Tuesday, August 23, 2011

TANAH KELAHIRANKU (2)

Setiap orang tua tentulah bercita cita yang terbaik untuk anaknya. Tidak ada orang tua yang  tidak menginginkan anak nya hidup lebih baik dari dirinya. Misalnya orang tua yang berprofesi petani atau kuli tentu tidak akan pernah meinginkan anaknya menjadi petani  atau kuli.

Tetapi dari kecil kehidupan sebagai anak kampung dusun dan hidup dari orang tua petani, dan dari kecil sudah memepunyai tanggung jawab belajar bekerja membantu orang tua ke sawah, “apakah itu tandanya orang tua itu meinginkan anak nya jadi petani?”

Seperti rata rata di desaku dari orang tuanya sudah di beri tanggung jawab membantu orang tua mengerjakan pekerjan di sawah? Seperti diriku ini?
“Tidak”, tentu “tidak”.

Orang tua ku melakukan itu kepadaku karena keadaan. Meski usia masih anak anak bagiku tidak menjadi beban untuk melakukan itu.

Karena bila mendengar cerita masa kecil orang tuaku jauh lebih susah dari apa yang aku alami. Baik kehidupan apakku atau amakku.
 
                                             ------------

Dengan telapak kaki terlanjang tanpa sandal, kaki mungilku mengikuti langkah Apakku berjalan menelusuri jalan setapak di pingir jalan kareta api. Untuk bisa memiliki sandal jepit, “tarompa japang” namanya di saat usiaku masih kecil, belum masuk usia sekolah, adalah sesuatu sangat mahal bagi orang tuaku. Sehingga berjalan tanpa sandal sudah biasa bagiku.

Tanah pembatas antara pemilik perusahaan kareta api dengan tanah warga, di jadikan jalan setapak untuk melintas ke arah hilir menuju rumah nenekku, “andung”, orang tua apakku.  Tanah yang lebih tinggi posisinya dari jalur karata api itu, dan di kanan dan kiri jalan kareta itu mengalir air sangat jernih, begoyang goyang, berlari ke hilir mengariri sawah sawah.

“Mengapa kita berjalan saja menelusuri rel kareta itu pak?” Tanya ku ingi tahu.

“Berbahaya, nanti kalau kareta api datang tiba tiba, bisa ditabraknya kita” jelas apakku.
Mendengar kita bisa ditabrak kareta api, sangat mengerikan bagiku. Maka aku takut berjalan di rel kareta api.

Sebenarnya selain berbahaya, karean rel itu panas kena pansanya matahari dan juga banyak batu batu kerikil, jika aku berjalan di sana tentu lah akan membuat kakiku panas dan sakik kena batu karena tidak pakai sandal. Itu alasan yang tepat.

Di ujung jalan yang setapak, bertemu jalan agak lebar membentang timur dan barat. Di timurnya arah jalan raya besar, ku berjalan berbelok ke kanan ke arah barat, dan di ujung jalan lebar ini ku harus meniti sebuah jembatan.

Panjang jembatan ini mungkin lebih kurang 15 meter, menurun ke arah barat sepeti mau runtuh, tetapi tidak runtuh runtuh dan miring ke kanan, di bawahnya mengalir kecil air sungai batang kalu. Pemukaan sungai dengan jembatan ini cukup dalam jaraknya. Dengan ukuran badan di usiaku yang masih kecil sangat mengerikan dan menakutkan bagiku melintasi jembatan ini. Sebuah bahan besi tebal, yang berbentuk atap rumah seng yang ada alur alur untuk air hujan mengalir, itulah alas jembatan ini. Kalau bejalan di atas jembatan ini, telapak kaki kecilku ku ini bila diluruskan akan terjepit dan sakit antara dua lengkungan selokan  alas jembatan ini. Dadaku bergetar kencang, takut berguling dan jatuh ke dalam batang kalu. Pinggir jembatan ini juga tidak ada pembatas sebagai mengamannya, walau ada seutas kawat kecil tidak ada gunanya untuk berpegang, karena kawat itu tidak kuat, bisa bisa membuat kita jatuh.

“Miringkan telapak kaki itu ketika menginjak sengnya” jelas apakku sambil mencontohkan ke aku, sambil membimbingkku. 

Padahal hatiku ingin menagis, “merengek rengek”, ketakutan dan ngeri. Tapi aku tidak bisa mengungkapan ketakukan ku itu kepada apakku.

Meskinya anak seusia aku pantasnya digendong tapi apakku cukup memenggang tanganku dan membimbing aku. Mungkin ini bagian cara apakku mengajari aku dari kecil bahwa aku harus belajar mandiri, tidak boleh penakut dan cengeng, harus berani melewati tantangan. Dia sudah membantu aku dengan memegang tangan ku itu lebih dari cukup.

Di seberang jembatan ini di sebelah kanannya tedapat subuah surau, surau Batang Kalu namanya.  Ini adalah surau kaum suku Pisang, suku bakoku, karena apakku bersuku Pisang. Dari cerita yang ku ketahui suku Pisang ini bagiang dari suku Tanjung.

Jalan berbelok ke kiri memasuki kebun, atau “parak”. Kebun yang bersisi bermacam tanam tanaman, seperti durian, kopi, petai, dan sebagainya. Memasuku parak ini lagi lagi menakutkan juga bagiku, serasa aku memasuki hutan belantara, maklum aku masih kecil. Sepanjang parak ini terdengar sura bermacam burung bersahut sahutan menyapa. Ada beberapa jalan setapak ini melewati diantara dua buah dahan pohon yang rindang dan lebat. Jadi jalan setapak di bawah pohon buah “jambak” dan “kepundung” ini agak gelap. Dikiri kanan nya semak belukar setinggi badanku tumbuh subur, sesekali melangkah jantung ku berdebar di kejutkan oleh binatang bernama kadal (“bingkaruang” aku menyebutnya) melintas dari semak ke semak.
Menyeberangi dua jembatan dengan sebatang kayu pohon kelapa, di atas selokan sawah. Sebelum menempuh jalan mendaki diantara dua tebing yang pas untuk ukuran dua badan orang dewasa, ku di sapa percikan suara air jatuh dari atas bukit ke aliran irigasi sawah.

Jalan sempit antara dua tebing bertangga, beralasan batu batuan yang beberapa bagian sudah berlumut dan licin, harus pilih pilih untuk menginjaknya bila tidak ingin tergelincir. Diantara bebatuan itu dari atas merembes air tanah mengalir tidak pernah kering.

Dengan nafas sesak, capek mengikuti langkah apakku, dan sampai diatas dua tebing itu terus mendaki, menanjak, sampai di atas nya berbelok kekiri. Sampailah di dataran padang datar yang berumput hijau dan di tumbuhi pohon pohon kelapa di sekitarnya. Suara lenguh beberapa ekor sapi terikat di tengah padang yang datar ini menyapa kedatangan ku yang di gembalakan. 

Dari arah utara kelihatan di selatanya dari jauh satu rumah kayu tua berdinding anyamam banbu dan beratap seng. Melewati rumah tua itu agak kebelakang sedikit sebuah rumah kecil lagi, mungkin cocoknya di sebut pondok. Rumah kecil satu kamar tidur satu runag tamu yamg kecil juga dan dapur di belakangnya. Tapi apakku  menyebutnya rumah. Beratap “rumbia” atap yang terbuat dari anyaman daun sagu. Dindingnya dari anyaman bambu, dan tiang tiang nya hanya beberapa dari kayu, lainya dari bambu. Lantai rumah ini juga terbuat dari batang bambu yang sudah di pipihkan. Sehingga berjalan di atas rumah ini akan berayun ayun lantainya.

Itulah rumah andungku, rumah orang tua apakku. Aku selalu di bawa apakku ke rumah andungku ini dengan menempuh perjalanan yang penuh tantangan bagiku. Terutama sewaktu  hari Raya Idul Fitri, berpakaian baru kunjungan wajib ku pasti lah ke Padang Dateh melewati kebun kebun dan mendaki bukit.

Di bagian timur dataran ini kelihatan dataran lebih rendah di bawahnya terhampar sawah berpetak petak, dan jauh di bawah itu ada  jalan raya besar dan mobil kecil kecil hir mudik, dan juga jalan kareta api yang memanjang dari hilir ke mudik. Latar belakang dari pemandangan itu membentang bukit barisan di bagian paling timur.

Rumah atau pondok andungku dan sedikit padang rumput yang datar ini namanya Padang Diateh. Sebuah kampung peratara dusun pasar Surau dengan Padang Mantung. Kampung Padang Diateh ini memanjang utara selatan atau hilir mudik. Rumah andungku ini di Padang Diateh hilir namanya. Disinilah apakku lahir dan dibesarkan bersama tiga orang adiknya oleh orang tuanya. Dan di pondok itu.

Umumnya orang menyebutnya Padang Dateh. Singkatan Padang Diateh. Sudah lazim orang di kampungku ini kalau mengucapkan yang memungkinkan untuk dipersingkat akan dipersingkat. Sama seperti mereka manyebut “Padang Panjang”. Kebanyakan orang mengucapkannya menjadi  “Pamanjang”, kalau "Bukit Tinggi" menjadi "Kiktinggi", kalau "Pariaman" menjadi "Piaman", kalau "pai kama"(pergi kemana) menjadi "pi kama", kalau "sabanta ko" (sebentar ini)" menjadi "santa ko", kalau "Padang Lapai" menjadi "Suba..ang", (eh, kalau yang ini bukan disingkat tapi di ganti... hehehe...lucu ya?). Ya, begitu lah.

Padang Dateh ini bagian dari masa kecilku meski aku bukanlah lahir disini. Pak etekku, suami dari adik apakku selalu mengatakan aku ini anak orang Padang Dateh, karena katanya apakku orang Padang Dateh. Juga semua “bako” (semua saudara dari bapak atau sesuku dengan bapak) ku mengatakan aku orang Padang Dateh

Ku tidak mengerti kata pak etekku itu, “apa maksudnya”. “Amakku kan orang Cumangkung, aku ini tinggal bukan di Padang Dateh, aku tidak mau dikatakan orang Padang Dateh”. Begitu pikiranku, aku masih kecil.
Padahal maksudnya, bahwa dalam agama kita, seorang anak terlahir mengikuti garis keturunan bapak. Karena bapakku Padang Dateh maka aku dikatakanya orang Padang Dateh. “ya benar juga kalau begitu”. Aku juga bangga dikatakan orang Padang Dateh, memang disitu asal bapakku.

Sewaktu masa Sekolah Dasar, aku mengatakan “aku orang Cumangkung” ke teman teman sekolahku, sewaktu aku Sekolah Menegah di Kayu Tanam aku mengatakan “aku orang Pasar Surau Guguk” ke teman sekolah temanku. Sewaktu aku Sekolah Atas di kota Padang, aku mengatakan “aku orang Kayu Tanam” ke teman teman sekolahku. Ketika ku sudah merantau ke tanah Jawa, aku mengatakan “ aku orang Padang, orang Minang” ke teman teman kerjaku. Ketika aku ke luar dari Indonesia aku mengatakan “ aku orang Indonesia ke teman temanku yang bukan orang Indonesia”

Jadi aku ini, orang Cumangkung, Pasar Surau, Guguk, Kayu Tanam, Padang, Indonesia. Itulah tanah kelahiranku.




Wednesday, August 17, 2011

TANAH KELAHIRANKU (1)

Gunung Singgalang yang menjulang bergandengan dengan Gunung Tandikat di utara, dan bersambung ke kanan dengan deretan bukit barisan memanjang ke timur terus ke selatan.  Hamparan sawah yang berjenjang di hilir dan mudik jalan.  Di bagian timur kampung yang disebut “baruah” dataran terendah yang memanjang dari hulu ke hilir mengikuti aliran Batang Anai tersusun pula sawah di kiri dan kanannya yang berpematang batu batuan tu identik dengan lembah. Jalan utama kampung ini membujur barat dan timur berbelok ke selatan yang disebut hilir. Jalan utama kampung ini juga di sebelah rumah saya, merupakan bagian jalan lintas orang dusun seberang Batang Anai, Padang Lapai. Bagian Batang Anai aliran air nya melebar dan rata dan banyak bebatuan dan dangakal sedalam paha orang dewasa  merupakan bagian dusun ku ini. Orng menyebutnya Lubuk Talata. Tempat ini adalah lintas penyeberangan pintas bagi orang desa seberang bila mau ke pasar atau ke kota.

Sedikit di hulu bagian penyebarangan itu aliran air Batang Anai membentuk lubuk di pinggir tebing. Di lubuk ini salah satu bagian di aliran Batang Anai yang banyak ikannya. Tidak sedikit orang dari desa lain bahkan ada yang dari kota memancing ke lubuk ini. Selain tempat memancing, lubuk ini bagian dari kehidupan anak anak di dusun dan aku sendiri  yaitu tempat mandi mandi dan bersuka ria. Hampir semua anak di dusun ini, mungkin di desa ini, pandai berenang karena sering nya mandi mandi dan belajar di lubuk ini. Nama lubuk ini yaitu Cumangkung. Dari kecil sampai sekarang ku tidak mengerti apa sebenarnya arti Cumangkung itu. Yang jelas Cumangkung ini juga nama dusunku. Keselatan jalan kampung ini di sebut dusun Cumangkung hilir, anak muda nya menyebut “Cimahi”, dan bagian utaranya Cumangkung mudik.


Aku ingat suatu hari pak pos yang masih pakai sepeda yang sepedanya  bunyi “kring… kring.. .kring..” mengantar kan surat ke rumah untuk Amakku dari Mamakku di rantau, pak pos  itu panggil orang “Uda Man” sambil membacakan  alamat surat yang di tuju di depanku, : “Kepada Kakanda, Cumangkung Indah, Pasa Surau Guguk, Kayutanam”

Waktu itu awal tercatat dalam kepalaku, bahwa lengkapnya nama dusunku adalah Cumangkung Indah. Aku juga tidak tahu siapa awalnya menambahkan kata Indah di belakang nama dusunku  ini. Hampir setiap pemuda yang sudah merantau meninggalkn dusunku, kalau menulis surat ke sanak saudara atau orang tua sebagai tanda bangga dan haru, rindu ke kampung halaman pasti di tulis kata Indah” di belakang nama dusun ini. Atau mungkin pemuda pemudi dusun saya ini adalah para pembakat penulis, pengarang atau penyair?. Mereka adalah generasi paman pamanku, mak adang, mak angah, mak uncu, Om Yul, Om Mus, Om Syaf,  Mak etek Syaiful juga etek etek bagi ku dan masih banyak lagi.
Tapi tidak salah para generasi masa mamak mamakku dahulu menamakan dusun Cumangkung Indah ada juga menamaknnya Cumangkung nan Indah di amplop amplop suratnya. Aku amati betul memang indah kampungku.

Pemandangan, alam yang telah Allah ciptakan dengan sangat sempurna. Seperti khyalan, imjinasi pelukis yang mengambarkan pemandangan alam di kanvas lukisanya, pastilah akan ada gunung, sawah, sungai, bukit, jalan, dan dihiasi pohon pohonan. Materi, objek yang pada umumnya ada pada lukisan tangan dari seorang pelukis tersebut ada di dusunku ini. Begitulah indahnya.


Sungai Batang Anai airnya yang mengalir jernih, sawah yang bertangga di baruah dan di ateh, di timur membentang bukit barisan dan di utara dua Gunung Singgalang dan Tandikat kokoh tegak berdiri. Tanahnya subur, air melimpah, dari  sumber aliran Batang Anai yang berhulu dari pertemuan Air terjun lembah Anai dan aliran Batang Anai dari Gunung Singgalang dari daerah Tanah Datar. Sepanjang aliran air Batang Anai ini menjadi sumber kehidupan bagi penduduk kampung yang dilaluinya, terutama dusunku, sebagai sumber air untuk mengairi persawahan. Dusun Cumangkung, yaitu di Lubuk Cumangkung menjadi hulu aliran irigasi untuk persawahan di daerah baruahnya bagian nagari Kayu Tanam. Air Batang Anai dari lubuk Cumangkung ini sedikit di bendung dengan bebatun sebagai tanggul untuk mearahkan aliran Batang Anai ke irigasi persawahan sampai ke nagari Kayu Tanam. Irigasi ini dikenal dengan nama “banda Kayu Tanam”. Setiap musim penghujan, bila Air Batang Anai banjir yang di sebut “Aie Gadang”, maka tanggul di lubuk Cumangkung ini kadang kadang runtuh, dan aliran irigsi ke banda Kayu Tanam akan kurang atau bahkan kering tidak berair. Maka beramai ramailah penduduk desa dari nagari Kayutanam, seperti  desa Pasar Gelombang, desa Pasar Tengah, dusun kampung Dalam desa Pasar Usang bergotong royong ke Lubuk Cumangkung untuk memperbaiki tanggul yang runtuh.


Ku bangga terlahir jadi orang dusun ini. Sejak dari terlahirnya manusia di alam kampung dusun saya ini, menandakan Allah langsung menunjukan kebesaranNya, dan memberi petunjuk dan pelajaran ke manusia seieisnya ini. Allah telah memberikan RahmatNya yang tak terhingga, meski secara ekonomi aku dari turunan nenek dan kakek kakekku terdahulu anak keluarga miskin bagai “batang tarandam” yang sudah lama tertimbum dalam lumpur kemiskinan. Tetapi sebenar benarnya ini tetap namanya Rahmat Allah. Aku bersyukur.

Tidak hanya kondisi alam dusunku saja yang indah seperti yang aku ceritakan ini, secara keseluruhan nagariku ini, yang namanya Guguk, Kayutanam, kecematan perwakilan 2 x 11 enam lingkung, baik nagari Anduring sampai Kepalala Hilalang. Pemandangan alam dan keindahannya sama saja, hanya dari sudut pandang nya, “object view” nya saja yang berbeda dari setiap dusun.

Di masa kecilku belum ada kepemerintahan Nagari, yang ada "Desa". Desaku bernama Pasar Surau, Kecematan perwakilan 2 x 11 Enam Lingkung, Kabuputen Padang Pariaman, propinsi Sumatera Barat. Meski dalam keperintahan tidak ada sistem kenagarian  tetapi nama nama desa akan terdengar aneh kalau tidak di sebut nama nagari. Pasar Surau nagari Guguk. Di plang plang atau papan kantor desa, sekolah sekolah biasanya di tulis nagarinya.

Tapi bagiku tidak penting untuk tahu mengapa, kenapa, demikian, aku adalah anak kecil, ku hanya tau apa yang diajarkan orang tua atau guru.
Misalnya di Sekolah Dasarku tidak di tulis sekolah negeri Pasar Surau, tetapi di tulis “Sekolah Dasar negeri no.2 – Guguk”. Di papan depan kantor Desa misalnya di tulis “Desa Pasar Surau – Guguk – Kecematan perwakilan 2 x 11 Enam Lingkung”, “Sekolah Dasar negeri no.1 – Guguk” yang terletak di desa Pasar Kerambie, “Sekolah Dasar negeri no.3 – Guguk” yang terletak di desa Kandang Ampek, “Sekolah Dasar negeri no.4 – Guguk” yang terletak di desa Padang Lapai.

Sejarah pernah mencatat dahulu sebelum ada keperintahan sistem desa, sistem kepemerintahan di Minang ada namanya Nagari, tetapi sewaktu jaman Orde baru sistem kenagarian di hapuskan, aku sendiri kurang memahami sejarah tentang ini. Yang ku tahu setelah bersekolah di Sekolah Dasar, di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, bu guru menerangkan nama Negara kita Indonesia, terdiri 27 propinsi, propinsi kita Sumatera Barat, terdiri beberapa kota Madya dan 8 Kabupaten, Kabupaten dusun ku dalam wilayah kbupaten Padang Pariaman, di bawah Kabupaten  terdiri dari beberapa kecematan, di bawah kecematan tediri dari desa desa. Aku ingat waktu itu siswa wajib hafal, dan sering berulang ulang pertanyan di ujian.

Jalan Raya utama, jalan raya propinsi, dilintasan ini lah desaku. Karena desaku terletak memanjang di jalur jalan Raya Propinsi Padang - Bukit Tinggi, bunyi suara kendaran hilir mudik sudah menjadi nyanyian suara desa saya.  Sejak lahir setiap anak di Desa ini sudah biasa di sambut suara kendaraan di jalan Raya dan suara kareta api uap yang waktunya teratur melintasi desa Pasar Surau. Nyanyian suara kendaraan itu akan berhenti dan istirahat sejalan datang nya waktu istirahat malam tiba. Maka gambaran sebuah desa yang biasa di lukiskan kebanyakan orang orang, penulis atu penyair  akan benar nyata hanya di malam hari saja. Tetapi itu suara alam saat malam, tidak saat siang. Suara jengkrik, air yang mengalir, kodok di sawak atau selokan sawah.

Gambaran seperti ini tidak hanya desa Pasar surau saja, juga dua desa lain, seperti Pasar Kerambil, Kandang Ampek dilintasi jalan raya propinsi. Kecuali desa Padang Lapai. Karena letaknya di timur di balik Batang anai dekat di kaki bukit Barisan. Padang Lapai jauh dari kebisingan.

Dari rumahku terdengar gemuruh suara truk, kloson mobil hilir mudik di jalan raya besar Padang - Bukit Tinggi, di balik jalan raya itu ada jalur Kareta Api, suara nya pun sampai ke rumah bila si mak itam itu sudah melewati jalur nya membentang sejajar dengan jalan Raya. Kareta api masih bermesin uap, selain mengeluarkan suara yang kencang  juga asap nya mengebul kadang kadang itam gelap atau coklat terbang ke awan .

Desa Pasar Surau, Desa yang terdiri dari empat dusun, dusun saya , Cumangkung salah satunya di bagian timur, dusun Pasa Juha di hilir, dusun Padang Mantung di bagian Barat dan dusun Pasar Surau di tengah tengah sepanjang jalur jalan Raya.

Pasar Surau, sama juga dengan apa yang aku ketahui tentang Cumangkung Indah, ku taunya itu adalah sebuah nama. Kenapa dan mengapa namanya demikian, aku tidak tahu. Belum ada sejarah, bukti berbentuk dokumen atau prasasti misal nya, (hehehe…….,), bahkan siapa pertama kali memberi nama ini. Atau mungkin saja ada, tetapi ku tidak mengetahuinya, semoga suatu saat ada generasi kampungku yang bisa mengungkap sejarahnya. Lalu mendokumentasikannya agar dijadikan bahan untuk di ceritakan dari generasi ke generasi nantinya.

Kalau mendengar kata “Surau” yang arti harfiahnya adalah tempat sholat, semua orang tentu sudah tahu. Di kenagarian Guguk yang tediri dari empat Desa, Desa Pasar Surau, Desa Pasar Karambie, Desa Padang Lapai, Desa Kandang Ampek, setiap suku memiliki surau surau kaumnya. Sehingga jumlah surau sama dengan banyaknya suku.


Lalu apakah karena banyak surau dinamakan pasar Surau? Tetapi di desa lain juga sama pula banyak nya surau. Jadi alasan ini tidaklah tepat desa saya disebut Pasar Surau.


Nagariku Guguk, orang menyebutnya Guguak”. Nagari Guguk ini mempunyai satu Mesjid Besar yang namanya Mesjid Raya Guguk. Mesjid Raya Guguk ini terletak di desaku ini. Dari dahulu yang aku tahu Mesjid ini dibuka sekali dalam seminggu, hanya untuk sholat Jumat saja. Dilain waktu dibuka saat peringatan hari hari besar Islam. Seperti Israk Mikraj, Maulid Nabi .

Di kanan dan kiri Mesjid ini ada dua buah surau, sebelah kanan Mesjid, namanya  surau Kanso dan sebelah kirinya surau Batu. Surau surau ini hampir sama fungsinya dengan surau kaum, yang digunakan sekali setahun di saat bulan puasa melaksanakan sholat Tarawih.  Sedikit bebeda kalau surau kanso atau surau Batu ini klu ada angkunya yaitu“Guru mengajar mengaji” maka surau ini di gunakan untuk kegitan belajar mengaji anak anak desa. Dan saya sendiri juga demikian belajar mengaji disurau ini. Juga di gunakan untuk sholat berjamaah lima waktu

 Setiap anak yang pernah menimba ilmu di surau ini tentulah punya banyak cerita dan kenangan yang indah untuk di kenang.


Gemercik air yang jernih mengalir di depan dan di belakag mesjid menjadi suara alam yang tak pernah henti, yaitu aliran (“Banda”) irigasi dan juga sebagai sumber air persawahan di hilirnya. Air ini berasal dari Air Batang kalu, sungai berair jernih mengalir melewati belakang mesjid. Di dalamnya juga banyak berbagai ikan. Batang Kalu air nya tidak sederas Batang anai, dan jarang banjir atau “aie gadang” seperti Batang Anai. Aliran air di depan mesjid di alirkan ke tempat wudhu dan dibuang ke Batang kalu di belakangnya.


Matahari muncul dari balik bukit bukit barisan dengn senyum cerah menyapa pagi. Air tersara air es bagi orang kota untuk mandi di Batang Anai. Dedaunan, rumput rumput berselimut embun setiap pagi datang. Dinginya pagi belumlah seberapa bila dibandingakan dengan dinginya daerah pegunungan seperti Bukit Tinggi atau Padang  Panjang, tetapi bagi aku dan seluruh penduduk nagari ini itu akan terasa sejuk, karena sudah terbiasa.


Olahraga pagi, bagi penduduk kampung bejalan menghirup segarnya udara ke pematang pematang sawah atau ke landang, menurun tebing ke “baruh” atau mendaki, sebelum sarapan sekedar melihat air sawah atau “menggaro burung” = (menghalau burung burung yang makan buah padi) bila musim padi berbuah.


Namanya dusun atau desa, kehidupan penduduknya tentulah sebagai petani. Sudah kodratnya, kalaulah bernama desa yang terbayang sawah, petani, kebun atau pertenak. Sebenarnya ada juga yang sebagai pegawai negeri, pegawai perusahan PJKA (Perusahaan Jawatan Kareta Api) atau guru, tetapi sebagai orang desa mereka tetap juga bertani dan punya sawah dan ladang.


Di masa usia anak anak, dimana masa masa kehidupannya bermain main, tetapi bagi anak anak usia aku, hidup di kampung dan desa ini haruslah sedikit melawan kodrat itu. 


“Dedy jago pagi bisuak caliak aie sawah di baruah sambie mandi yo” ( Dedy, besok bagun tidur lihat kondisi perairan sawah di baruh = lembah sambil mandi)” kata orang tuaku suatu malam sebelum beranjak tidur.

Atau 

“besok pagi bangun tidur manggaro dulu ya sebelum sekolah” begitu contoh kata kata perintah orang tua masa kecilku.


Kata kata perintah orang tua itu mungkin saja ada pada anak anak usia aku yang lain. Kata kata itu keluar dari orang tua karena keadaan, kondisi kehidupan dan alam. Hidup sebagai petani mengerjakan sawah sendiri tidak lah cukup untuk biaya hidup, orang tuaku harus bekerja yang lain lagi ke sawah orang atau berkuli bangunan atau berdagang. Sehingga aku sebagai anak sesuai usiaku sedikit sudah  menggantikan tanggung jawab pekerjaan orang tua, kerja ringan seperti melihat air sawah atau manggro. Kalau usia tambah lagi akan terus tanggung jawabnya bertambah lagi.


Menjaga air sawah, menggaro itu di lakukan sambil bermain, berolahraga pagi sebelum mandi, dan sebelum matahari beranjak di persembunyian di balik bukit barisan.