“Aduh” mukaku menyeringit sesekali mesin di tangan apak menjinjit
rambutku, ketika gigitan giginya belum tuntas memutus batang rambutku, karena
apakku mendorongya agak kekencangan.
Lalu apakku memperlambat dorongan tanganya dan mempercepat
gerakan jepitannya.
Kepalaku tertekan menunduk. Dingin dan sejuk rasanya ketika
perut mesin menyentuh kulit kepalaku.
Biasanya apakku memangkas rambut di samping kanan rumah.
Dengan peralatan, mesin pangakas tangan, gunting, sisir, botol kecil berisi air
sabun, sikat ijuk halus, pisau cukur, kain putih dan ikat pinggang kulit yang
sudah tidak terpakai untuk pengasah pisau cukur. Tukang pangkas rambut adalah pekerjaan
tambahan apakku sebagai tambahan untuk mendapatkan uang pembeli beras buat amak.
Biasanya pada hari jumat pagi, pelanggan apakku ada saja yang datang. Tetapi
saat memotong rambutkku pada hari itu dilakukan di bawah sebuah pohon jambu.
Pohon jambu yang rindang, daunnya lebat dari cabang-cabangnya.
Di depan
rumah sebelah kanan dan samping kanan agak kebelakang rumah ada sebatang –
sebatang pohon jambu air. Yang didepan sebatang lebih tua usianya dari pohon
yang dibelakang. Kedua pohon jambu itu tumbuh subur, daunnya rindang dan
rimbun, buahnya sangat lebat kalau musim berbuah.
Aku tahu pohon yang agak kebelakang itu hasil
cangkokan dari pohon yang didepan. Aku melihat sendiri uyangku yang mencangkoknya,
lalu menanamnya ke belakang setelah ada urat tumbuh dari batang cangkokan
dengan menggunakan serabut kelapa. Sebenarnya pohon itu tidak terlalu
kebelakang rumah betul. Dibelakang, tetapi sejajar dengan posisi dapur. Tidak
melewati batas dari belakang rumah. Kata Uyangku kalau memindahkan tanaman
pekarangan rumah dari depan ke belakang atau sebaliknya, maka si penghuni rumah
satu persatu akan sakit, dan sakitnya tidak akan bisa sembuh diobati. Lama
kelamaan satu persatu juga penghuni rumah akan meninggal. Istilah orang tua-tua
di kampungku menyebutnya “Talopantang”. Ini suatu keyakinan yang tidak benar
bahkan mengurangi keimanan dan ke-Tauhidan kita, setelah aku tahu dikemudian
hari.
Sewaktu uyangku menyampaikan tentang “Talopantang”
ini kepadaku, aku hanya berkata “oooo…”. Apalagi waktu itu aku masih kecil
belum lagi masa sekolah. Usiaku masih kurang dari enam tahun.
Kecuali obatnya harus mencabut kembali tanaman
yang telah ditanamanya.
Begitulah sebab adanya pohon jambu yang agak
dibelakang itu tumbuh dan tidak melewati batas rumah pada bagian belakang.
Pohon jambu itu sebagai saksi dalam sejarah hidupku awalnya aku akan memasuki
dunia sekolah. Dibeberapa ranting-ranting dari dahan jambu itu tempat
bersarangnya burung-burung pipit karena rindang. Setiap pagi datang, nyanyian
pagi dengan kokok ayam serta cicit suara burung pipit yang berumah di pohon jambu
itu ramai terdengar. Seiring meningginya mentari pagi suara riuh binatang pagi
itu menghilang lalu sunyi dengan berjalannya waktu. Nyanyian dan suara kokokan
serta cicitan akan datang lagi sejalan perputaran hari. Begitu seterusnya. Jika
musim berbuah kelelawar setiap malam akan berkunjung menikmati buahnya yang
manis, pagi hari akan banyak buah-buah jambu itu berjatuahan dan bekas gigitan
kelelawar.
Seperti biasa apakku memotong rambutku bila sudah panjang,
dengan tanda kalau rambut bagian depankku sudah mengenai alis mata. Meskipun
bagian belakang dan bagian atas rambut kepalaku tidak terlalu panjang. Badanku
diselimuti dengan sepotong kain agar potongan rambut tidak lengket ke baju. Aku
tidak suka dipotongin rambutnya oleh apakku. Karena model potongannya tidak
bagus menurutku. Tapi kata apakku bagus, dan bagus. Karena hampir setiap anak
kecil dan belum disunat di kampungku model pangkas rambutnya hampir sama. Kepala bagian belakang, samping kiri dan
kanan dipendekan sampai tinggal setengah senti atau bahkan licin seperti botak,
sedangkan bagian diatasnya masih ada rambut dengan ukurannya yang agak lebih
panjang dari pada bagian samping dan bagian belakang. Namanya pangkas tentara. Bagiku
setiap anak di pangkas seperti itu pertanda anak masih kecil dan belum sunat. Meskipun
aku benar benar masih kecil tetapi aku malu dipangkas seperti itu dan aku malu dikatakan
anak kecil.
“Di,… dedy…. dima ang?” dari arah depan rumah terdengar suara
anak laki-laki sebaya dan berteriak-teriak memanggilku seperti main petak umpat
saja karena teriakannya tidak dapat sambutan. Suara teman bermainku yang sudah
tak asing bagiku.
Aku susah menjawabnya, apakku menekan kepalaku kebawah,
leherku sedikit terjepit karena menekuk, apakku sedang memotong rambut bagian
belakang kepalaku.
“Disini disamping rumah belakang”, Apak menyahut.
“Ada apa?” teriak apakku.
Gedebag-gedebuk halus bunyi langkah lari telapak kaki kecil
menginjak tanah berumput disamping rumahku dari depan mendekat ke arahku.
Dengan nafas ngos-ngosan seperti orang di kejar penjahat.
“Dedy, dy,… dd….di” nafasnya satu satu sambil menyebut namaku,
membungkuk, kedua tanganya menupang lututnya seperti orang rukuk sholat. Karena
wajahku tertunduk ke tanah mengikuti aturan pangkas apakku. Padahal kalau pun
dia berdiri posisinya kepalanya sama dengan kepalaku karena aku duduk di kursi
setinggi perutnya.
Sedikit merunduk, masih ngos-ngosan dia melanjutkan
kalimatnya yang terputus, “Di, ayok , ayok sekolah, sekarang kita sudah bisa
masuk sekolah”. Aku belum menjawab
panggilanya dia sudah langsung memberitahu.
“Sekolah?” jawabku heran.
“Iya,..kita sudah bisa sekolah kata uda-uda, uni-uni ku”
dengan antusiasnya, sambil berdiri di depanku.
“Amakku bilang ajak kamu juga kalau mau sekolah, kitakan samo
gadang” menyampaikan pesan amaknya.
“Iya, tapi aku masih potong rambut nih” sahutku dengan kepala
dan leher posisi terbungkuk.
“Nanti ya, si Dedy masih potong rambut” bapakku menyetujui
ajakan nya.
Dia adalah si Ing panggilan akrabnya. Abah dan Amaknya
mengasih nama lengkapnya Rinaldi, tetapi aku memanggilnya Ing, mengikuti
kakaknya, karena kakaknya juga memanggil demikian. Si Ing tidak hanya teman
sepermainan dan sama besar denganku, namun juga badunsanak atau saudara.
“Kita itu badunsanak dengan keluarganya si Ing, karena kita
sesuku. Orang-orang yang satu suku dengan kita itu namanya dunsanak sasuku”
begitu pada suatu hari amakku menjelaskanya padaku.
Keluarga-keluarga di setiap rumah di kampungku yang saling
berdekatan rumah, biasanya bersaudara, yang disebut badunsanak. Badunsanak,
ialah untuk sebutan saudara yang ada ikatan darah, selain itu juga badunsanak digunakan
untuk sebutan saudara sesuku. Tetangga badunsanak ini karena sejarahnya dari
jaman dahulu di kampungku, dari nenek moyang kami. Mereka berasal satu
keluarga, ayah dan ibu yang mempunyai anak anak, hidup dalam rumah besar atau
rumah gadang diatas tanah pekarangan dan kebun yang luas. Khusus di kampungku
rumah gadang itu bukan seperti rumah gadang minang bearatap bergonjong umumnya.
Rumah gadang ini rumah kayu besar dan luas memanjang dari depan ke belakang sampai
dapur. Jaman dahulu, jarak rumah dengan rumah sampai puluhan meter atau ratusan
meter dengan tetangganya. Sejalan dengan berputar waktu, keluarga di atas rumah
gadang itu berkembang lalu menikah dan bekeluarga, maka tanah disekeliling
rumah itu dibagi -bagi. Kemudian keluarga-keluarga yang mendapat bagian itu
membangun rumah untuk keluarganya masing
masing. Begitu seterusnya sampai turun temurun berdiri rumah- rumah disekitarnya
berdekatan. Dimana penghuni rumah tersebut masih ada hubungan keluarga kalau diurut
turunannya keatas. Masih satu nenek atau kata amakku “sa anduang”. Dunsanak
sesuku inilah yang diceritakan amakku,”kita sekeliling rumah ini semuanya
sesuku”
Garis keturunan Minang menurut matrilineal menurut keturunan
ibu, maka dari itu di sebut senenek atau sa anduang.
Begitulah antara rumahku dengan rumah si Ing bertetangga
dengan jarak beberapa meter di batasi sebidang kebun. Yang terdekat, seusia,
jadilah dia teman mainku sehari-hari selain dua adik ku si Al dan si Wel yang
masih bayi.
Teman sebaya dengan aku dan yang badunsanak, ada juga si Rudi,
si Men adik si Rudi dan si Jum selain si Ing. Tetapi aku akrabnya hanya dengan
si Ing. Rudi dan Men anak yatim, mereka diasuh oleh andungnya. Ibu si Rudi
meninggal ketika melahirkan si Men, si Men diberinama oleh kakak ibunya dengan
nama lengkap Alirmen, artinya anak lahir ibu meninggal. Usia si Men hampir sama
dengan adikku si Al yang nomor dua.
Diantara kami berempat sebaya, Rudi, Ing, Jum dan aku, yang
paling kecil umurnya adalah aku. Yang paling besar si Jum, kemudian si Ing. Karena
si Jum anak perempuan, maka aku tidak akrab bermaian dengannya. Nama lengkapnya
Zulhelmita, dia juga anak yatim, ketika si
Jum masih kecil sudah ditinggal oleh ayahnya. Lalu si Rudi, dan terkecil aku. Kami lahir
hanya berbeda bulan. Amak yang paling muda diantara ibu-ibu kami adalah amakku.
Cerita amakku bahwa sewaktu aku dalam kandungan, amakku sudah mempersiapkan
nama aku kalau lahir nanti, dengan nama, Rudi. Tetapi amaknya si Rudi lebih
duluan melahirkan beberapa hari dari amakku, kemudian amaknya si Rudi memberi
nama Rudi ke bayinya. Akhirnya amakku pengganti nama yang sudah disiapkan untuk
bayinya ketika aku lahir.
Tentang sekolah, aku tahu dari cerita si Ing suatu ketika
bermain-main denganku. Si Ing mengerti lebih dulu karena dia anak bungsu. Dari
mengerti melihat kakaknya dan di kasih tahu olek kakaknya. Dia mempunyai
kakak-kakak banyak yang sudah bersekolah
semua, bahkan udanya sudah ada yang sekolah di SMA. Tinggal dia satu satunya
yang belum sekolah dikeluarganya. Abahnya, begitu dia menyebut ayahnya, adalah seorang
pegawai negeri di dinas pendidikan dan kebudayaan. Amaknya ibu seorang rumah
tangga.
“Di, sekolah itu enak tau, kalau sudah sekolah tiap hari
dapat uang jajan, banyak teman bermain, pakai baju dan pakai sepatu. Seperti
uda-uda dan uni-uniku.” Dengan mata berbinar-binar si Ing menceritakan pengetahuannya tentang
sekolah padaku sambil bermain-main tanah di halaman rumah si Jum pada suatu
hari.
“Wah,..enak ya, bisa pakai sepatu setiap hari dan dapat uang
jajan?” ku memastikan pengetahuannya.
“Iya” dia menyakinkan ku.
Ya, aku ingat kembali cerita si Ing tentang sekolah,
sebenarnya aku sudah lupa tentang itu. Hari ini si Ing memutar memoriku lagi yang
masih tersimpan dalam ingatanku.
Pergerakan leher dan kepalaku belum bisa bebas. Bapakku belum
selesai memotong rambutku. Aku masih dalam aturan pangakasan rambut apakku. Ku
mendelikkan bola mataku ke atas untuk bisa menatap si Ing yang tidak sabar
menungguku. Aku membayangkan pakai sepatu. Sesuatu barang mewah yang bisa aku
pakai tiap hari nantinya. Karena, jagankan sepatu, sandal jepit saja aku hampir
tidak pernah memakainya. Apak dan Amakku mana mungkin mampu untuk membelinya. Tetapi
aku sudah punya sepatu yang di beli amak hari raya kemarin. Sudah bekas dan
tidak baru lagi. Tapi masih cukup di kakiku. Biasanya amakku begitu, membeli
sesuatu yang aku pakai seperti baju atau sepatu, dia akan memilihnya diatas
ukuran aku, katanya bisa dipakai tahan lama. Bukan tahan lama karena barangnya
berkwalitas bagus atau mahal, tetapi pertimbangan amakku, kalau ukuran badanku bertambah setahun lagi
pakaian itu masih muat aku pakai.
Sepatu itu masih disimpan amakku, barang mewah itu akan dipakai
kalau tujuan pergi-pergi. Misalnya bila pergi ke pasar di kota Padang Panjang.
“Kalau sekolah nanti, aku bisa pakai sepatu tiap hari, wah
enaknya?” khayalanku dengan persaan senang.
“Ayo pak, sudah selesai belum pangkasnya?” desakku, kakiku
mengantung duduk dikursi pangkas ku ayun-anyunkan.
Apakku sudah tidak memegang mesin pangkas rambut lagi.
Sreseng-seng bunyi gunting antara dua matanya beradu memotong ujung ujung
rambutku yang dimainkan apakku. Potonganya tinggal merapikan bagian atas nya
saja.
“Sebentar lagi” apakku terus memainkan guntingnya.
“Ayo di, amakku sudah menunggu, aku akan diantar amakku
sekolah” si Ing dengan semangatnya, tidak sabar menunggu aku.
“Iya ing, aku mau sekolah, tunggu aku ya”, aku pun sudah
tidak sabar capet selesai potong rambutnya.
“Ya udah, aku pulang dulu, mau ganti baju, dan pakai sepatu,
aku tunggu kamu di rumah ku” si Ing membalikkan badannya lalu meancang-ancang
seperti orang mau pacu lari. Kemudian kakinya melenting lenting lagi berlari
meninggalkan aku.
Tidak berapa lama si Ing pergi, apak selesai memangkas
rambutku.
“Amak,…. Amak,… mak!” teriakku dengan tidak sabar untuk pergi
sekolah bersama si Ing. Aku memanggil amak sambil berlari ke dapur menghampirinya.
“ya, ada apa?” sahut amakku sambil menggiling cabe tanpa
menolehku.
“Mak, ayo antarin aku ke sekolah, kata si Ing hari ini orang
orang sekolah, aku sudah bisa sekolah katanya” jelas ku.
Tangan amakku tidak lepas memegang anak batu cabe mengesek-geskannya
ke induk batu yang berisi cabe sambil duduk di bangku kecil di lantai dapur
untuk merobahnya menjadi sambal lado.
Khayalanku sudah terbang melambung tinggi membayangkan aku
sekolah, bisa pakai sepatu tiap hari, pakai baju seragam dan bermain dengan
banyak teman lalu dapat uang jajan. Aku belum mengerti apa itu sesungguhnya
sekolah. Umurku sudah beranjak tujuh tahun, bagiku sekolah itu tempat bermain
yang menyenangkan dan bagus. Bermainnya tidak lagi di rumah, lari lari kesana
kemari sekeliling rumah rumah dengan kaki telanjang tanpa sandal dan tidak lagi
digelari anak-anak lagi oleh kakak teman bermainku. Jadi selain menyenangkan
menurutku sekolah akan merobah predikat dengan julukan anak-anak menjadi anak yang
sudah besar. Aku merasa bangga kalau dikatakan sudah besar. Perasaannya kalau
dikatakan sudah besar adalah suatu kebanggan bagiku.
Tetapi yang tidak aku mengerti kata uda uda uni-uni
sekelilingku, suatu hari pernah mengatakan kalau mau sekolah syaratnya salah
satu tanganku harus bisa memegang daun telinga dengan cara melingkarkan tangan
keatas kepala, kemudian telapak tanganku bisa memegang daun telinga. Aku di
tesnya melakukan seperti itu. Badanku yang kurus kecil, tangan masih pendek,
otomatis aku tidak bisa melakukan itu. Aku coba berkali kali, tapi tetap saja tidak
bisa, tanganku tidak sampai memegang daun telinga. Memang sebenarnya pertumbuhan
tubuhku belum bisa melakukan hal seperti itu.
“Ha,,ha…ha…kamu masih kecil, belum bisa masuk sekolah”
uda-uda uni-uni mencandain aku, meledek, dan mengerjai aku yang masih polos.
Begitu juga kalau berhitung, mereka mentertawai aku, karena aku hanya bisa
menghitung sampai sepuluh.
“Kalau kamu bisa berhitung sampai seratus baru bisa masuk
sekolah, kalau anak yang belum sekolah berarti masih kecil” jelas mereka.
“Yah, aku mana bisa menghitung sampai sepuluh” dengan rasa
sakit hati aku di bilangin seperti itu.
Syukur aku bisa berhitung sampai sepuluh, itu karena ikut-ikutan
si Ing atau si Jum. Si Jum juga anak
bungsu, kakak-kakaknya ada yang mengajarin, seperti si Ing. Kalau aku, siapa
yang akan mengajari? Aku tidak punya
kakak, amak dan apakku mana mungkin, dia
sibuk terus mencari yang akan dimakan. Aku hanya dilepas bermain dan bermain.
“Kamu masih kecil,” kalimat yang menyakitkan dan menyebalkan
bagi aku. Aku akan bangga jika dikatakan sudah besar. Aku mau cepat besar. Kalau
sudah besar, artinya aku bisa bermain bersama uda-uda dan uni-uni.
Begitu si Ing memberitahu dan mengajakku untuk sekolah, aku
benar-benar tidak sabar lagi, agar amak mengantarkan aku secepatnya sekolah. Biar
nanti aku tidak dianggap anak kecil lagi.
Sehingga aku sudah lupa yang dicandain uda-uda dan uni-uni teman mainku bahwa
syaratnya masuk sekolah itu tangan harus bisa memegang daun telinga ketika
salah satu tangan dilingkarkan ke atas kepala, dan bisa berhitung lebih dari
sepuluh.
“Mak, lama benar sih? ayolah cepat, nanti terlambat, si Ing
sudah menunggu tu” rengekku.
“Iya, iya tunggulah sebentar lagi selesai, amak selesaikan
membuat sambal lado ini” sambil tangannya terus menggoyang maju mundur anak
batu cabe.
Ketidak sabaran ku hilang ketika amakku bilang ”Ayolah, ganti
baju”.
“Horeee,…” dalam hatiaku berteriak, melonjak kegirangan.
“Mana baju yang akan di pakai mak?” aku mengusai tumpukan
baju-bajuku dikamar yang tidak pernah dilipat apalagi disterika.
“Pakai yang ini!” Amakku mengeluarkan baju dari lemari.Lemari
baju kayu, tempat menyimpan pakaian yang dipakai katergori sesekali. Seperti
kain sarung sembayang apakku, baju kebaya amakku dipakai ketika pergi baralek
dan bajuku dengan adikku yang dianggap paling bagus.
“Itukan baju hari raya mak, itu bukan baju sekolah, kata si
Ing baju sekolah itu putih dan celana merah” protesku.
“Tidak apa-apa baju ini saja dulu untuk sementara, nanti
kalau apak sudah punya uang, baru kita beli baju sekolah” bujuk amakku.
Aku menurut saja tanpa keberatan, memang itu baju terbagus
yang aku punnya, kaos coklat belang belang dengan coklat tua dan coklat muda. Amakku
memakaikan celana pendek yang warnanya coklat juga. Celana itu didapat dari
pemberian orang. Amakku sering dikasih pakaian pakaian bekas orang lain
disekitar kampungku. Pakaian yang sudah tidak dipakai lagi oleh pemiliknya
karena sudah kecil tapi masih layak pakai. Kalau ada orang memiliki pakaian
bekas untuk dibagi-bagikan maka pilihannya, ke amakku orang yang layak di beri.
Keluarga miskin dan tidak mampu.
Aku sangat senang sekali. Pakai sepatu kain bewarna hitam,
baju kaos coklat yang ku pakai untuk lebaran yang lalu. Rambutku yang hanya
tersisa di bagian atasnya saja dan berdiri, tegak seperti ijuk karena sudah dipendekan
apakku jadi tidak perlu disisir lagi. Bagian
samping kanan, kiri dan belakang kepalaku sudah licin tanpa berambut. Warna
kulit kepalanya yang menyatu dengan kulit leher dibedakan dengan warnanya saja.
Kalau di bagian tidak berambut, jika diusap-usap serasa sikat kain kasar dengan
bulu-bulunya yang kasar. Apakku tidak pernah mengerti protesku, ketidak sukaan ku
potong rambut model pangkas tentara katanya ini. Aku benci kepalaku seperti
ini, karena akan dikategorikan “aku anak kecil”.
Potongan rambut itu yang membuat identitasku masih anak-anak
kata uda-uda dan uni-uni. Aku tidak mau, tapi tidak bisa menuntutnya ke apak.
Padahal usia tujuh tahun bagi orang-orang tua, seperti apak dan amak tentulah
aku memang masih kecil.
Sampai disekolah. Dikemudian
hari aku tahu, sekolahku, SD Negeri 2 Guguk, tidak ada orang bersekolah hari
itu. Ruangan sekolah yang pintunya buka hanya satu ruangan bagian pertama.
Dalam ruangan itu ada tiga orang guru didalamnya. Dua
ibuk-ibuk dan satu orang bapak. Bapak itu badannya gemuk besar dan gendut. Setelah
aku sekolah kemudian aku tahu itu adalah bapak kepala sekolah, namanya bapak
Dinar.
“Silahkan masuk buk” begitu ibu-ibu itu menyambut kami
setelah menjawab salam. Amak dan amak si Ing sudah kenal dan akrab dengan ibu
itu.
Aku hanya diam sambilmemperhatikan
disekelilingku dalam ruangan itu yang ada lemari dipenuhi buku-buku. Bagian
depan bukunya tidak tampak, disusun berdiri kelihatan warna-warni tebal dan
tipis tegak. Ada satu set kursi tamu dari rotan yang dibingkai lengan dan
kakinya tebuat dari kayu tempat kami
duduk. Didinding bagian tas dibelakang tempat duduk bapak gemuk besar itu ada
dua foto bapak-bapak, di tengahnya gambar burung dengan sayap membentang kanan dan
kiri. Didada burung itu ada gambar yang tidak aku mengerti, belakangan setelah
aku sekolah aku mengerti, bahwa itu foto presiden dan wakilnya serta lambang
Negara Republik Indonesia.
“Namanya siapa?” Tanya salah seoarang ibu guru itu, sambil membuka buku besar dan
tebal.
“Dedy, bu” jawabku malu-malu dan senang.
“Saya Rinaldi buk” si Ing menjawab pertanyaan ibu itu tanpa
ditanya.
Ibu guru itu senyum menjawab “iya, Rinaldi ya”.
Selanjutnya ibu itu bertanya kepada amak si Ing dan amak
bergantian, menanyakan tanggal lahirku, pekerjaan apak dan amak, dan sebagainya. Kulihat ibu itu sambil memegang pena
mengerakanya di atas buku besar dan tebal itu, di ujung pena itu tergores
berbentuk tali-tali seperti coretan tetapi rapi, yang aku tidak mengerti apaan
itu.
“Mana orang sekolah?” batinku bertanya-tanya penasaran.
Aku tidak tahu apa dalam pikiran si Ing, katanya kita bisa
sekolah hari ini.
“Dimana tempat mainya?” dalam hati aku menegok keluar kaca
nako ruangan itu.
Wajah si Ing sesekali melirikku tanpa bicara, diam, senang-senang
saja disamping amaknya yang lagi berbicara dengan ibu-ibu guru dan bapak dalam
ruangan itu begantian dengan amakku.
“Yok pulang” begitu amak si Ing mengajak dan beranjak keluar
ruang yang dikatakan si Ing itu, adalah sekolah. Begitu ibu guru bilang “Sudah
selesai”.
“Kok pulang?” dalam hati aku heran. Aku merasa kecewa. Serasa
dibohongisi Ing.Ku perhatikan si Ing tanpa bersalah dan tampak biasa-biasa saja
untuk balik pulang.
“Mak, kita kemana sekarang?” aku memastikan ajakan amak si
Ing.
“ Pulang?” kata amakku singkat terus melangkah.
“Kok Pulang?, kenapa pulang?, katanya aku bisa sekolah”
protesku mengikuti langkah amakku.
Aku heran menatap, kepalaku mendongak ke atas memperhatikan
wajah amakku berbicara sambil jalan meninggalkan halaman sekolah.
“Nanti sekolahnya bulan depan”, amakku meneruskan penjelasannya.
“Apaan itu bulan depan”, hatiku berkata, aku tidak berani
menanyakannya, aku bingung. Kalau bertanya lagi membuat aku bertambah bingung,
lalu aku diam dengan penuh Tanya mengikuti langkah amak pulang ke rumah.
“Hari ini kita datang ke sekolah itu, untuk mendaftar dulu”
amakku menenangkan pikiranku seolah-olah dia mendengar perkataan hatiku.
“Ah,..mendaftar?, apaan
lagi itu namanya mendaftar? tadi itu cuma ngobrol-ngobrol sama ibu guru itu,
amak di tanya-tanya.” Dalam hati aku tambah tidak mengerti.
Si Ing ku perhatikan diamsaja, dia menurut saja.Sepertinya
dia senang-senang saja.Kedatangan ke sekolah tadi itu sudah sangat menyenangkan
baginya. Mungkin dia sudah mengerti tadi itu mengapa dan untuk apa, dan paham
apa itu namanya mendaftar yang dijelaskan amakku. Dia berjalan lebih dulu
beberapa langkah sambil melonjak lonjak lalu memukul-mukul daun rumput yang
sedikit tinggi tumbuh di tepi jalan yang kami lalui. Seperti orang bersalaman
saja.
Di usiaku yang akan memasuki masa usia sekolah dasar, hanya
bermain yang aku mengerti. Belum paham apaan itu sebenarnya sekolah dan untuk
apa. Sudah tujuh tahun usiaku. Bermain, sesuatu yang sangat menyenangkan dan
suatu kepuasan dalam hidupku.
Di kampungku para orang tua umumnya belum mengenal namanya
sekolah Taman Kanak-kanak yang disebut sekolah TK. Ada beberapa orang tua yang
tahu, tapi tidak ada yang memasukanya ke sana sebelum masuk usia Sekolah Dasar.
Di kampungku dalam Nagari yang terdiri empat desa belum ada sekolah Taman Kanak
Kanak. Adanya di nagari Kayu Tanam, jaraknya dua kilometer dari desaku. Jarak
yang cukup jauh, dibandingkan kalau sekolah di SD hanya beberapa meter dan
cukup dengan jalan kaki. Sekolah Taman Kanak-Kanak itu pun biayanya cukup besar
bagi orang tuaku, ada jemputannya disediakan sekolah. Biayanya lebih besar dari
biaya sekolah SD. Sesuatu yang mustahil bagi orang tuaku menyekolahkan aku
disana, menurut orang tuaku, itu namanya mebuang-buang uang. Sedangkan uang
untuk beli beras dan lauk pauk sehari-hari saja susah sekali mendapatkanya,
bahkan harus berhutang kalau sudah tidak punya apa-apa untuk dimakan. Belum lagi kalau orang tua menyekolahkan
anaknya di Taman Kanak-Kanak akan menyita waktu pagi hari, harus menyiapkan
anak, mengantarkan ke tempat jemputan. Sedangkan orang tuaku pagi-pagi sekali
harus cepat-cepat pergi ke sawah atau ke sawah orang untuk menerima upah.
Bagi orang tua yang mungkin mampu juga tidak ada yang
memasukan anaknya sekolah ke TK itu. Rata rata orang tua di kampungku enggan
menyekolahkan anaknya ke TK. Tanpa TK juga anak-anak mereka bisa lansung
sekolah di Sekolah Dasar, begitu pendapat mereka.
(bersambung ke Ceritaku berikutnya)
(bersambung ke Ceritaku berikutnya)
No comments:
Post a Comment