatan Padang Diateh. Sudah lazim orang di kampungku ini kalau mengucapkan yang memungkinkan untuk dipersingkat akan dipersingkat. Sama seperti mereka manyebut “Padang Panjang”. Kebanyakan orang mengucapkannya menjadi  “Pamanjang”, kalau "Bukit Tinggi" menjadi "Kiktinggi", kalau "Pariaman" menjadi "Piaman", kalau "pai kama"(pergi kemana) menjadi "pi kama", kalau "sabanta ko" (sebentar ini)" menjadi "santa ko", kalau "Padang Lapai" menjadi "Suba..ang", (eh, kalau yang ini bukan disingkat tapi di ganti... hehehe...lucu ya?). Ya, begitu lah.

Padang Dateh ini bagian dari masa kecilku meski aku bukanlah lahir disini. Pak etekku, suami dari adik apakku selalu mengatakan aku ini anak orang Padang Dateh, karena katanya apakku orang Padang Dateh. Juga semua “bako” (semua saudara dari bapak atau sesuku dengan bapak) ku mengatakan aku orang Padang Dateh

Ku tidak mengerti kata pak etekku itu, “apa maksudnya”. “Amakku kan orang Cumangkung, aku ini tinggal bukan di Padang Dateh, aku tidak mau dikatakan orang Padang Dateh”. Begitu pikiranku, aku masih kecil.
Padahal maksudnya, bahwa dalam agama kita, seorang anak terlahir mengikuti garis keturunan bapak. Karena bapakku Padang Dateh maka aku dikatakanya orang Padang Dateh. “ya benar juga kalau begitu”. Aku juga bangga dikatakan orang Padang Dateh, memang disitu asal bapakku.

Sewaktu masa Sekolah Dasar, aku mengatakan “aku orang Cumangkung” ke teman teman sekolahku, sewaktu aku Sekolah Menegah di Kayu Tanam aku mengatakan “aku orang Pasar Surau Guguk” ke teman sekolah temanku. Sewaktu aku Sekolah Atas di kota Padang, aku mengatakan “aku orang Kayu Tanam” ke teman teman sekolahku. Ketika ku sudah merantau ke tanah Jawa, aku mengatakan “ aku orang Padang, orang Minang” ke teman teman kerjaku. Ketika aku ke luar dari Indonesia aku mengatakan “ aku orang Indonesia ke teman temanku yang bukan orang Indonesia”

Jadi aku ini, orang Cumangkung, Pasar Surau, Guguk, Kayu Tanam, Padang, Indonesia. Itulah tanah kelahiranku.




No comments:

Post a Comment