Friday, April 27, 2012

MENDAFTAR MASUK SEKOLAH

Mesin rambut manual tua itu menjelajahi kepalaku maju naik keatas berulang ulang yang digerakan tangan apakku. Denyit derik giginya begitu cepat memotong helai-helai dari pangkal rambutku. Lumayan masih berfungsi dengan bagus karena selalu diolesi pelumas dari minyak makan.

“Aduh” mukaku menyeringit sesekali mesin di tangan apak menjinjit rambutku, ketika gigitan giginya belum tuntas memutus batang rambutku, karena apakku mendorongya agak kekencangan.

Lalu apakku memperlambat dorongan tanganya dan mempercepat gerakan jepitannya.
Kepalaku tertekan menunduk. Dingin dan sejuk rasanya ketika perut mesin menyentuh kulit kepalaku.

Biasanya apakku memangkas rambut di samping kanan rumah. Dengan peralatan, mesin pangakas tangan, gunting, sisir, botol kecil berisi air sabun, sikat ijuk halus, pisau cukur, kain putih dan ikat pinggang kulit yang sudah tidak terpakai untuk pengasah pisau cukur. Tukang pangkas rambut adalah pekerjaan tambahan apakku sebagai tambahan untuk mendapatkan uang pembeli beras buat amak. Biasanya pada hari jumat pagi, pelanggan apakku ada saja yang datang. Tetapi saat memotong rambutkku pada hari itu dilakukan di bawah sebuah pohon jambu. Pohon jambu yang rindang, daunnya lebat dari cabang-cabangnya.

Di depan rumah sebelah kanan dan samping kanan agak kebelakang rumah ada sebatang – sebatang pohon jambu air. Yang didepan sebatang lebih tua usianya dari pohon yang dibelakang. Kedua pohon jambu itu tumbuh subur, daunnya rindang dan rimbun, buahnya sangat lebat kalau musim berbuah.

Aku tahu pohon yang agak kebelakang itu hasil cangkokan dari pohon yang didepan. Aku melihat sendiri uyangku yang mencangkoknya, lalu menanamnya ke belakang setelah ada urat tumbuh dari batang cangkokan dengan menggunakan serabut kelapa. Sebenarnya pohon itu tidak terlalu kebelakang rumah betul. Dibelakang, tetapi sejajar dengan posisi dapur. Tidak melewati batas dari belakang rumah. Kata Uyangku kalau memindahkan tanaman pekarangan rumah dari depan ke belakang atau sebaliknya, maka si penghuni rumah satu persatu akan sakit, dan sakitnya tidak akan bisa sembuh diobati. Lama kelamaan satu persatu juga penghuni rumah akan meninggal. Istilah orang tua-tua di kampungku menyebutnya “Talopantang”. Ini suatu keyakinan yang tidak benar bahkan mengurangi keimanan dan ke-Tauhidan kita, setelah aku tahu dikemudian hari.
Sewaktu uyangku menyampaikan tentang “Talopantang” ini kepadaku, aku hanya berkata “oooo…”. Apalagi waktu itu aku masih kecil belum lagi masa sekolah. Usiaku masih kurang dari enam tahun.
Kecuali obatnya harus mencabut kembali tanaman yang telah ditanamanya.

Begitulah sebab adanya pohon jambu yang agak dibelakang itu tumbuh dan tidak melewati batas rumah pada bagian belakang. Pohon jambu itu sebagai saksi dalam sejarah hidupku awalnya aku akan memasuki dunia sekolah. Dibeberapa ranting-ranting dari dahan jambu itu tempat bersarangnya burung-burung pipit karena rindang. Setiap pagi datang, nyanyian pagi dengan kokok ayam serta cicit suara burung pipit yang berumah di pohon jambu itu ramai terdengar. Seiring meningginya mentari pagi suara riuh binatang pagi itu menghilang lalu sunyi dengan berjalannya waktu. Nyanyian dan suara kokokan serta cicitan akan datang lagi sejalan perputaran hari. Begitu seterusnya. Jika musim berbuah kelelawar setiap malam akan berkunjung menikmati buahnya yang manis, pagi hari akan banyak buah-buah jambu itu berjatuahan dan bekas gigitan kelelawar.

Seperti biasa apakku memotong rambutku bila sudah panjang, dengan tanda kalau rambut bagian depankku sudah mengenai alis mata. Meskipun bagian belakang dan bagian atas rambut kepalaku tidak terlalu panjang. Badanku diselimuti dengan sepotong kain agar potongan rambut tidak lengket ke baju. Aku tidak suka dipotongin rambutnya oleh apakku. Karena model potongannya tidak bagus menurutku. Tapi kata apakku bagus, dan bagus. Karena hampir setiap anak kecil dan belum disunat di kampungku model pangkas rambutnya hampir sama.  Kepala bagian belakang, samping kiri dan kanan dipendekan sampai tinggal setengah senti atau bahkan licin seperti botak, sedangkan bagian diatasnya masih ada rambut dengan ukurannya yang agak lebih panjang dari pada bagian samping dan bagian belakang. Namanya pangkas tentara. Bagiku setiap anak di pangkas seperti itu pertanda anak masih kecil dan belum sunat. Meskipun aku benar benar masih kecil tetapi aku malu dipangkas seperti itu dan aku malu dikatakan anak kecil.

“Di,… dedy…. dima ang?” dari arah depan rumah terdengar suara anak laki-laki sebaya dan berteriak-teriak memanggilku seperti main petak umpat saja karena teriakannya tidak dapat sambutan. Suara teman bermainku yang sudah tak asing bagiku.

Aku susah menjawabnya, apakku menekan kepalaku kebawah, leherku sedikit terjepit karena menekuk, apakku sedang memotong rambut bagian belakang kepalaku.
“Disini disamping rumah belakang”,  Apak menyahut.
“Ada apa?” teriak apakku.

Gedebag-gedebuk halus bunyi langkah lari telapak kaki kecil menginjak tanah berumput disamping rumahku dari depan mendekat ke arahku. Dengan nafas ngos-ngosan seperti orang di kejar penjahat.

“Dedy, dy,… dd….di” nafasnya satu satu sambil menyebut namaku, membungkuk, kedua tanganya menupang lututnya seperti orang rukuk sholat. Karena wajahku tertunduk ke tanah mengikuti aturan pangkas apakku. Padahal kalau pun dia berdiri posisinya kepalanya sama dengan kepalaku karena aku duduk di kursi setinggi perutnya.

Sedikit merunduk, masih ngos-ngosan dia melanjutkan kalimatnya yang terputus, “Di, ayok , ayok sekolah, sekarang kita sudah bisa masuk sekolah”.  Aku belum menjawab panggilanya dia sudah langsung memberitahu.

“Sekolah?” jawabku heran.

“Iya,..kita sudah bisa sekolah kata uda-uda, uni-uni ku” dengan antusiasnya, sambil berdiri di depanku.

“Amakku bilang ajak kamu juga kalau mau sekolah, kitakan samo gadang” menyampaikan pesan amaknya.

“Iya, tapi aku masih potong rambut nih” sahutku dengan kepala dan leher posisi terbungkuk.

“Nanti ya, si Dedy masih potong rambut” bapakku menyetujui ajakan nya.

Dia adalah si Ing panggilan akrabnya. Abah dan Amaknya mengasih nama lengkapnya Rinaldi, tetapi aku memanggilnya Ing, mengikuti kakaknya, karena kakaknya juga memanggil demikian. Si Ing tidak hanya teman sepermainan dan sama besar denganku, namun juga badunsanak atau saudara.

“Kita itu badunsanak dengan keluarganya si Ing, karena kita sesuku. Orang-orang yang satu suku dengan kita itu namanya dunsanak sasuku” begitu pada suatu hari amakku menjelaskanya padaku.

Keluarga-keluarga di setiap rumah di kampungku yang saling berdekatan rumah, biasanya bersaudara, yang disebut badunsanak. Badunsanak, ialah untuk sebutan saudara yang ada ikatan darah, selain itu juga badunsanak digunakan untuk sebutan saudara sesuku. Tetangga badunsanak ini karena sejarahnya dari jaman dahulu di kampungku, dari nenek moyang kami. Mereka berasal satu keluarga, ayah dan ibu yang mempunyai anak anak, hidup dalam rumah besar atau rumah gadang diatas tanah pekarangan dan kebun yang luas. Khusus di kampungku rumah gadang itu bukan seperti rumah gadang minang bearatap bergonjong umumnya. Rumah gadang ini rumah kayu besar dan luas memanjang dari depan ke belakang sampai dapur. Jaman dahulu, jarak rumah dengan rumah sampai puluhan meter atau ratusan meter dengan tetangganya. Sejalan dengan berputar waktu, keluarga di atas rumah gadang itu berkembang lalu menikah dan bekeluarga, maka tanah disekeliling rumah itu dibagi -bagi. Kemudian keluarga-keluarga yang mendapat bagian itu membangun rumah  untuk keluarganya masing masing. Begitu seterusnya sampai turun temurun berdiri rumah- rumah disekitarnya berdekatan. Dimana penghuni rumah tersebut masih ada hubungan keluarga kalau diurut turunannya keatas. Masih satu nenek atau kata amakku “sa anduang”. Dunsanak sesuku inilah yang diceritakan amakku,”kita sekeliling rumah ini semuanya sesuku”
Garis keturunan Minang menurut matrilineal menurut keturunan ibu, maka dari itu di sebut senenek atau sa anduang.

Begitulah antara rumahku dengan rumah si Ing bertetangga dengan jarak beberapa meter di batasi sebidang kebun. Yang terdekat, seusia, jadilah dia teman mainku sehari-hari selain dua adik ku si Al dan si Wel yang masih bayi.
Teman sebaya dengan aku dan yang badunsanak, ada juga si Rudi, si Men adik si Rudi dan si Jum selain si Ing. Tetapi aku akrabnya hanya dengan si Ing. Rudi dan Men anak yatim, mereka diasuh oleh andungnya. Ibu si Rudi meninggal ketika melahirkan si Men, si Men diberinama oleh kakak ibunya dengan nama lengkap Alirmen, artinya anak lahir ibu meninggal. Usia si Men hampir sama dengan adikku si Al yang nomor dua.
Diantara kami berempat sebaya, Rudi, Ing, Jum dan aku, yang paling kecil umurnya adalah aku. Yang paling besar si Jum, kemudian si Ing. Karena si Jum anak perempuan, maka aku tidak akrab bermaian dengannya. Nama lengkapnya  Zulhelmita, dia juga anak yatim, ketika si Jum masih kecil sudah ditinggal oleh ayahnya.  Lalu si Rudi, dan terkecil aku. Kami lahir hanya berbeda bulan. Amak yang paling muda diantara ibu-ibu kami adalah amakku. Cerita amakku bahwa sewaktu aku dalam kandungan, amakku sudah mempersiapkan nama aku kalau lahir nanti, dengan nama, Rudi. Tetapi amaknya si Rudi lebih duluan melahirkan beberapa hari dari amakku, kemudian amaknya si Rudi memberi nama Rudi ke bayinya. Akhirnya amakku pengganti nama yang sudah disiapkan untuk bayinya ketika aku lahir.

Tentang sekolah, aku tahu dari cerita si Ing suatu ketika bermain-main denganku. Si Ing mengerti lebih dulu karena dia anak bungsu. Dari mengerti melihat kakaknya dan di kasih tahu olek kakaknya. Dia mempunyai kakak-kakak  banyak yang sudah bersekolah semua, bahkan udanya sudah ada yang sekolah di SMA. Tinggal dia satu satunya yang belum sekolah dikeluarganya. Abahnya, begitu dia menyebut ayahnya, adalah seorang pegawai negeri di dinas pendidikan dan kebudayaan. Amaknya ibu seorang rumah tangga.

“Di, sekolah itu enak tau, kalau sudah sekolah tiap hari dapat uang jajan, banyak teman bermain, pakai baju dan pakai sepatu. Seperti uda-uda dan uni-uniku.” Dengan mata berbinar-binar  si Ing menceritakan pengetahuannya tentang sekolah padaku sambil bermain-main tanah di halaman rumah si Jum pada suatu hari.

“Wah,..enak ya, bisa pakai sepatu setiap hari dan dapat uang jajan?” ku memastikan pengetahuannya.

“Iya” dia menyakinkan ku.

Ya, aku ingat kembali cerita si Ing tentang sekolah, sebenarnya aku sudah lupa tentang itu. Hari ini si Ing memutar memoriku lagi yang masih tersimpan dalam ingatanku.

Pergerakan leher dan kepalaku belum bisa bebas. Bapakku belum selesai memotong rambutku. Aku masih dalam aturan pangakasan rambut apakku. Ku mendelikkan bola mataku ke atas untuk bisa menatap si Ing yang tidak sabar menungguku. Aku membayangkan pakai sepatu. Sesuatu barang mewah yang bisa aku pakai tiap hari nantinya. Karena, jagankan sepatu, sandal jepit saja aku hampir tidak pernah memakainya. Apak dan Amakku mana mungkin mampu untuk membelinya. Tetapi aku sudah punya sepatu yang di beli amak hari raya kemarin. Sudah bekas dan tidak baru lagi. Tapi masih cukup di kakiku. Biasanya amakku begitu, membeli sesuatu yang aku pakai seperti baju atau sepatu, dia akan memilihnya diatas ukuran aku, katanya bisa dipakai tahan lama. Bukan tahan lama karena barangnya berkwalitas bagus atau mahal, tetapi pertimbangan amakku,  kalau ukuran badanku bertambah setahun lagi pakaian itu masih muat aku pakai.

Sepatu itu masih disimpan amakku, barang mewah itu akan dipakai kalau tujuan pergi-pergi. Misalnya bila pergi ke pasar di kota Padang Panjang.

“Kalau sekolah nanti, aku bisa pakai sepatu tiap hari, wah enaknya?” khayalanku dengan persaan senang.
“Ayo pak, sudah selesai belum pangkasnya?” desakku, kakiku mengantung duduk dikursi pangkas ku ayun-anyunkan.

Apakku sudah tidak memegang mesin pangkas rambut lagi. Sreseng-seng bunyi gunting antara dua matanya beradu memotong ujung ujung rambutku yang dimainkan apakku. Potonganya tinggal merapikan bagian atas nya saja.
“Sebentar lagi” apakku terus memainkan guntingnya.

“Ayo di, amakku sudah menunggu, aku akan diantar amakku sekolah” si Ing dengan semangatnya, tidak sabar menunggu aku.

“Iya ing, aku mau sekolah, tunggu aku ya”, aku pun sudah tidak sabar capet selesai potong rambutnya.

“Ya udah, aku pulang dulu, mau ganti baju, dan pakai sepatu, aku tunggu kamu di rumah ku” si Ing membalikkan badannya lalu meancang-ancang seperti orang mau pacu lari. Kemudian kakinya melenting lenting lagi berlari meninggalkan aku.

Tidak berapa lama si Ing pergi, apak selesai memangkas rambutku.
“Amak,…. Amak,… mak!” teriakku dengan tidak sabar untuk pergi sekolah bersama si Ing. Aku memanggil amak sambil berlari ke dapur menghampirinya.

“ya, ada apa?” sahut amakku sambil menggiling cabe tanpa menolehku.

“Mak, ayo antarin aku ke sekolah, kata si Ing hari ini orang orang sekolah, aku sudah bisa sekolah katanya” jelas ku.
Tangan amakku tidak lepas memegang anak batu cabe mengesek-geskannya ke induk batu yang berisi cabe sambil duduk di bangku kecil di lantai dapur untuk merobahnya menjadi sambal lado.

Khayalanku sudah terbang melambung tinggi membayangkan aku sekolah, bisa pakai sepatu tiap hari, pakai baju seragam dan bermain dengan banyak teman lalu dapat uang jajan. Aku belum mengerti apa itu sesungguhnya sekolah. Umurku sudah beranjak tujuh tahun, bagiku sekolah itu tempat bermain yang menyenangkan dan bagus. Bermainnya tidak lagi di rumah, lari lari kesana kemari sekeliling rumah rumah dengan kaki telanjang tanpa sandal dan tidak lagi digelari anak-anak lagi oleh kakak teman bermainku. Jadi selain menyenangkan menurutku sekolah akan merobah predikat dengan julukan anak-anak menjadi anak yang sudah besar. Aku merasa bangga kalau dikatakan sudah besar. Perasaannya kalau dikatakan sudah besar adalah suatu kebanggan bagiku.

Tetapi yang tidak aku mengerti kata uda uda uni-uni sekelilingku, suatu hari pernah mengatakan kalau mau sekolah syaratnya salah satu tanganku harus bisa memegang daun telinga dengan cara melingkarkan tangan keatas kepala, kemudian telapak tanganku bisa memegang daun telinga. Aku di tesnya melakukan seperti itu. Badanku yang kurus kecil, tangan masih pendek, otomatis aku tidak bisa melakukan itu. Aku coba berkali kali, tapi tetap saja tidak bisa, tanganku tidak sampai memegang daun telinga. Memang sebenarnya pertumbuhan tubuhku belum bisa melakukan hal seperti itu.

“Ha,,ha…ha…kamu masih kecil, belum bisa masuk sekolah” uda-uda uni-uni mencandain aku, meledek, dan mengerjai aku yang masih polos. Begitu juga kalau berhitung, mereka mentertawai aku, karena aku hanya bisa menghitung sampai sepuluh.
“Kalau kamu bisa berhitung sampai seratus baru bisa masuk sekolah, kalau anak yang belum sekolah berarti masih kecil” jelas mereka.

“Yah, aku mana bisa menghitung sampai sepuluh” dengan rasa sakit hati aku di bilangin seperti itu.
Syukur aku bisa berhitung sampai sepuluh, itu karena ikut-ikutan si Ing atau si Jum.  Si Jum juga anak bungsu, kakak-kakaknya ada yang mengajarin, seperti si Ing. Kalau aku, siapa yang akan mengajari?  Aku tidak punya kakak,  amak dan apakku mana mungkin, dia sibuk terus mencari yang akan dimakan. Aku hanya dilepas bermain dan bermain.

“Kamu masih kecil,” kalimat yang menyakitkan dan menyebalkan bagi aku. Aku akan bangga jika dikatakan sudah besar. Aku mau cepat besar. Kalau sudah besar, artinya aku bisa bermain bersama uda-uda dan uni-uni.

Begitu si Ing memberitahu dan mengajakku untuk sekolah, aku benar-benar tidak sabar lagi, agar amak mengantarkan aku secepatnya sekolah. Biar nanti aku tidak dianggap anak kecil lagi.  Sehingga aku sudah lupa yang dicandain uda-uda dan uni-uni teman mainku bahwa syaratnya masuk sekolah itu tangan harus bisa memegang daun telinga ketika salah satu tangan dilingkarkan ke atas kepala, dan bisa berhitung lebih dari sepuluh.

“Mak, lama benar sih? ayolah cepat, nanti terlambat, si Ing sudah menunggu tu” rengekku.

“Iya, iya tunggulah sebentar lagi selesai, amak selesaikan membuat sambal lado ini” sambil tangannya terus menggoyang maju mundur anak batu cabe.

Ketidak sabaran ku hilang ketika amakku bilang ”Ayolah, ganti baju”.

“Horeee,…” dalam hatiaku berteriak, melonjak kegirangan.
“Mana baju yang akan di pakai mak?” aku mengusai tumpukan baju-bajuku dikamar yang tidak pernah dilipat apalagi disterika.

“Pakai yang ini!” Amakku mengeluarkan baju dari lemari.Lemari baju kayu, tempat menyimpan pakaian yang dipakai katergori sesekali. Seperti kain sarung sembayang apakku, baju kebaya amakku dipakai ketika pergi baralek dan bajuku dengan adikku yang dianggap paling bagus.

“Itukan baju hari raya mak, itu bukan baju sekolah, kata si Ing baju sekolah itu putih dan celana merah” protesku.

“Tidak apa-apa baju ini saja dulu untuk sementara, nanti kalau apak sudah punya uang, baru kita beli baju sekolah” bujuk amakku.

Aku menurut saja tanpa keberatan, memang itu baju terbagus yang aku punnya, kaos coklat belang belang dengan coklat tua dan coklat muda. Amakku memakaikan celana pendek yang warnanya coklat juga. Celana itu didapat dari pemberian orang. Amakku sering dikasih pakaian pakaian bekas orang lain disekitar kampungku. Pakaian yang sudah tidak dipakai lagi oleh pemiliknya karena sudah kecil tapi masih layak pakai. Kalau ada orang memiliki pakaian bekas untuk dibagi-bagikan maka pilihannya, ke amakku orang yang layak di beri. Keluarga miskin dan tidak mampu.

Aku sangat senang sekali. Pakai sepatu kain bewarna hitam, baju kaos coklat yang ku pakai untuk lebaran yang lalu. Rambutku yang hanya tersisa di bagian atasnya saja dan berdiri, tegak seperti ijuk karena sudah dipendekan apakku  jadi tidak perlu disisir lagi. Bagian samping kanan, kiri dan belakang kepalaku sudah licin tanpa berambut. Warna kulit kepalanya yang menyatu dengan kulit leher dibedakan dengan warnanya saja. Kalau di bagian tidak berambut, jika diusap-usap serasa sikat kain kasar dengan bulu-bulunya yang kasar. Apakku tidak pernah mengerti protesku, ketidak sukaan ku potong rambut model pangkas tentara katanya ini. Aku benci kepalaku seperti ini, karena akan dikategorikan “aku anak kecil”.
Potongan rambut itu yang membuat identitasku masih anak-anak kata uda-uda dan uni-uni. Aku tidak mau, tapi tidak bisa menuntutnya ke apak. Padahal usia tujuh tahun bagi orang-orang tua, seperti apak dan amak tentulah aku memang masih kecil.

Sampai disekolah.  Dikemudian hari aku tahu, sekolahku, SD Negeri 2 Guguk, tidak ada orang bersekolah hari itu. Ruangan sekolah yang pintunya buka hanya satu ruangan bagian pertama.
Dalam ruangan itu ada tiga orang guru didalamnya. Dua ibuk-ibuk dan satu orang bapak. Bapak itu badannya gemuk besar dan gendut. Setelah aku sekolah kemudian aku tahu itu adalah bapak kepala sekolah, namanya bapak Dinar.

“Silahkan masuk buk” begitu ibu-ibu itu menyambut kami setelah menjawab salam. Amak dan amak si Ing sudah kenal dan akrab dengan ibu itu.
Aku hanya diam  sambilmemperhatikan disekelilingku dalam ruangan itu yang ada lemari dipenuhi buku-buku. Bagian depan bukunya tidak tampak, disusun berdiri kelihatan warna-warni tebal dan tipis tegak. Ada satu set kursi tamu dari rotan yang dibingkai lengan dan kakinya tebuat dari kayu  tempat kami duduk. Didinding bagian tas dibelakang tempat duduk bapak gemuk besar itu ada dua foto bapak-bapak, di tengahnya gambar burung dengan sayap membentang kanan dan kiri. Didada burung itu ada gambar yang tidak aku mengerti, belakangan setelah aku sekolah aku mengerti, bahwa itu foto presiden dan wakilnya serta lambang Negara Republik Indonesia.

“Namanya siapa?” Tanya salah seoarang  ibu guru itu, sambil membuka buku besar dan tebal.
“Dedy, bu” jawabku malu-malu dan senang.
“Saya Rinaldi buk” si Ing menjawab pertanyaan ibu itu tanpa ditanya.
Ibu guru itu senyum menjawab “iya, Rinaldi ya”.

Selanjutnya ibu itu bertanya kepada amak si Ing dan amak bergantian, menanyakan tanggal lahirku, pekerjaan apak dan amak, dan sebagainya.  Kulihat ibu itu sambil memegang pena mengerakanya di atas buku besar dan tebal itu, di ujung pena itu tergores berbentuk tali-tali seperti coretan tetapi rapi, yang aku tidak mengerti apaan itu.

“Mana orang sekolah?” batinku bertanya-tanya penasaran.

Aku tidak tahu apa dalam pikiran si Ing, katanya kita bisa sekolah hari ini.
“Dimana tempat mainya?” dalam hati aku menegok keluar kaca nako ruangan itu.

Wajah si Ing sesekali melirikku tanpa bicara, diam, senang-senang saja disamping amaknya yang lagi berbicara dengan ibu-ibu guru dan bapak dalam ruangan itu begantian dengan amakku.

“Yok pulang” begitu amak si Ing mengajak dan beranjak keluar ruang yang dikatakan si Ing itu, adalah sekolah. Begitu ibu guru bilang “Sudah selesai”.

“Kok pulang?” dalam hati aku heran. Aku merasa kecewa. Serasa dibohongisi Ing.Ku perhatikan si Ing tanpa bersalah dan tampak biasa-biasa saja untuk balik pulang.

“Mak, kita kemana sekarang?” aku memastikan ajakan amak si Ing.
“ Pulang?” kata amakku singkat terus melangkah.
“Kok Pulang?, kenapa pulang?, katanya aku bisa sekolah” protesku mengikuti langkah amakku.
“Hari ini belum dimulai sekolahnya”,  jelas amakku.
Aku heran menatap, kepalaku mendongak ke atas memperhatikan wajah amakku berbicara sambil jalan meninggalkan halaman sekolah.
“Nanti sekolahnya bulan depan”,  amakku meneruskan penjelasannya.
“Apaan itu bulan depan”,  hatiku berkata, aku tidak berani menanyakannya, aku bingung. Kalau bertanya lagi membuat aku bertambah bingung, lalu aku diam dengan penuh Tanya mengikuti langkah amak pulang ke rumah.

“Hari ini kita datang ke sekolah itu, untuk mendaftar dulu” amakku menenangkan pikiranku seolah-olah dia mendengar perkataan hatiku.

“Ah,..mendaftar?,  apaan lagi itu namanya mendaftar? tadi itu cuma ngobrol-ngobrol sama ibu guru itu, amak di tanya-tanya.” Dalam hati aku tambah tidak mengerti.

Si Ing ku perhatikan diamsaja, dia menurut saja.Sepertinya dia senang-senang saja.Kedatangan ke sekolah tadi itu sudah sangat menyenangkan baginya. Mungkin dia sudah mengerti tadi itu mengapa dan untuk apa, dan paham apa itu namanya mendaftar yang dijelaskan amakku. Dia berjalan lebih dulu beberapa langkah sambil melonjak lonjak lalu memukul-mukul daun rumput yang sedikit tinggi tumbuh di tepi jalan yang kami lalui. Seperti orang bersalaman saja.

Di usiaku yang akan memasuki masa usia sekolah dasar, hanya bermain yang aku mengerti. Belum paham apaan itu sebenarnya sekolah dan untuk apa. Sudah tujuh tahun usiaku. Bermain, sesuatu yang sangat menyenangkan dan suatu kepuasan dalam hidupku.

Di kampungku para orang tua umumnya belum mengenal namanya sekolah Taman Kanak-kanak yang disebut sekolah TK. Ada beberapa orang tua yang tahu, tapi tidak ada yang memasukanya ke sana sebelum masuk usia Sekolah Dasar. Di kampungku dalam Nagari yang terdiri empat desa belum ada sekolah Taman Kanak Kanak. Adanya di nagari Kayu Tanam, jaraknya dua kilometer dari desaku. Jarak yang cukup jauh, dibandingkan kalau sekolah di SD hanya beberapa meter dan cukup dengan jalan kaki. Sekolah Taman Kanak-Kanak itu pun biayanya cukup besar bagi orang tuaku, ada jemputannya disediakan sekolah. Biayanya lebih besar dari biaya sekolah SD. Sesuatu yang mustahil bagi orang tuaku menyekolahkan aku disana, menurut orang tuaku, itu namanya mebuang-buang uang. Sedangkan uang untuk beli beras dan lauk pauk sehari-hari saja susah sekali mendapatkanya, bahkan harus berhutang kalau sudah tidak punya apa-apa untuk dimakan.  Belum lagi kalau orang tua menyekolahkan anaknya di Taman Kanak-Kanak akan menyita waktu pagi hari, harus menyiapkan anak, mengantarkan ke tempat jemputan. Sedangkan orang tuaku pagi-pagi sekali harus cepat-cepat pergi ke sawah atau ke sawah orang untuk menerima upah.

Bagi orang tua yang mungkin mampu juga tidak ada yang memasukan anaknya sekolah ke TK itu. Rata rata orang tua di kampungku enggan menyekolahkan anaknya ke TK. Tanpa TK juga anak-anak mereka bisa lansung sekolah di Sekolah Dasar, begitu pendapat mereka.

(bersambung ke Ceritaku berikutnya)

No comments:

Post a Comment